Beberapa hari ini aku dikejar bayang-bayang. Hitam, tidak tampak wajahnya. Hanya siluet tubuhnya yang terlihat bergoyang kesana kemari yang bergerak mengikutiku. Saat aku lari, bayang-bayang itu melesat mendekatiku. Aku pelan-pelan, diapun merangkak dekat di punggungku.
Kemarin pundakku kena goloknya! Bengkak, sakit, tak bisa menoleh ke kiri. Galurnya membuat sakit di kepala. Aku terengah di tempat tidurku, tak bisa bernafas. Tidur malah menghadirkan bayang-bayang itu lebih nyata. Dengan seringai taring dan parang panjang berdesing.
Pagi ini aku bangun dengan tertatih. Bekas kerokan di punggung mengakhiri sakit kepalaku. Tapi leherku harus dimanja. Aku sudah bertekat untuk bicara dengan bayang-bayang itu. Supaya dia tidak lagi menggangguku.
Maka aku duduk. Dia duduk di depanku, menunggu.
Aku jelaskan soal gangguannya pada hidupku.
Aku tunjukkan bekas luka-luka di sekujur tubuhku.
Dia mengangguk-angguk tapi goloknya disodokkan di wajahku.
Aku meringis ketika darah masuk ke mulutku asin.
"Apa maumu? Apa urusanmu?" Aku tuding wajahnya yang tanpa indera.
Dia mengangguk-angguk kembali. Membuat memelas dan memaksaku untuk merangkulnya.
Saat aku rangkul bayang-bayang hitam itu, melonjak hatiku karena kesejukan yang disalurkannya. Hilang seluruh lukaku. Maka aku tersenyum dan mendekapnya lebih erat. aku cium wajahnya dan hilang runtuh seluruh duka.
Saat ini aku belajar, untuk berdamai dengan seluruh bayang-bayang yang setiap saat selama aku hidup, mengikuti aku. Aku berdamai dan tidak mau ada luka lagi.
No comments:
Post a Comment