Dulu aku pernah membanggakan gigi-gigiku. Warna putih mengkilap, menjadi lebih mengkilap setelah aku berkumur dengan obat kumur merk apa pun yang kubeli secara rutin. Orang lain mengatakan kalau itu hanya perasaanku saja, tapi aku yakin memang gigiku sangat indah. Tidak seperti gigi orang lain yang memiliki ukuran berbeda antara gigi depan, gigi taring dan lainnya, gigiku memiliki ukuran yang seragam.
Aku merawat gigiku dengan teliti. Ketika semua gigi susuku sudah hilang, gigi dewasaku menjadi prioritas utama sebagai pertimbangan aku makan atau tidak makan suatu makanan yang ditawarkan kepadaku.
Kelebihan ini kusadari benar saat aku punya kebiasaan bercermin dengan cermat seusai mandi. Senyumku terasa berbeda bukan karena bibirku yang tebal dengan warna coklat, tapi karena gigiku terlihat sangat cantik saat tersenyum. Aku yakin aku cantik karena gigiku yang indah itu.
Keyakinanku itu bertambah besar saat bertemu Lee. Laki-laki kelahiran Palembang, dari orang tua Tionghoa, bermata sipit dan berkulit kapas, menyatakan jatuh cinta padaku pada pandangan pertama. Aku selalu meyakini bahwa cintanya itu karena gigiku. Semata gigi yang kutunjukkan kapanpun aku tersenyum padanya.
Tapi memang dia selalu menyatakan cinta walau aku tak selalu menjawab seperti yang diinginkannya. Pada kali ke sekian perjumpaannya denganku, seperti biasa, kata-kata cinta berhambur lewat caranya.
"I love you." Haaa, dia agak cedal. Lucu. Saat itu aku sangat ingin memeluknya, tapi tentu saja aku tidak bisa. Selain karena kami dipisahkan oleh meja besar di rumah makan lalapan Lamongan, tentu saja aku tidak bisa sembarangan memeluk orang yang sudah menyatakan cinta padaku dengan bahasa Inggris seperti itu di depan umum atau di ruang privat.
Aku memandangnya. Dia mengucapkan lagi,"I love you." Namun tanpa suara, hanya gerak bibir yang nyata sekali mengatakannya. Aku tersenyum. Lee mengulang kalimat itu beberapa kali sambil mamandangku.
Pelayan warung yang mengantar pesanan kami sedikit mengusik arah pandangan matanya. Tapi sesaat kemudian dia kembali memandangku. Bibirnya tak memunculkan gerakan apa pun. Aku merapikan posisi piring dan makanan yang ada di depan kami.
"Mari kita makan. Sepertinya aku sangat lapar."
"Kau memang lapar. Mari."
Kami makan dalam diam. Sesekali dia akan menyempatkan memandangku.
"Nanti aku fotokopikan buku Octavio Paz. Kau bisa mempelajarinya sembari mengikuti kelas penulisan. Beberapa contoh puisi dari Octavio bisa kau pelajari. Teknik yang kemarin aku ajarkan ke dirimu tentang 'cuplik dan lanjutkan' bisa kau terapkan dari puisi-puisi dalam buku itu. Yang harus kau lihat lagi adalah terus tambah kosa kata bahasa Indonesiamu. Kamus daring toh bisa kau akses kapanpun."
Aku mengangguk-angguk. Beberapa suap sudah masuk dalam mulutku sambil mendengarkan suaranya. Kalimatnya itu seperti alasan saja supaya ada suara yang muncul di antara kami. Dia memang selalu menyelipkan ajaran-ajaran tentang puisi di sela kata-kata cintanya yang itu-itu saja.
"Aku harus segera pulang setelah selesai makan. Apakah kau masih akan ke acara lain atau mau langsung pulang?" Dia berkata lagi setelah jeda diam yang cukup lama.
"Aku akan langsung pulang. Besok aku akan berangkat ke Bandung pagi, menggunakan penerbangan ke Jakarta dulu."
"Kok kau ndak bilang akan pergi ke Bandung?"
"Barusan aku mengatakannya. Aku akan menghubungimu sesekali saat di sana." Tanggapanku meloncat spontan.
"Andai kau katakan dari kemarin aku bisa ikut dirimu."
Aku tersenyum.
"Tidak mungkin. Aku sudah beli tiket pergi sejak dua minggu lalu. Ini sudah terjadwal lama." Dalam hati aku mengatakan bahwa tak ada kesempatan semacam itu yang bisa aku atau dia miliki.
"Baiklah."
Dia menampakkan raut wajah kecewa samar. Tak bisa dibohongi, ekspresi sekecil apa yang muncul dari hatinya, sangat mudah terbaca di raut wajahnya. Dia tak bisa memendam sedikit saja apapun emosi yang muncul dari hatinya.
"Sepulang dari Bandung, kerjakan PRmu mengedit tiga puisi yang kau buat kemarin. Jangan sampai kau melewatkan kelasmu hanya karena perjalanan seperti itu. Nanti aku buatkan catatan atas puisimu itu seperti yang sudah kusampaikan kemarin di kelas. Hubungi aku sesering yang kau bisa ya."
Dia terdiam sebentar. Mengangkat gelas tehnya tapi tidak jadi minum. Dia memandangku tajam dari balik kaca mata tebalnya. Tatapan yang membuatku yakin, bahwa dia memang ingin memiliki, entar seberapa besar kadar cinta yang dia miliki untukku.
Apakah aku mencintainya? Tentu saja. Jika aku menyebut para kekasih yang kupunya, tentu saja namanya akan ada di deretan-deretan pertama yang kusebut. Hanya saja, aku tidak bisa membandingkan jenis cinta yang kumiliki padanya itu sama dengan cinta yang kuberikan pada suamiku, atau pada anak-anakku, atau bahkan pada Kas atau Run yang sudah melekat pada hati dan tubuhku.
Ukuran-ukuran kebahagiaanku saat bersama Lee bisa dikatakan seperti ini:
Pertama, aku selalu berbunga-bunga jika dia mengatakan cinta. Pada titik ini aku selalu mengira dia pasti akan menjadi orang gila kalau saja aku tidak menjawab telepon atau tidak membalas pesan-pesan yang diakirimkan atau menolak ajakan-ajakan makan siang yang dia sering tawarkan.
Kedua, aku selalu merasa aman saat dia menyebut namaku di depan orang lain atau di forum manapun yang aku hadiri atau tidak aku hadiri.
Ketiga, aku sangat senang kalau dia memuji wajahku dengan senyum yang indah dan gigi yang sempurna, entah dia katakan langsung padaku atau pada teman-temannya.
Keempat, aku tak pernah peduli seberapa banyak makian atau kata keras yang dia katakan atas kelambatan pikirku, ketidaktahuanku atau apa pun yang tidak dia sukai dariku.
Sudah, itu saja. Aku tidak mudah mengatakan kebaikan yang dia miliki, atau ketampanan apa yang dia punya.
Lee tidak pernah menutupi perasaannya bahkan apa yang ingin dia katakan atau dia lakukan. Bisa saja saat lama sekali tidak berjumpa denganku, lalu bertemu tanpa janjian di sebuah pertemuan biasa dengan orang-orang yang saling kenal, dia akan merangkul pundakku, menekan sedikit bagian lenganku, dan memprotes dengan suara keras mengapa aku tidak mengunjunginya sekian lama.
Lalu saat dia mulai sakit-sakitan, oleh penyakit yang memang wajar mampir ke tubuhnya yang tambun, Lee menggunakan kesempatan kapanpun aku berkunjung padanya dengan ungkapan-ungkapan sedih yang ditaburi permintaan maaf tanpa menyebut kesalahan apa yang pernah dia perbuat padaku. Istrinya memintaku sering datang karena Lee sering meracau menyebut nama siapa pun secara asal, termasuk namaku.
"Aku minta maaf."
"Tidak ada salahmu padaku."
"Aku minta maaf." Dia mengungkapkan dengan nada mengiba, menatapku dengan tatapan yang sama seperti dulu-dulu. Pasti dia akan mengulang lagi perkataan itu sampai aku mengatakan bahwa aku sudah memaafkannya tanpa tahu kesalahan apa yang dia lakukan. Aku menampilkan senyum lebar apa adanya, menunjukkan padanya gigi-gigi cantik yang masih kumiliki.
....
Lalu, sekarang dia sudah ada di bawah nisan, tempatku berteduh siang ini di bawah kemboja. Sudah tujuh hari sejak dia dimakamkan aku baru bisa duduk di sini, di atas tanah, sedang dia di sini juga di bawah tanah. Aku salah telah mengira dia akan gila andai aku menolaknya atau pernah kutulis secara ekstrim bahwa dia benar-benar gila saat aku meninggal sedang dia diliputi cinta penuh kerinduan luar biasa padaku. Aku salah mengira bahwa aku akan mati duluan. Mungkin, aku telah salah mengira bahwa dia mencintai gigi-gigi yang kubanggakan. Mungkin, aku salah mengira bahwa dia mencintaiku seperti itu.
Setetes air mata mengalir ke sisi hidung kiriku. Dadaku perih oleh keinginan bertemu dengannya. Aku merasakan kehilangan yang luar biasa yang nyaris tak tertahan. "Lee, apakah kau pernah begitu rindu seperti ini?" Bisikku dijawab oleh burung pleci yang sedang melintas. Lee sudah mati.
*** (Maret 2022)