Tulisan ini sebenarnya kubuat atas permintan sebuah panitia untuk penerbitan bunga rampai terkait Dokumen Abu Dhabi. Entah mengapa tidak ada kelanjutan lagi tentang naskah itu, jadi kupasang saja di blog ini supaya tetap tersebar.
MENJADI SAHABAT BAGI PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI
TANPA KECUALI
Refleksi atas Dokumen Abu Dhabi
Oleh: Yuli Nugrahani, STP
Badan Pengurus SGPP
KWI 2018-2021
Salah satu point dalam Dokumen Persaudaraan Manusia yang ditandatangani oleh
Sheikh Ahmad al-Tayeb, Grand Syekh Al Azhar, Kairo, Mesir dan Paus
Fransiskus, pemimpin tertinggi umat Katolik se-dunia di Abu Dhabi pada 4
Februari 2019 memperhatikan secara khusus tentang pemenuhan hak kaum perempuan.
Yaitu, bahwa hak kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan
berpolitik harus diakui. Segala bentuk eksploitasi seksual dengan alasan apapun
harus dihentikan.
Hal ini menajamkan banyak point lain yang berbicara tentang
penghormatan terhadap martabat manusia tanpa terkecuali, entah laki-laki atau
perempuan. Point ini mengingatkan semua orang bahwa yang disebut sebagai
manusia adalah laki-laki dan perempuan, yang diciptakan dengan martabat yang
sama. (Lih. Kej. 1:26-28)
Kondisi dan Situasi
Perempuan Indonesia Masa kini
Point tentang hak kaum perempuan
dalam Dokumen Abu Dhabi itu sangat relevan dengan kondisi dan situasi di Indonesia
masa kini. Dari data-data dari Badan Pusat Statistik (BPS) berikut kita masih
melihat bahwa perempuan tidak selalu mendapatkan hak-hak yang sama dan setara sebagai
warganegara.
Dalam bidang pendidikan, rata-rata lama
perempuan bersekolah lebih rendah daripada laki-laki.
Rata-rata Lama Sekolah di Indonesia menurut
jenis kelamin.
Tahun
|
2014
|
2015
|
2016
|
2017
|
2018
|
Perempuan
|
7,23
|
7,35
|
7,50
|
7,65
|
7,72
|
Laki-laki
|
8,24
|
8,35
|
8,41
|
8,62
|
8,65
|
Dalam pemilihan pekerjaan, bisa dilihat
distribusi job manajer berikut ini.
Perempuan yang berada dalam posisi manajer hanya 28,97 % sedangkan laki-laki
71,03%. Ini bisa diartikan perempuan bekerja lebih banyak bukan pada posisi
pengambil kebijakan atau keputusan.
|
2016
|
2017
|
2018
|
Perempuan
|
24,17
|
26,63
|
28,97
|
Laki-laki
|
75,83
|
73,37
|
71,03
|
Ketimpangan itu masih bisa dilihat dari upah
rata-rata per jam pada tahun 2018. Pekerja laki-laki rata-rata mendapatkan upah Rp.
15.892 per jam, sedang perempuan hanya mendapatkan Rp. 14.142 per jam.
Dalam ranah politik, keterlibatan perempuan di parlemen juga
sangatlah kecil. Sejak tahun 2014 sampai dengan 2018 hanya 17,32% perempuan
yang terlibat dalam parlemen. Angka ini malah turun jika dibandingkan dengan
tahun 2013 yang mencapai 18,04%.
Hal itu ditambah dengan fakta bahwa perempuan
masih menjadi korban terbesar dalam kekerasan segala bentuk. Paling tidak
menurut yang dilaporkan. Tahun 2017 ada 348.466 kasus pengaduan Hak Asasi
Manusia (HAM) perempuan terutama kekerasan terhadap perempuan.
Perempuan Berbela Kasih
Padahal, perempuan mempunyai kekuatan yang
patut diangkat sebagai kontribusi bagi perbaikan dunia. Satu contoh mudah dan
populer dari perempuan yang kuat dalam kasih adalah Bunda Theresa. Bunda
Theresa adalah perempuan, seorang biarawati Katolik
keturunan Albania berkewarganegaraan India yang mendirikan Kongregasi
Misionaris
Cinta Kasih di Kalkuta, India, pada tahun 1950.
Selama lebih dari 47 tahun, ia melayani orang miskin, sakit, yatim piatu dan
sekarat. Bunda Theresa menyebarkan semangat kasih yang konkret ke seluruh India
dan selanjutnya ke seluruh dunia.
Bunda Theresa terkenal di dunia
internasional untuk pekerjaan kemanusiaan dan advokasi bagi hak-hak orang
miskin dan tak berdaya. Misionaris Cinta Kasih terus berkembang sepanjang
hidupnya dan pada saat kematiannya. Dia menjalankan misi-misi cinta kasih di
berbagai negara termasuk penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, lepra dan TBC, program
konseling untuk anak dan keluarga, panti asuhan, dan sekolah. Banyak orang terinspirasi
dari karyanya, dan memberi perubahan bagi banyak kelompok.
Walau mendapatkan tantangan dan menghadapi
banyak kritik, Bunda Theresa tetap bergerak dalam keteguhan, kesederhanaan dan
cinta. Ia menerima berbagai penghargaan, termasuk Penghargaan Perdamaian Nobel pada tahun 1979. Bunda Theresa
menggunakan kekuatan perasaannya yang penuh kasih, yang kemudian menyalurkan
kekuatan fisik yang nyata bagi banyak orang di berbagai tempat tanpa kecuali.
Mengkonkretkan Persaudaraan Manusia
Teladan seorang perempuan seperti Bunda Theresa, yang
konkret berbuat bagi semua orang yang membutuhkan tanpa kecuali, selaras dengan
seruan Dokumen Abu Dhabi. Apa yang sering disebut sebagai kelemahan perempuan,
dalam pribadi Bunda Theresa menjadi kekuatan untuk membangun persahabatan yang
konkret.
Bagi manusia masa kini yang berhadapan dengan banyak
masalah, persahabatan konkret semacam itulah yang harus digaungkan. Karya yang
menyentuh masalah sosial dan kebutuhan-kebutuhan konkret manusia masa kini
menjadi jawaban atas Dokumen Abu Dhabi.
Bentuk yang sederhana, misalnya:
1. Tokoh umat agama apa pun, termasuk biarawan-biarawati,
pastur dan calon pastur, juga umat tanpa kecuali harus menjalin relasi
persahabatan dengan orang-orang yang ada dalam lingkarannya seperti tetangga rumah
pasturan/biara, orang-orang dalam bidang karya yang sama, lembaga yang sama dan
sebagainya. Relasi tersebut harus sampai ke tataran bersahabat. Menjadi
sahabat. Contoh dalam bacaan Injil bisa diambil dari kisah orang Samaria.
Contoh realnya seperti yang sudah dibuat oleh para perempuan yang bertetangga.
Saling kunjung ketika ada yang sakit, meninggal dan berduka. Saat ada yang
mengadakan pesta, para perempuan ikut membantu masak, dalam bahasa Jawa disebut
rewang. Pun kedekatan seorang sahabat
tidak segan untuk berteriak lewat jendela ketika ada yang lewat dan sebagainya.
2. Menghayati dan mendalami bidang-bidang yang ada dalam passion masing-masing sebagai sarana untuk
masuk dan terlibat dalam suka duka masyarakat. Misal Rm. Mangun menggunakan isu
lingkungan untuk bersama dengan masyarakat pinggir Kali Code. Atau menggunakan seni budaya dalam persahabatan
lintas agama dan sebagainya. Dengan demikian relasi lintas iman atau lintas apa
pun tidak jatuh pada ceremonial belaka namun nyata konkret dalam
masalah-masalah sosial, bersama masyarakat dan terlibat dalam masyarakat.
3. Bidang pendidikan merupakan salah satu fokus Gereja
Katolik yang bisa menjadi sarana untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi,
berpihak pada orang miskin, dan seterusnya. Mengurangi gemerlap ‘wah’ sekolah Katolik
harus dilakukan lewat semua program pendidikannya. Tidak hanya pamer konser
tapi kampanye peduli lingkungan sekitar, aksi bekerja sama dengan sekolah lain,
bersama masyarakat dan sebagainya.
4. Bidang kesehatan selalu dibutuhkan oleh masyarakat.
Gereja punya hati untuk melakukan hal ini sebagai penyaluran cinta belas kasih
kepada semua orang tanpa kecuali sejak dulu. Resiko yang sangat besar mesti
ditempuh seperti biaya, penggunaan BPJS, pengkaderan tenaga medis dan paramedis
yang mumpuni sekaligus manusiawi. Namun karya ini bisa menjadi sarana yang
nyata untuk menyentuh semua orang, termasuk membangun dan menyebarkan semangat
kasih. Keramahan dan kelembutan mesti terus dibangun sebagai karya kasih.
5. Gereja Indonesia mempunyai peran besar dalam gerakan credit union, koperasi kredit. Bidang
sosial ekonomi semacam itu menjadi sarana konkret untuk terlibat bersama
masyarakat dalam persaudaraan kemanusiaan, seperti yang diserukan oleh Gaudium Et Spes, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang,
terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.” Pembangunan ekonomi
keluarga yang sehat menjadi gerakan yang konkret untuk memajukan masyarakat,
dengan kerja sama suami dan istri secara harmoni.
6. Tentu saja Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan (GATK) adalah
jalan pilihan tak tertawarkan. Tak boleh sedikitpun Gereja menunjukkan
kekerasan dalam sikap, kata, kebijakan dan sebagainya. Pun Gereja tak boleh
memprovokasi munculnya kekerasan, sekecil apa pun. Tapi Gereja juga punya suara
yang harus digemakan dengan lantang, dalam pilihan berpihak pada orang yang
lemah, korban ketidak adilan dan sebagainya. Yesus bilang berikan pipi kirimu
saat ditampar pipi kananmu (Lih. Matius
5:39 - 44). Tapi saat Dia ditampar di sidang (Lih. Yoh. 18:23), Yesus memberikan sikap yang tegas. Dia protes dan
mempertanyakan mengapa ditampar. Tujuan Yesus adalah mengubah ketidakadilan
menjadi keadilan, menjadi kebenaran, menjadi kasih. Hal itu dilakukan dengan
tidak hanya pasrah menyerah sebagai korban. Maka Gereja juga tak boleh
membiarkan seorang pun entah laki-laki atau perempuan, entah orang dewasa atau
anak-anak menjadi korban, oleh tindakan apa pun dan siapa pun.
Gerak Alami
Bersahabat itu harusnya bukan gerak
rekayasa, melainkan gerak alami. Sifat manusia sebagai makluk sosial selalu
membutuhkan manusia lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Jika sendirian,
manusia tidak akan berkembang. Dia akan berhenti dalam diri sendiri yang
terbatas.
Kita bisa mengingat catatan Aristoteles
yang mengatakan bahwa keutamaan di antara sahabat adalah cinta. Dalam cinta,
manusia akan menemukan persahabatan yang sejati. Dalam persahabatan, manusia
akan membuka diri terhadap orang lain, dan dengan begini, manusia bisa
mengembangkan dirinya. Manusia berani untuk melepaskan diri demi sahabat, rela
mati demi untuk dia, dan di dalam kerelaannya melepaskan diri itu pulalah yang
membuat manusia semakin menemukan diri, semakin berkembang.
Kita mestinya berani menambah jumlah
sahabat dan meningkatkan kualitas persahabatan, menjadikan semua manusia
sebagai saudara. Seperti yang ditandaskan pada bagian pengantar Dokumen Abu
Dhabi (terjemahan Indonesia), bahwa iman menuntun orang beriman untuk
memandang dalam diri sesamanya seorang saudara lelaki atau perempuan untuk
didukung dan dikasihi. Melalui iman pada Allah, yang telah menciptakan alam
semesta, ciptaan, dan seluruh umat manusia (setara karena rahmatNya), umat beriman
dipanggil untuk menyatakan persaudaraan manusia ini dengan melindungi ciptaan
dan seluruh alam semesta serta mendukung semua orang, terutama mereka yang
paling miskin dan yang paling membutuhkan.
****