Monday, August 03, 2020

Refleksi atas Dokumen Abu Dhabi : Menjadi Sahabat bagi Perempuan dan Laki-laki tanpa Kecuali

Tulisan ini sebenarnya kubuat atas permintan sebuah panitia untuk penerbitan bunga rampai terkait Dokumen Abu Dhabi. Entah mengapa tidak ada kelanjutan lagi tentang naskah itu, jadi kupasang saja di blog ini supaya tetap tersebar. 


MENJADI SAHABAT BAGI PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI TANPA KECUALI

Refleksi atas Dokumen Abu Dhabi

 

Oleh: Yuli Nugrahani, STP

Badan Pengurus SGPP KWI 2018-2021

 

 

Salah satu point dalam Dokumen Persaudaraan Manusia yang ditandatangani oleh Sheikh Ahmad al-Tayeb, Grand Syekh Al Azhar, Kairo, Mesir dan Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi umat Katolik se-dunia di Abu Dhabi pada 4 Februari 2019 memperhatikan secara khusus tentang pemenuhan hak kaum perempuan. Yaitu, bahwa hak kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan berpolitik harus diakui. Segala bentuk eksploitasi seksual dengan alasan apapun harus dihentikan.

Hal ini menajamkan banyak point lain yang berbicara tentang penghormatan terhadap martabat manusia tanpa terkecuali, entah laki-laki atau perempuan. Point ini mengingatkan semua orang bahwa yang disebut sebagai manusia adalah laki-laki dan perempuan, yang diciptakan dengan martabat yang sama. (Lih. Kej. 1:26-28)

 

Kondisi dan Situasi Perempuan Indonesia Masa kini

Point tentang hak kaum perempuan dalam Dokumen Abu Dhabi itu sangat relevan dengan kondisi dan situasi di Indonesia masa kini. Dari data-data dari Badan Pusat Statistik (BPS) berikut kita masih melihat bahwa perempuan tidak selalu mendapatkan hak-hak yang sama dan setara sebagai warganegara.

Dalam bidang pendidikan, rata-rata lama perempuan bersekolah lebih rendah daripada  laki-laki.

Rata-rata Lama Sekolah di Indonesia menurut jenis kelamin.

Tahun

2014

2015

2016

2017

2018

Perempuan

7,23

7,35

7,50

7,65

7,72

Laki-laki

8,24

8,35

8,41

8,62

8,65

 

Dalam pemilihan pekerjaan, bisa dilihat distribusi job manajer berikut ini. Perempuan yang berada dalam posisi manajer hanya 28,97 % sedangkan laki-laki 71,03%. Ini bisa diartikan perempuan bekerja lebih banyak bukan pada posisi pengambil kebijakan atau keputusan.

 

2016

2017

2018

Perempuan

24,17

26,63

28,97

Laki-laki

75,83

73,37

71,03

 

Ketimpangan itu masih bisa dilihat dari upah rata-rata per jam pada tahun 2018. Pekerja  laki-laki rata-rata mendapatkan upah Rp. 15.892 per jam, sedang perempuan hanya mendapatkan Rp. 14.142 per jam.

Dalam ranah politik,  keterlibatan perempuan di parlemen juga sangatlah kecil. Sejak tahun 2014 sampai dengan 2018 hanya 17,32% perempuan yang terlibat dalam parlemen. Angka ini malah turun jika dibandingkan dengan tahun 2013 yang mencapai 18,04%.

Hal itu ditambah dengan fakta bahwa perempuan masih menjadi korban terbesar dalam kekerasan segala bentuk. Paling tidak menurut yang dilaporkan. Tahun 2017 ada 348.466 kasus pengaduan Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan terutama kekerasan terhadap perempuan.

 

Perempuan Berbela Kasih

Padahal, perempuan mempunyai kekuatan yang patut diangkat sebagai kontribusi bagi perbaikan dunia. Satu contoh mudah dan populer dari perempuan yang kuat dalam kasih adalah Bunda Theresa. Bunda Theresa adalah perempuan, seorang biarawati Katolik keturunan Albania berkewarganegaraan India yang mendirikan Kongregasi Misionaris Cinta Kasih di Kalkuta, India, pada tahun 1950. Selama lebih dari 47 tahun, ia melayani orang miskin, sakit, yatim piatu dan sekarat. Bunda Theresa menyebarkan semangat kasih yang konkret ke seluruh India dan selanjutnya ke seluruh dunia.

Bunda Theresa terkenal di dunia internasional untuk pekerjaan kemanusiaan dan advokasi bagi hak-hak orang miskin dan tak berdaya. Misionaris Cinta Kasih terus berkembang sepanjang hidupnya dan pada saat kematiannya. Dia menjalankan misi-misi cinta kasih di berbagai negara termasuk penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDSlepra dan TBC, program konseling untuk anak dan keluarga, panti asuhan, dan sekolah. Banyak orang terinspirasi dari karyanya, dan memberi perubahan bagi banyak kelompok.

Walau mendapatkan tantangan dan menghadapi banyak kritik, Bunda Theresa tetap bergerak dalam keteguhan, kesederhanaan dan cinta. Ia menerima berbagai penghargaan, termasuk Penghargaan Perdamaian Nobel pada tahun 1979. Bunda Theresa menggunakan kekuatan perasaannya yang penuh kasih, yang kemudian menyalurkan kekuatan fisik yang nyata bagi banyak orang di berbagai tempat tanpa kecuali.

 

Mengkonkretkan Persaudaraan Manusia

Teladan seorang perempuan seperti Bunda Theresa, yang konkret berbuat bagi semua orang yang membutuhkan tanpa kecuali, selaras dengan seruan Dokumen Abu Dhabi. Apa yang sering disebut sebagai kelemahan perempuan, dalam pribadi Bunda Theresa menjadi kekuatan untuk membangun persahabatan yang konkret.

Bagi manusia masa kini yang berhadapan dengan banyak masalah, persahabatan konkret semacam itulah yang harus digaungkan. Karya yang menyentuh masalah sosial dan kebutuhan-kebutuhan konkret manusia masa kini menjadi jawaban atas Dokumen Abu Dhabi.

Bentuk yang sederhana, misalnya:

1.      Tokoh umat agama apa pun, termasuk biarawan-biarawati, pastur dan calon pastur, juga umat tanpa kecuali harus menjalin relasi persahabatan dengan orang-orang yang ada dalam lingkarannya seperti tetangga rumah pasturan/biara, orang-orang dalam bidang karya yang sama, lembaga yang sama dan sebagainya. Relasi tersebut harus sampai ke tataran bersahabat. Menjadi sahabat. Contoh dalam bacaan Injil bisa diambil dari kisah orang Samaria. Contoh realnya seperti yang sudah dibuat oleh para perempuan yang bertetangga. Saling kunjung ketika ada yang sakit, meninggal dan berduka. Saat ada yang mengadakan pesta, para perempuan ikut membantu masak, dalam bahasa Jawa disebut rewang. Pun kedekatan seorang sahabat tidak segan untuk berteriak lewat jendela ketika ada yang lewat dan sebagainya.

2.      Menghayati dan mendalami bidang-bidang yang ada dalam passion masing-masing sebagai sarana untuk masuk dan terlibat dalam suka duka masyarakat. Misal Rm. Mangun menggunakan isu lingkungan untuk bersama dengan masyarakat pinggir Kali Code. Atau  menggunakan seni budaya dalam persahabatan lintas agama dan sebagainya. Dengan demikian relasi lintas iman atau lintas apa pun tidak jatuh pada ceremonial belaka namun nyata konkret dalam masalah-masalah sosial, bersama masyarakat dan terlibat dalam masyarakat.

3.      Bidang pendidikan merupakan salah satu fokus Gereja Katolik yang bisa menjadi sarana untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi, berpihak pada orang miskin, dan seterusnya. Mengurangi gemerlap ‘wah’ sekolah Katolik harus dilakukan lewat semua program pendidikannya. Tidak hanya pamer konser tapi kampanye peduli lingkungan sekitar, aksi bekerja sama dengan sekolah lain, bersama masyarakat dan sebagainya.

4.      Bidang kesehatan selalu dibutuhkan oleh masyarakat. Gereja punya hati untuk melakukan hal ini sebagai penyaluran cinta belas kasih kepada semua orang tanpa kecuali sejak dulu. Resiko yang sangat besar mesti ditempuh seperti biaya, penggunaan BPJS, pengkaderan tenaga medis dan paramedis yang mumpuni sekaligus manusiawi. Namun karya ini bisa menjadi sarana yang nyata untuk menyentuh semua orang, termasuk membangun dan menyebarkan semangat kasih. Keramahan dan kelembutan mesti terus dibangun sebagai karya kasih.

5.      Gereja Indonesia mempunyai peran besar dalam gerakan credit union, koperasi kredit. Bidang sosial ekonomi semacam itu menjadi sarana konkret untuk terlibat bersama masyarakat dalam persaudaraan kemanusiaan, seperti yang diserukan oleh Gaudium Et Spes, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.” Pembangunan ekonomi keluarga yang sehat menjadi gerakan yang konkret untuk memajukan masyarakat, dengan kerja sama suami dan istri secara harmoni.

6.      Tentu saja Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan (GATK) adalah jalan pilihan tak tertawarkan. Tak boleh sedikitpun Gereja menunjukkan kekerasan dalam sikap, kata, kebijakan dan sebagainya. Pun Gereja tak boleh memprovokasi munculnya kekerasan, sekecil apa pun. Tapi Gereja juga punya suara yang harus digemakan dengan lantang, dalam pilihan berpihak pada orang yang lemah, korban ketidak adilan dan sebagainya. Yesus bilang berikan pipi kirimu saat ditampar pipi kananmu (Lih. Matius 5:39 - 44). Tapi saat Dia ditampar di sidang (Lih. Yoh. 18:23), Yesus memberikan sikap yang tegas. Dia protes dan mempertanyakan mengapa ditampar. Tujuan Yesus adalah mengubah ketidakadilan menjadi keadilan, menjadi kebenaran, menjadi kasih. Hal itu dilakukan dengan tidak hanya pasrah menyerah sebagai korban. Maka Gereja juga tak boleh membiarkan seorang pun entah laki-laki atau perempuan, entah orang dewasa atau anak-anak menjadi korban, oleh tindakan apa pun dan siapa pun.

 

Gerak Alami

            Bersahabat itu harusnya bukan gerak rekayasa, melainkan gerak alami. Sifat manusia sebagai makluk sosial selalu membutuhkan manusia lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Jika sendirian, manusia tidak akan berkembang. Dia akan berhenti dalam diri sendiri yang terbatas.

Kita bisa mengingat catatan Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan di antara sahabat adalah cinta. Dalam cinta, manusia akan menemukan persahabatan yang sejati. Dalam persahabatan, manusia akan membuka diri terhadap orang lain, dan dengan begini, manusia bisa mengembangkan dirinya. Manusia berani untuk melepaskan diri demi sahabat, rela mati demi untuk dia, dan di dalam kerelaannya melepaskan diri itu pulalah yang membuat manusia semakin menemukan diri, semakin berkembang.

Kita mestinya berani menambah jumlah sahabat dan meningkatkan kualitas persahabatan, menjadikan semua manusia sebagai saudara. Seperti yang ditandaskan pada bagian pengantar Dokumen Abu Dhabi (terjemahan Indonesia), bahwa iman menuntun orang beriman untuk memandang dalam diri sesamanya seorang saudara lelaki atau perempuan untuk didukung dan dikasihi. Melalui iman pada Allah, yang telah menciptakan alam semesta, ciptaan, dan seluruh umat manusia (setara karena rahmatNya), umat beriman dipanggil untuk menyatakan persaudaraan manusia ini dengan melindungi ciptaan dan seluruh alam semesta serta mendukung semua orang, terutama mereka yang paling miskin dan yang paling membutuhkan.

****


No comments:

Post a Comment