Beberapa hari atau minggu yang lalu kabar duka datang lewat sms dan email. "Rm. Gondo meninggal, Mbak Yuli." Aku tidak terlalu kaget. Aku tahu Rm. Gondo memang sakit dalam beberapa bulan atau tahun belakangan. Tidak terlalu merasa kehilangan karena aku memang biasa saja mengenal romo ini. Malah dalam beberapa kali kesempatan bertemu aku selalu secara sadar menghindari perbincangan dengan romo. Hanya menyapa, nglirik dikit dan bercakap ala kadarnya. Aku menganggap chemistry antara kami tidak ada. Dari pada malah berantem lebih baik aku tidak terlibat jauh dalam perbincangan dengannya. Itu pendapatku. Ketika rapat di FPBN pas dia hadir, di pojokan lalu tertidur, aduh, aku sengit banget. Kalau pas dia gak hadir, ya wis, dirasani lebih enak dari pada dirindukan. Kayaknya gak ada yang serius bisa kuingat dari romo ini.
Pagi ini ketika membaca tulisan berdasar kotbah Rm. Sindhu saat pemakamannya yang dimuat di Sesawi, aku menitikkan air mata. Aku sama sekali tidak mengenal Rm. Gondo tapi sudah memvonisnya. Menutup segala peluang terhadap persahabatan dengannya, padahal kami berdua pada satu masa, sama-sama mengatakan 'pendamping buruh'. Aku menitikkan air mata bukan karena menyesali aku sudah mengabaikan seluruh perjumpaan dan perkataannya, tapi aku merasakan rahmat tercurah dari pemahaman baru ini. Rm. Gondo telah memberiku pengajaran ketika dia sudah beberapa hari meninggal. Lewat cara yang aneh telah ada pemahaman baru dalam hidupku, melalui Rm. Gondo. Terimakasih, Romo. Selamat jalan.
No comments:
Post a Comment