Yuli Nugrahani, STP
Wakil Ketua 2
Forum PUSPA Provinsi Lampung
Disampaikan dalam workshop bertema:
“Tingkatkan
Kemandirian Ekonomi Perempuan Berbasis Digital”
Diselenggarakan oleh Forum Puspa Prov. Lampung
bersama Perempuan Saburai
Eatboss Cafe, Bandarlampung, 2 Juli 2019
Pengantar
Gambar di
samping adalah data yang dimiliki oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Lampung. Data selain keterangan pada gambar
diambil pada tahun 2016. Dari gambar tersebut tampak bahwa jumlah perempuan
lebih sedikit dibanding laki-laki, sebagian kecil menjadi kepala keluarga,
lebih dari 30% rawan sosial dan ekonomi, terlibat dalam parlemen sangat kecil,
pendidikan lebih rendah, menyumbang pendapatan kerja lebih kecil, dan menjadi
korban kekerasan terbanyak. Data ini dapat kita jadikan latar belakang untuk
menjawab mengapa ketika kita bicara tentang gender, kita masih berbicara
tentang perempuan.
Ketidakadilan Akses
Ekonomi terhadap Perempuan
Ada
banyak bentuk ketidakadilan akses ekonomi terhadap perempuan. Kita bisa mulai
dari satu point dari data di atas. Rata-rata lama sekolah perempuan, lebih
sedikit dibanding dengan laki-laki. Pendidikan yang rendah membuat perempuan
mempunyai pilihan yang lebih terbatas dalam mengakses pekerjaan serta posisi.
Karena itu sangat wajar jika sumbangan perempuan dalam pendapatan kerja jauh
lebih kecil dibanding laki-laki.
Belum
lagi kalau kita bicara tentang akses permodalan. Kebanyakan perempuan dalam
budaya patriarki menyerahkan (dipaksa menyerahkan) hak atas harta benda yang
bisa dijadikan agunan modal kepada kepala keluarga, laki-laki. Pun kalau
bekerja untuk orang lain, mendapatkan diskriminasi gaji.
Visi
Forum Komunikasi Partisipasi Masyarakat untuk Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (PUSPA) Provinsi Lampung adalah Menjadi mitra strategis
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menuntaskan Three
Ends (akhiri kekerasan, kesenjangan ekonomi dan perdagangan manusia pada
perempuan dan anak). Mengakhiri kesenjangan ekonomi pada perempuan dimulai dari
kesadaran, kebijakan yang berpihak pada keadilan gender (dalam hal ini
perempuan) dan mendorong pemberdayaan terhadap kaum marginal (dalam hal ini
perempuan)
Komunitas dan Pengelolaannya
Dua
tahun lalu saya berkunjung ke sebuah komunitas di daerah Ngarip, Tanggamus. Ada
sekelompok ibu-ibu sedang merintis Koperasi Simpan Usaha (KSU) didampingi oleh
Rumah Kolaborasi (Ruko). Salah satu impian awal mereka sangat sederhana. “Lebih
dari 80% penduduk Pekon Ngarip menyandarkan hidupnya dari kebun kopi. Tapi
mengapa mereka minum kopi yang bermerk dari luar Ngarip?” Maka mereka mulai
membuat kelompok, mengumpulkan modal untuk simpan pinjam tapi pinjam bukan
untuk konsumsi melainkan produksi. Lalu mereka juga membuat usaha bersama
berbentuk pengolahan kopi hingga pengemasan yang bagus. Tahun lalu mereka sudah
bisa memenuhi 20% kebutuhan kopi sehari-hari. Mereka meningkatkan pendapatan
keluarga. Efek lain, para ibu itu semakin percaya diri, bisa
mengidentifikasikan kebutuhan mereka dan mengatakannya, dan pekon yang dulunya
tidak pernah memasukkan perempuan dalam struktur pekon mulai mempertimbangkan
keberadaan mereka demi kemajuan bersama.
KSU
Srikandi yang mereka rintis, meletakkan dasar pada saling percaya dan
solidaritas. Lihat saja cara mereka mengantisipasi anggota yang nunggak
angsuran. Pengurus akan mengingatkan secara personal dan jika belum juga
menyelesaikan tanggungjawabnya selama tiga kali berturut-turut, mereka sepakat
untuk menagih beramai-ramai. Sanksi sosial ini cukup manjur untuk menjaga
keamanan dana yang berputar di KSU Srikandi sehingga belum pernah hal itu harus
dilakukan.
Komunitas
semacam ini bisa menjadi salah satu kekuatan bagi perempuan untuk mengembangkan
dirinya, keluarganya serta membentenginya dari perilaku yang bisa membuatnya
menjadi korban. Persaudaraan saling percaya dan solider dalam komunitas membuat
perempuan tidak perlu merasa sendirian.
Mengembangkan
ekonomi secara kreatif bisa dimulai dari sana. Pertama, mendapatkan akses
permodalan alternatif; kedua, mendapatkan peluang mendapatkan wawasan dan
pelatihan; ketiga, melakukan kerja produktif dengan seimbang; dan keempat,
mengembangkan pemasaran yang manusiawi melalui berbagai cara termasuk
pemanfaatan teknologi digital.
Saya selalu
yakin bahwa perempuan yang mandiri adalah perempuan yang tahu kebutuhannya
sendiri secara fisik, fsikis dan rohani, berani melakukan pilihannya, dan
secara hamonis menjaga keberadaannya sebagai ‘manusia’ yang hidup bersama
dengan manusia lain dan ciptaan lain.
Penutup
Forum
PUSPA Provinsi Lampung sekarang ini sudah melibatkan 21 lembaga masyarakat, dan
diharapkan terus berkembang sebagai mitra sinergis bagi pemerintah maupun
masyarakat. PUSPA mendorong keterlibatan seluruh lembaga masyarakat untuk
menuju 3 ends (akhiri kekerasan, kesenjangan ekonomi dan perdagangan manusia), seperti
yang sekarang ini digagas oleh Perempuan Saburai. Bagian ingin saya jadikan
catatan di bagian akhir tulisan ini adalah kita harus menghindari: pertama,
androsentrisme, yang menganggap laki-laki lebih baik dari perempuan, lalu para
perempuan menjadi minder menyerah saja karena menganggap diri manusia kelas dua.
Kedua, sub-ordinasi terbalik, yang merasa bahwa selama ini perempuan sudah
ditindas, maka begitu ada kesempatan balik menindas laki-laki.
Manusia
itu setara dengan kebutuhan khusus pada tiap personnya. Kita harus menghormati
kesetaraan perempuan dan laki-laki sebagai manusia, dan bersama-sama mewujudkan
keadilan bagi semuanya, tanpa kecuali. ***
No comments:
Post a Comment