Tadi ada anak sekolah yang tertabrak entah apa di depan Taman Makam Pahlawan. Aku terjebak dalam kemacetan luar biasa. Yang paling macet adalah otakku. Tercekat!!
Aku tersadar berada di sebuah kota hiruk pikuk yang tidak lagi mengenal rambu-rambu lalu lintas.
Huruf S dicoret dipenuhi kendaraan antre berhenti.
Huruf P dicoret berjam-jam ditongkrongi mobil tanpa pengemudinya.
Lampu kuning tidak laku.
Lampu merah, lihat-lihat. Jika tidak ada polisi berarti tidak apa-apa melintas.
Garis di persimpangan-persimpangan jalan tidak ada artinya.
Garis lurus atau putus-putus tidak terlihat apa-apa.
Pembatas jalan, maksimal berat kendaraan, dilarang lewat, dilarang berputar dll., freketekkk!!!
Beberapa tahun mendatang, rambu-rambu itu akan jadi benda langka tanpa arti. Dicabuti dan diangkut ke gudang markas polisi.
Ah, ya ini rupanya. Polisi-polisi memberikan SIM bukan dengan ujian mengemudi. Maka generasi ini tidak lagi paham bahwa rambu-rambu itu dibuat ada maksudnya. Maka terserah mau nyetir seperti apa asal bisa nunjukin SIM. Terserah mau nabrak nubruk asal bawa SIM. Jika tidak, mari buat perhitungan. Sepuluh ribu, duapuluh ribu, empatpuluh ribu, atau delapanpuluh ribu.
No comments:
Post a Comment