dalam perjalanan
tak pernah jadi pakar
selalu setengah-setengah
tapi semua kudapat
aku juga perempuan
dalam mimpi
tanpa mengabdi
hanya untuk diri
kali ini
aku akan bergegas
berjalan mencapai mimpi
sebelum mati
Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu.
Aku datang kembali ke ribaanmu, dalam sepimu, dan dalam dinginmu.
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna.
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan.
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu, seperti kau terima daku.
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi.
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada.
Hutanmu adalah misteri segala cintamu.
Dan cintaku adalah kebisuan semesta.
Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi.
Kau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampaan semua.
“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita bisa mengerti, tanpa
kita bisa menawar.
Terimalah dan hadapilah.”
Dan antara ransel-ransel yang kosong dan api unggun yang membara, aku terima semua itu.
Melampaui batas-batas hutanmu.
Melampaui batas-batas jurangmu.
Aku cinta padamu Pangrango.
Karena aku cinta pada keberanian hidup.
Soe Hok-gie
Jakarta, 19 Juli 1966
Namun ternyata ada lagi kekuatan manusia yang bisa mengalahkan hal itu. Kekuatan doa. Doa yang hanya setengah hati pun lebih kuat dari seluruh rekayasa hati. Hingga tidak ada lagi yang harus disesali walau air mata mengalir, sedih kecewa membuncah. Seluruh keinginan dan rekayasa dihancurkan. Marah, sedih, kecewa, tapi tak ada penyesalan. Yang ada adalah syukur karena Sang Ilahi menitahkan keselamatan. Lewat doa yang hanya setengah hati diucapkan.