1. Instropeksi diri. Benarkah aku sudah punya hati? Hati yang peduli pada orang lain, tidak nyakitin orang lain dll. Nah kalau ternyata aku saja gak punya hati, kenapa harus sakit hati?
2. Menaikkan standar sakit. Intine, misal waktu aku kecil jatuh saat jalan aku merasa sakit, tapi sekarang jatuh kecebur got pun aku gak merasa sakit. Kalau dulu dikatain,"Kamu ini pemalu banget." Hatiku sudah sakit. Sekarang aku dikatain,"Asu!" Nggak kerasa apa-apa tuh.
3. Jaga-jaga sebelum sakit. Iyalah, selama hidup kan gak mungkin sehat terus hati ini. Pasti ada jatuh sakitnya juga. Selama belum sakit, tanam kesadaran itu. Pasti akan terjadi juga. Tapi jangan menunggu dan mengundangan rasa sakit hati itu datang, ya.
4. Siapin obatnya. Beberapa orang menyiapkan stok obat sakit hati dengan cara berbeda. Senyum, marah, sedih,...bahkan ada yang bunuh diri. Nah, mumpung masih sehat pikir-pikir aja obat yang paling cocok n tidak merugikan diri sendiri.
5. Terapi. Ada terapi-terapi khusus untuk sakit hati. Jika masih ringan, terapi senyum sangat dianjurkan. Jika sakit hatinya sudah akut, silakan hubungi dokter jiwa terdekat.
Tuesday, January 25, 2011
Monday, January 24, 2011
Gitanjali
Gitanjali adalah lagu pemberian. Jika berhadapan dengan Sang Ilahi, tentu saja bisa diubah menjadi lagu persembahan.
Karena ini berhadapan denganmu, maka gitanjali adalah salamku yang kudendangkan khusus untukmu.
Karena ini tentangmu, maka gitanjali adalah senandungku yang pelan-pelan kulantunkan tanpa didengar orang lain selain dirimu.
Karena ini hanya untukmu, maka gitanjali adalah suara yang kupinjam dari Rabindranath Tagore tanpa melepas suaraku.
Bersamanya aku mengalungkan bunga di lehermu dan menyuapkan manisan di bibirmu. Kau dengar gemerincing gelang kakiku? Itu tarianku!
Karena ini berhadapan denganmu, maka gitanjali adalah salamku yang kudendangkan khusus untukmu.
Karena ini tentangmu, maka gitanjali adalah senandungku yang pelan-pelan kulantunkan tanpa didengar orang lain selain dirimu.
Karena ini hanya untukmu, maka gitanjali adalah suara yang kupinjam dari Rabindranath Tagore tanpa melepas suaraku.
Bersamanya aku mengalungkan bunga di lehermu dan menyuapkan manisan di bibirmu. Kau dengar gemerincing gelang kakiku? Itu tarianku!
Friday, January 21, 2011
Wartawan Undangan
Sedang berpikir soal harga beras yang mahal, cabe yang tidak pedes, ukuran tempe yang semakin mengecil, dll urusan negara merdeka, seseorang menohok.
"Dimana harga diri kita? Masak kita tidak diundang?"
"Apaan sih?"
"Ini acara penting. Kok mereka gak menganggap media kita sih?"
"Apa pentingnya buat kita?"
"Ini acara besar. Tapi kita tidak diundang."
"Diundang pun aku tak kan menuliskannya. Datang makan ok. Tapi tak kan kumuat di majalah."
Hehehe...protes dia. Aku pun tertawa keras bertepuk tangan. Hahahaha...karena akhirnya dia mengeluarkan seluruh argumentasi panjang lebar dengan logika otak wartawan yang dimilikinya.
Aku masih tertawa ketika aku mesti bicara dengan lembut penuh kasih padanya.
"Wartawan apaan tuh yang datang meliput atau menulis hanya karena diundang. Kalau tidak diundang tidak menulis apa-apa."
"Wartawan pemprop, mbak..." Hahaha...nyerah dia karena dia belum mandi dan gak tahan baunya sendiri. Hahaha... Malah menuduh sembarangan kalau wartawan pemprop hanya mengandalkan amplop, eh salah...ngandalin undangan? Ampun deh.
"Sudah mandi sana!!" Dia pun ngacir dengan sukses supaya aku bisa menuliskannya di blog ini.
"Dimana harga diri kita? Masak kita tidak diundang?"
"Apaan sih?"
"Ini acara penting. Kok mereka gak menganggap media kita sih?"
"Apa pentingnya buat kita?"
"Ini acara besar. Tapi kita tidak diundang."
"Diundang pun aku tak kan menuliskannya. Datang makan ok. Tapi tak kan kumuat di majalah."
Hehehe...protes dia. Aku pun tertawa keras bertepuk tangan. Hahahaha...karena akhirnya dia mengeluarkan seluruh argumentasi panjang lebar dengan logika otak wartawan yang dimilikinya.
Aku masih tertawa ketika aku mesti bicara dengan lembut penuh kasih padanya.
"Wartawan apaan tuh yang datang meliput atau menulis hanya karena diundang. Kalau tidak diundang tidak menulis apa-apa."
"Wartawan pemprop, mbak..." Hahaha...nyerah dia karena dia belum mandi dan gak tahan baunya sendiri. Hahaha... Malah menuduh sembarangan kalau wartawan pemprop hanya mengandalkan amplop, eh salah...ngandalin undangan? Ampun deh.
"Sudah mandi sana!!" Dia pun ngacir dengan sukses supaya aku bisa menuliskannya di blog ini.
Thursday, January 20, 2011
Gayus Tambunan : Candaan Gaya Indonesia!
Gayus divonis tujuh tahun penjara dan denda 300 juta rupiah. Komentar beragam pun muncul. Di penjual sayur tadi pagi pun soal ini ramai dibahas para ibu yang bercampur baur masih pakai daster. Seorang ibu bilang,"Enak ya. Mau juga kayak gitu." Lho kok? "Lha iyalah. Gak kerasa seperti hukuman lah bagi si Gayus. Pasti enak."
Ibu yang lain, ini seorang dosen bilang dengan kalem sambil milih cabe. "Yang penting kasus ini tuntas. Si Gayus kepalang basah itu sudahlah, sudah begitu harusnya nyemplung sekalian. Bongkar tuh jaringannya. Dan harus diproses. Eh, yu, ini cabe kok banyak masih mentah. Mana pedes?" Si ibu penjual sayur sibuk menghitung susuk pura-pura tidak dengar.
Ibu muda yang sedang hamil bilang sambil ngelus-elus perut."Aku jijay kalau dengar si Gayus, Aburisal Bakri. Amit-amit." Na, apa hubungannya Gayus dengan Ical?
"Tanya si Gayus, jangan aku. Tanya orangnya sana! Aku kan gak ada hubungannya? Gimana sih." Si ibu terus ngomel, gak kedengeran jelas. Kayaknya sih nyebut beberapa nama lain, seperti Esbeye, Denny, Tifatul, ...dsb, entah siapa saja. Tante sebelah bilang,"Dia lagi cari nama buat bayinya. Hehehe..."
Sampai aku pergi menenteng tempe dan bayem, para ibu itu masih sedang membicarakan wig dan kacamata Gayus. "Aku gak mau lagi ke Bali, jeung. Ke Mutun saja." Udahlah, gak nyambung blas blas obrolan ngalor ngidul di Indonesia ini. Tumplek blek. Dan aku selanjutnya...ya masak. Untuk suami dan anakku. Sayur bening bayam tempe goreng tanpa sambel.
Ibu yang lain, ini seorang dosen bilang dengan kalem sambil milih cabe. "Yang penting kasus ini tuntas. Si Gayus kepalang basah itu sudahlah, sudah begitu harusnya nyemplung sekalian. Bongkar tuh jaringannya. Dan harus diproses. Eh, yu, ini cabe kok banyak masih mentah. Mana pedes?" Si ibu penjual sayur sibuk menghitung susuk pura-pura tidak dengar.
Ibu muda yang sedang hamil bilang sambil ngelus-elus perut."Aku jijay kalau dengar si Gayus, Aburisal Bakri. Amit-amit." Na, apa hubungannya Gayus dengan Ical?
"Tanya si Gayus, jangan aku. Tanya orangnya sana! Aku kan gak ada hubungannya? Gimana sih." Si ibu terus ngomel, gak kedengeran jelas. Kayaknya sih nyebut beberapa nama lain, seperti Esbeye, Denny, Tifatul, ...dsb, entah siapa saja. Tante sebelah bilang,"Dia lagi cari nama buat bayinya. Hehehe..."
Sampai aku pergi menenteng tempe dan bayem, para ibu itu masih sedang membicarakan wig dan kacamata Gayus. "Aku gak mau lagi ke Bali, jeung. Ke Mutun saja." Udahlah, gak nyambung blas blas obrolan ngalor ngidul di Indonesia ini. Tumplek blek. Dan aku selanjutnya...ya masak. Untuk suami dan anakku. Sayur bening bayam tempe goreng tanpa sambel.
Wednesday, January 19, 2011
Kebohongan
Suatu ketika seorang guru mengatakan pada semua orang.
"Sang raja telah melakukan kebohongan." Dia tidak membawa bukti-bukti tapi ditunjuknya sungai yang tidak mengalir, sawah yang tidak menghijau, ternak mati, dan anak-anak kurus beringus.
Murid-muridnya terpecah. Percaya pada guru. Tidak percaya. Bingung. Diam.
Sang raja menaburkan senyumnya pada semua orang.
"Silakan percaya pada guru atau pada raja." Demikian para pengawal raja bersuara di setiap kesempatan. Rakyat terpecah. Percaya. Tidak. Bingung. Diam.
Di sebuah warung kopi orang-orang bicara.
"Raja ini pilihan kita semua."
"Guru siapa yang memilih?"
"Raja ini punya kuasa dunia."
"Guru dapat kuasa dari mana?"
"Raja ini dapat backing dari orang-orang kaya."
"Guru? Siapa backingnya?"
"Sang raja telah melakukan kebohongan." Dia tidak membawa bukti-bukti tapi ditunjuknya sungai yang tidak mengalir, sawah yang tidak menghijau, ternak mati, dan anak-anak kurus beringus.
Murid-muridnya terpecah. Percaya pada guru. Tidak percaya. Bingung. Diam.
Sang raja menaburkan senyumnya pada semua orang.
"Silakan percaya pada guru atau pada raja." Demikian para pengawal raja bersuara di setiap kesempatan. Rakyat terpecah. Percaya. Tidak. Bingung. Diam.
Di sebuah warung kopi orang-orang bicara.
"Raja ini pilihan kita semua."
"Guru siapa yang memilih?"
"Raja ini punya kuasa dunia."
"Guru dapat kuasa dari mana?"
"Raja ini dapat backing dari orang-orang kaya."
"Guru? Siapa backingnya?"
Tuesday, January 18, 2011
Suka?
"Ibu suka tidak kalau pergi-pergi seperti itu?"
Bernard berbaring di sebelahku. Tidak melihat tapi tangannya memegang pipiku. Kalau dia sudah serius kayak gitu aku harus mikir sebentar sebelum menjawab.
"Ehmm...pergi kemana?"
"Ya, seperti kemarin itu. Ke Jakarta, ke Bandung, Ambon..."
"Ehmm...ada sukanya, ada tidak sukanya."
Dia melotot ke aku menunggu penjelasan.
"Iyalah Nard. Suka karena bisa lihat tempat baru, kadang ada makanan baru, orang baru. Tidak sukanya karena capek. Jadi kangen sama Bernard juga."
Ehm...dia mengangguk-angguk, kemudian segera keluar dari kamar. Menutupnya. Aku sendirian di kamar sambil mikir,"Apa yang dia pikir sih?"
Bernard berbaring di sebelahku. Tidak melihat tapi tangannya memegang pipiku. Kalau dia sudah serius kayak gitu aku harus mikir sebentar sebelum menjawab.
"Ehmm...pergi kemana?"
"Ya, seperti kemarin itu. Ke Jakarta, ke Bandung, Ambon..."
"Ehmm...ada sukanya, ada tidak sukanya."
Dia melotot ke aku menunggu penjelasan.
"Iyalah Nard. Suka karena bisa lihat tempat baru, kadang ada makanan baru, orang baru. Tidak sukanya karena capek. Jadi kangen sama Bernard juga."
Ehm...dia mengangguk-angguk, kemudian segera keluar dari kamar. Menutupnya. Aku sendirian di kamar sambil mikir,"Apa yang dia pikir sih?"
Monday, January 17, 2011
Angin
Sepertinya angin semakin kencang akhir-akhir ini. Sekali tadi pagi ketika aku berangkat ngantar si Bernard, terasa betul angin bisa membuat Mioku agak oleng. Selain juga membuat mata pedih karena debu dan sampah, yang terus menerus muncul walau hujan atau tidak hujan. Bahkan ketika di depan Pasar Koga aku harus melambatkan motor dengan agak mendadak karena tukang sapu jalan kesiangan (biasanya jam 7.30 mereka sudah tidak kelihatan, kok ini masih nyapu) harus meloncat ke tengah jalan karena sampah yang dia giring terbang ke tengah jalan. Nah.
Sepertinya angin semakin kencang akhir-akhir ini. Sekali siang ini ketika aku sedang duduk di depan komputer, terasa betul angin bisa membuat hatiku agak oleng. Selain juga membuat mata pedih karena genangan air di sudut-sudutnya, terus menerus muncul walau musim berubah. Bahkan ketika aku sedang membuka inboxku, aku terpaksa meloncat mendadak karena tiba-tiba jantungku berdenyut lebih kencang membersihkan sumbatan di sana. Banyak sampah di ruas pembuluhku. Sepertinya begitu. Nah.
Sepertinya angin semakin kencang akhir-akhir ini. Mungkin juga nanti malam... Nah.
Sepertinya angin semakin kencang akhir-akhir ini. Sekali siang ini ketika aku sedang duduk di depan komputer, terasa betul angin bisa membuat hatiku agak oleng. Selain juga membuat mata pedih karena genangan air di sudut-sudutnya, terus menerus muncul walau musim berubah. Bahkan ketika aku sedang membuka inboxku, aku terpaksa meloncat mendadak karena tiba-tiba jantungku berdenyut lebih kencang membersihkan sumbatan di sana. Banyak sampah di ruas pembuluhku. Sepertinya begitu. Nah.
Sepertinya angin semakin kencang akhir-akhir ini. Mungkin juga nanti malam... Nah.
Saturday, January 15, 2011
Nasi Bambu
Saat ke Bandung, beberapa hari lalu, aku melewatkan beberapa waktu untuk makan. Iyalah, ke Bandung mah harus makan. (Sedang ke kota lain pun harus makan, bahkan gak kemana-mana juga harus makan. Ini ke Bandung, teman. Harus makan! Hehehe.)
Kebayang-bayang sambel lalap sudah sejak naik Argo Parahiyangan jam 9.15 dari Gambir. Bau sedap dari gerbong restorasi yang menawarkan nasi goreng, bistik dan rames tidak menyurutkan hasrat. Sarapan cukup dengan roti isi keju coklat.
Yang pertama didapat rupanya makanan yang aku belum pernah makan di Bandung. Yaitu : Nasi Bambu. Nasi ini dihidangkan dalam buluh bambu dilapisi daun pisang. Nasinya sendiri dimasak dengan beberapa bahan sehingga gurih. Namun rasanya ringan, tidak seperti uduk yang berat santannya. Kecampur bau daun dan bambu, wuih, sedapnya. Di bagian atas nasi ditaburi daun singkong tumbuk yang dimasak agak pedas. Samar-samar ada rasa ikan di sayur ini tapi aku gak yakin. Tambahan lauknya : tahu goreng, ayam goreng dan sambel trasi. Plus lalap dung. Tambah minum jus tomat. Mantap. Karena aku masih mau nongkrong di bilangan Kebon Kawung ini, aku menambah minum kopi pekat panas supaya bisa nyruput pelan-pelan sembari mencela-cela Bandung yang semakin ramai padat kacau jalan-jalannya.
(Makanan lain yang sempat kusantap dua hari di Bandung : nasi timbel, jerohan goreng, mi kuah, gorengan pinggir jalan, molen pisang.
Yang tidak sempat kumakan padahal pingin banget : ayam gantung di dekat Boromea, bubur ayam depan Cicaheum, dawet Elisabet, bebek goreng kremes, siomay kukus, roti bakar segala isi, sate kelinci, ... Kapan lagi ke Bandung lagi untuk semua yang belum itu.)
Kebayang-bayang sambel lalap sudah sejak naik Argo Parahiyangan jam 9.15 dari Gambir. Bau sedap dari gerbong restorasi yang menawarkan nasi goreng, bistik dan rames tidak menyurutkan hasrat. Sarapan cukup dengan roti isi keju coklat.
Yang pertama didapat rupanya makanan yang aku belum pernah makan di Bandung. Yaitu : Nasi Bambu. Nasi ini dihidangkan dalam buluh bambu dilapisi daun pisang. Nasinya sendiri dimasak dengan beberapa bahan sehingga gurih. Namun rasanya ringan, tidak seperti uduk yang berat santannya. Kecampur bau daun dan bambu, wuih, sedapnya. Di bagian atas nasi ditaburi daun singkong tumbuk yang dimasak agak pedas. Samar-samar ada rasa ikan di sayur ini tapi aku gak yakin. Tambahan lauknya : tahu goreng, ayam goreng dan sambel trasi. Plus lalap dung. Tambah minum jus tomat. Mantap. Karena aku masih mau nongkrong di bilangan Kebon Kawung ini, aku menambah minum kopi pekat panas supaya bisa nyruput pelan-pelan sembari mencela-cela Bandung yang semakin ramai padat kacau jalan-jalannya.
(Makanan lain yang sempat kusantap dua hari di Bandung : nasi timbel, jerohan goreng, mi kuah, gorengan pinggir jalan, molen pisang.
Yang tidak sempat kumakan padahal pingin banget : ayam gantung di dekat Boromea, bubur ayam depan Cicaheum, dawet Elisabet, bebek goreng kremes, siomay kukus, roti bakar segala isi, sate kelinci, ... Kapan lagi ke Bandung lagi untuk semua yang belum itu.)
Friday, January 07, 2011
Near
Aku dekat di sini. Mengaku dekat denganMu. Tapi tak bisa kupandang wajahMu. Dimanakah? (Aku sedang memohon karunia kesembuhan pada dua biji mataku supaya aku dapat melihatMu. Doakan.)
Tuesday, January 04, 2011
New Year
Tahun baru.
Aku mencatat beberapa lubang di tahun lalu.
Tahun ini :
Aku ingin menutup lubang-lubang itu.
Ini misiku tahun ini.
Aku mencatat beberapa lubang di tahun lalu.
Tahun ini :
Aku ingin menutup lubang-lubang itu.
Ini misiku tahun ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)