TEKNOLOGI informasi makin canggih dan orang kini dapat mengakses peristiwa apa pun dari manapun, yang tak jarang aneh-aneh, ganjil-ganjil, mendului imajinasi. Hal itu berdampak ke sastra, ke cerpen. Peran bentuk pada cerpen semakin penting, dan pengarang pun ditantang menemukan cara atau seni bercerita yang lebih agar cerpen tetap memikat-menarik dibaca.
Dengan demikian, tetap dapat diterima atau tetap bisa menarik cerpen yang berangkat dari realitas atau dari konflik sosial, atau peristiwa politik yang kita lihat/hadapi sehari-hari, asal cerpen itu tak hadir biasa saja atau sebutlah macam potret. Tapi melalui cara bercerita yang “lebih” itu, yang membuat kita/pembaca tak terpaku hanya ke yang tersurat. Dengan begitu pula, kita/pembaca dihargai; yang lahir-berkembang di pikiran kita bebas memaknai. Nah, di titik ini cerpen itu pun berjaya memenuhi sifat karya sastra yaitu ambiguitas.
Saya menangkap ke arah itu Yuli Nugrahani melangkah dengan “Daun-daun Hitam” (Indepth Publishing, Agustus 2014); Kumpulan Cerpen Yuli Nugrahani dan Sketsa Dana E Rachmat. 12 cerpen Yuli di kumpulan ini umumnya berangkat dari peristiwa sosial, politik, yang biasa kita dengar/jumpai di negeri ini. Tapi cerpen-cerpen itu tak dihadirkan macam potret. Pengarang terkesan menumpukan pergulatan kreatif ke cara atau pada seni bercerita. Dengan lain kata bukan “apa” (isi)-nya yang ditonjol/dikedepankan tapi “bagaimana”-nya (menyampaikan isi) itu.
Dan hal senada juga mengemuka pada sketsa-sketsa Dana E Rachmat, yang mendampingi cerpen-cerpen Yuli. Sketsa Dana tidak hadir sekadar penghias atau sebutlah serupa ilustrasi-ilustrasi yang menyertai cerpen-cerpen di majalah terutama di masa lalu, tapi bisa kita sikapi selaku karya mandiri –meski tentu pula dapat membawa imajinasi kita mengaitkan dengan cerpen Yuli yang menyertai/disertainya.
***
MENUMPUKAN pergulatan kreatif ke cara atau seni bercerita, bak mengetuk berbagai pintu. Bagi Yuli Nugrahani di antologi “Daun-daun Hitam” ini, terbuka pintu yang memungkinkan ia mengeksplorasi unsur-unsur yang ada pada cerpen: setting, tokoh, alur, dll. Maka dialog dan setting pun dia jalin begitu rupa, selang-seling ataupun berpadu, saling topang menguatkan. Pun dengan deskripsi suasana; baik suasana di luar diri, juga suasana dalam diri tokoh utama cerita.
Hal demikian misalnya mengemuka di cerpen “Pasien” –juga cerpen satu-satunya yang saya urai pada kesempatan ini terkait cara/seni bercerita; atau sebutlah “Pasien” wakil 11 cerpen Yuli lainnya meskipun masing-masing jelas memiliki perbedaan. “Pasien” dibuka Yuli dengan deskripsi setting (dan dari deskripsi ini hadir suasana), yang ia jalin berselang-seling ataupun berpatu dengan gambaran suasana dalam diri tokoh utama cerita. Seperti ini:
Tak ada ruang resepsionis, juga tak ada seseorang sebagai penerima tamu, sekretaris, atau sejenisnya. Lebih bagus lagi tempat ini terlihat seperti rumah biasa, tanpa plang nama di halaman, tanpa tanda-tanda rumah yang biasa dikunjungi oleh tamu. Aku sedikit lega karena dengan demikian aku tak harus berjumpa orang-orang yang kukenal maupun mengenalku.
Saat menekan bel, jam di tanganku menunjukkan bahwa aku sudah terlambat 15 menit dari waktu yang dijadwalkan. Aku sengaja melambatkan langkah setelah memarkir mobil sekitar dua blok dari rumah ini karena rasa gamang yang menyergap. Keyakinan yang aku pupuk beberapa hari lalu lenyap dalam gelenyar kegelisahan dan kepanikan.
Tapi aku sudah di depan pintu yang terbuka. Senyumnya mengembang, mempersilakan aku masuk....
Dengan cara/seni bercerita seperti itu setidaknya dua hal mengemuka. Satu, perlahan tetapi pasti kita/pembaca dibawa masuk ke suasana; kedua, dari situ mulai muncul pertanyaan. Ya, siapa “aku”? Siapa pula pembuka pintu? Mengapa “aku” mendatangi tempat yang “terlihat seperti rumah biasa” itu? Tapi kita lanjut saja dulu.
Seusai buka pintu, senyum, dan pembuka pintu itu mengajak “aku” ke ruang tengah sambil menawari “teh”, atau “kopi, atawa “minuman dingin” seraya menyebut nama “aku” (yaitu Adel), cerita pun dilanjutkan Yuli Nugrahani. Dan, lagi-lagi dengan lukisan suasana dalam diri tokoh (reaksi atas sambutan si pembuka pintu), gambaran setting di luar dirinya serta dialog (jawaban atas pertanyaan pembuka pintu itu). Begini:
Aku suka dengan caranya memanggil namaku. Lama sekali orang tidak lagi menyapa namaku begitu saja, tanpa sebutan ibu, madam, atau nyonya di awal nama. Aku diam beberapa saat membiarkan udara tanpa getaran, menyempatkan melihat ruang depan sembari kami lewati pelahan. Ruang tamu sederhana dengan seperangkat kursi rotan, lukisan abstrak bergaya Gogh di sisi utara dan sebuah guci Cina warna biru kobalt dengan beberapa payung di dalamnya. Cahaya redup dari jendela dan ventilasi membuat ruangan itu terlihat sejuk.
Tapi ruang tengah yang dia maksud membuat aku merasa jauh lebih nyaman.
“Teh tawar saja jika tak merepotkan. Terimakasih,” kataku ketika melihat dia tak mengatakan apapun yang lain, langsung menuju meja kecil di sudut ruang....
Nah, kian terdorong kita, pembaca, untuk mengetahui siapa “aku” ini, serta apa urusannya mendatangi tempat yang “terlihat seperti rumah biasa”, beruang tamu “sederhana dengan seperangkat kursi rotan, lukisan abstrak bergaya Gogh” dan lain sebagainya itu –dengan informasi yang bagai sengaja disampaikan selintas-lintas serta dijalin dengan lukisan setting yang menghadirkan suasana tertentu itu.
Dan, memang terus begitu, hingga cerita berakhir. Unsur-unsur cerpen itu dieksplorasi Yuli, ia jalin berselang-seling, atau ia padu, saling topang menguatkan. Tidak terkecuali informasi mengenai kedua tokoh cerita, suasana batin si tokoh utama, tak dijejalkan –tapi ditampilkan bak selintas-lintas bersamaan dengan unsur-unsur lain yang digarap dengan baik. Seperti ini, misalnya:
“Kenapa Adel ingin bertemu denganku?”
Nada suaranya lebih mirip seorang kenalan yang sudah lama tidak jumpa daripada seorang psikiater, atau seperti kata temanku, seorang terapis. Tapi pertanyaan itu tetap saja membuat sepasang ketiakku menjadi panas, gerah basah, juga bagian belakang kepala dan punggungku. Kontras dengan lenganku yang merasa menggigil kedinginan. Aku lihat bulu-bulu tanganku merinding mengikuti perasaan itu.
“Hmmm....”
Aku memutar-mutar pegangan cangkir hingga ada derit antara cangkir dan cawannya. Untuk menghilangkan bunyi itu, yang rasanya memang tidak nyaman, aku mengangkat cangkir dan mendekatkan ke bibir walau aku tidak benar-benar menyeruputnya. Aku mengingat quick-count, kotak-kotak suara, hingar-bingar kampanye, uang-uang, artis-artis.... Kepalaku berdenyut.
“Itu teh dari Kertowono, konon kualitas yang terbaik. Beberapa orang memujinya saat aku kirimi teh itu. Cobalah.”
Aku mencicipi beberapa tetes. Melihat ampas teh mengendap....
Begitulah, maka tatkala cerpen “Pasien” itu berakhir, kita/pembaca, yang asyik oleh pesona suasana dan rasa ingin tahu mengenai tokoh cerita akan mendapat kesimpulan sendiri, alias tak didiktekan pengarang. Dan bagi saya kesimpulan itu kira-kira seperti ini: Hm, perempuan bernama Adel itu adalah politisi yang gagal, yang mengalami stres (tak cuma uang terbuang, hubungannya pun memburuk dengan pasangan), lalu mendatangi psikiater/terapis yaitu Sid. Itu akibat tuntutan sekaligus sistem politik yang tak beres di negeri ini, lebih mengutamakan materi/hura-hura daripada kualitas manusia.
***
KEMBALI ke awal, kalau saja Yuli Nugrahani tak berorientasi pada bentuk penyampaian atau ke cara/seni bercerita bagai saya urai di atas, maka cerpen “Pasien” dan cerpen-cerpen Yuli lainnya dalam kumpulan “Daun-daun Hitam” ini hemat saya akan kehilangan daya tarik atau daya pikatnya. Sebab melalui teknologi informasi canggih sekarang ini kita dapat mengakses berbagai-bagai peristiwa seperti dialami tokoh Adel itu –malah lebih tragis dari itu pun ada, juga yang lebih aneh-aneh plus lucu.
Maka hal itu bagi saya mengisyaratkan, bahwa peran bentuk dalam cerpen kini menjadi kian penting. Pengarang dituntut untuk menemukan cara atau seni bercerita yang lebih, supaya cerpen tetap menarik/memikat dibaca. Dan Yuli Nugrahani telah melangkah ke sana dengan kumpulan cerpennya, “Daun-Daun Hitam”.
Jakarta, Minggu 7.9.2014