Wednesday, September 25, 2019

Komentar Puisi: MENANGKAP PESAN DALAM PUISI SRI WAHYUNI

Awalnya aku menerima puisi ini dalam kolom komentar FB, ditulis oleh Sri Wahyuni. Aku sudah kadung berjanji untuk komentar seperti yang diminta penulis, jadi kulakukan dalam bentuk seperti ini supaya menjadi sarana belajar bagiku maupun bagi orang lain yang mau.  
Puisi ini tidak hanya dipasang dalam kolom komentar statusku di FB tapi juga disiarkan lewat beranda FB penulis (mungkin juga dipublikasikan di tempat lain). Secara lengkap, inilah puisi itu. Aku ambil dari status FB penulis, 19 September 2019, yang sudah lengkap dengan judul, tanpa kuubah apa pun kecuali membuat besar seluruh huruf judul dan meletakkan nama penulis di bawah judul.

MENYIANGI MALAM
Puisi Sri Wahyuni


Renungan kecil burung kenari 
Menari-nari menghiasi lembar ini 
Satu persatu peristiwa kembali


Selamat pagi kau mentari
wajahmu berseri
Kau membuka hari
Alunan syair lagu menemani


Mentari semakin meninggi
Kenari kecil bersiap mengejar mimpi
Mimpi membangun ibu pertiwi


Saatnya terbang mengikuti angin
Sayap kecil melawan dingin
Menjemput impian yang ia ingin


Terkadang sayapnya patah
Kenari kecil tak pernah menyerah
Ia tetap berjuang meski berdarah


Saat senja mulai tiba
Mentari mulai kembali keperaduannya
Kenari pun kembali ke sarangnya


Saat gelap menyelimuti senja 
Ia pun berpasrah pada Pencipta
Ia bertanya
"Sudah aku menjadi berkat
bagi sesama?"

Aku termasuk orang yang malas mengomentari puisi karena butuh waktu yang lamaaa untuk ngungkapinnya. Tapi karena aku sudah berjanji untuk komentar, seperti biasa aku memulai dengan pertanyaan,”Apakah puisi ini memang sebuah puisi?” Untuk menjawab itu tentu saja aku spontan menyandingkannya dengan syarat-syarat sebuah puisi yang biasa kupakai untuk mengukur diriku sendiri saat aku membuat puisi. Tapi aku tidak mau mengomentari seluruh unsur yang harusnya ada dalam puisi, entar malah jadi seminar tentang puisi pula yang isinya ceramah Yuli Nugrahani. Huhuhu. Aku menuliskan yang ingin kutulis saja. Kapan-kapan kita rumpiin yang lebih lengkapnya ya Bu Sri Wahyuni. Akur? Hehehe.

Hasil dari Membaca
Aku memilih untuk mencermati diriku sendiri saat membaca puisi ini yaitu apa yang aku rasakan saat membacanya, dan apa yang aku pikirkan kemudian. Aku menancap pada judulnya: Menyiangi Malam.
Kata menyiangi (kata kerja) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti:
(1) mencabuti rumput, semak, dan sebagainya; menebangi dahan kayu di kebun dan sebagainya supaya bersih: menyiangi sawah; menyiangi semak-semak;
(2)  membersihkan (ikan dan sebagainya) sebelum dimasak;
(3)  mencabuti. menyingkirkan, menghilangkan gulma
Kata dasarnya adalah siang, yang berarti terang, atau bersih.
Sri Wahyuni menggunakan frasa ‘menyiangi malam’ sebagai judul. Aku mengartikan ini sebagai ‘melakukan sesuatu sehingga malam menjadi terang atau bersih’. Seperti membandingkan malam sebagai hamparan sawah dan si subyek ‘menyiangi’nya. Walau begitu, Sri tidak menunjukkan banyak bagaimana si subyek menyiangi malam, malah si subyek mewujud dalam seekor kenari kecil yang memulai hari dengan menyapa pagi, bersiap, mengikuti angin dan berjuang, hingga dia masuk ke peraduan saat senja datang. Saat malam (dalam puisi ini dikatakan: Saat gelap menyelimuti senja):
Ia pun berpasrah pada Pencipta
Ia bertanya
"Sudah aku menjadi berkat
bagi sesama?"
Di bagian inilah judul itu muncul. Hmmm…rasanya sangat kurang bagiku yang kadung kepo dengan judulnya yang indah.
Judul adalah senyuman dari sebuah puisi. Bagiku sendiri saat menulis bentuk apa pun, membuat judul menjadi bagian yang sulit (lihat saja judul bukuku yang uhuk-uhuk: Pembatas Buku, Daun-daun Hitam, Salah Satu Cabang Cemara dan Sampai Aku lupa. Keempatnya pernah diprotes banyak orang sebagai judul, padahal aku meletakkan filosofi yang mendalam dalam setiap kata yang kupilih. Hehehe.) Kalau senyuman itu tidak terbentuk, sangat susah orang mau datang pada puisi tersebut. Atau kalau senyumnya kelewat lebar tidak sesuai dengan puisinya pasti akan membuat orang menjadi kecewa. Nah begitulah. Harusnya menyiangi malam itu bisa ‘babar’ ke banyak bait.  Salah satu tips yang biasa kupakai untuk membuat ‘babar’ (Iki bahasa opo ya? Hihihi) adalah dengan mengenali setiap subyek dan obyek yang kita gunakan dalam puisi. Cari referensi sebanyak-banyaknya sehingga tahu perilaku dari tiap subyek dan obyek. Tentu saja ini mesti sebanding dengan pemahaman tentang tema yang kita ambil.

Melihat Pesan
Aku melihat satu unsur dalam puisi yang tampak dalam puisi Sri Wahyuni ini: pesan (Unsur dalam ada beberapa, seperti: tema, pokok pikiran, rasa, nada dan pesan. Sedang unsur luar antara lain diksi, imaji, majas, ritme dan sebagainya). Pesan kuat yang kutangkap dalam puisi ini: setelah bekerja sepanjang hari, saat malam menjadi waktu yang tepat untuk melihat apakah aku sudah menjadi berkat bagi sesama. Atau, bisa jadi ini tentang perjalanan hidup manusia dari lahir hingga menjelang kematian.
Karena puisi kuanggap bentuk komunikasi maka puisi harus memuat pesan dan dibaca oleh seseorang atau banyak orang. Si penulislah yang menjadi pembawa pesan, sedang pembacanya adalah penerima pesan. Saat puisi ini dibaca kembali oleh penulisnya suatu ketika nanti, manfaat besar pasti akan didapatkan oleh si penulis karena dia sudah ‘merefleksikan’harinya lewat burung kenari yang kecil, untuk mengingat masa saat dia menulisnya. Bagiku, si pembaca, pesan sederhana ini sudah pernah kuterima lewat berbagai cara entah sejak kapan, berulang-ulang, jauh sebelum aku membaca puisi ini. Namun ketika aku membaca puisi ini, aku diberi kesempatan lagi untuk meneliti diri sendiri, mengikuti ajakannya di bait terakhir.
Selain itu aku diulik untuk mengembangkan imajinasi tentang burung kenari. Aku ingat aku beberapa kali menggunakan burung kenari dalam puisiku misalnya puisi Gerbang Sunya:
Sepenuh daya aku menahan suara
menyembunyikannya di paruh kenari
menguncinya di putik bunga kasturi.
Kenari adalah burung yang indah lincah dengan suara yang menawan. Dia cocok sekali untuk menggambarkan segala kesibukan seorang ‘perempuan yang ibu dan pekerja, macam aku. Mungkin seperti itu jugalah penulis puisi. Pun itu disertai dengan kesadaran bahwa bisa saja ‘sayapnya patah’, dalam dinamika hidup yang naik turun.
Jadi sangat tepatlah jika ‘Saat gelap menyelimuti senja’ bisa dimanfaatkan dengan baik untuk refleksi dan mawas diri. Melihat apakah ‘sudah aku menjadi berkat bagi sesama’.

Mengedit Puisi
Aku ingat salah seorang guru puisiku (aku punya banyak guru puisi) mengatakan : “Jangan menulis puisi pada saat marah.” Aku melawannya dengan tetap menulis puisi saat marah, saat sedih. Tapi aku akan mengedit puisiku dalam situasi yang gembira, saat sehat, saat jernih dan saat hening.
Nah, ini yang ingin aku bocorkan pada anda sekalian tentang beberapa hal yang aku perhatikan saat mengedit puisi-puisiku (Note: seringnya belum berhasil. Butuh kerja super-super keras. Yuli Nugrahani ini masih penyair kagol dan mogol.)
1.   Menyesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia yang benar. Puisi tidak terikat pada ejaan. Tapi penyair harus tahu ejaan yang benar dari bahasa yang digunakan. Kalau menulis memakai Bahasa Indonesia, maka dia harus paham ejaan Bahasa Indonesia yang benar, dan memastikan tahu alasan penggunaannya andai memang harus melanggarnya. Ini soal remeh temeh yang penting tentang huruf besar atau kecil, tanda baca, spasi dan sebagainya.
2.  Aku punya kamus Bahasa Indonesia dari jaman jebat tapi seringkali menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia daring untuk memastikan makna kata yang kugunakan. Selain itu thesaurus juga sangat bermanfaat untuk melihat lebih lanjut  pilihan kata yang bisa digunakan. Ini termasuk juga memastikan penggunaan majas yang tepat, tidak lebay, tidak berulang secara sia-sia.
3.  Aku mencermati secara khusus subyek dari tiap baris puisi walau kadang subyek itu tidak tertulis. Selain itu juga tentang penggunaan kata-kata sambung seperti dan, yang, dan sebagainya. Puisi harusnya menampilkan kalimat secara padat, jelas dan penuh makna karena ruangnya yang sempit. Maka tiap kata yang muncul di situ harus benar-benar punya makna. Kalau tidak ada maknanya atau tidak menambah makna yo buang aja.
4.   Melihat logika kalimat, keterkaitan antar kalimat, dan sebagainya juga penting. Dan ini bisa sangat sulit bagi penulis romantis macam aku. Puisi bisa saja tidak logis dalam pandangan umum, tapi penyair harus tahu logikanya. Gitu deh kuncinya. Juga aku pernah diingatkan oleh guruku yang lain soal redanden (pengulangan makna kata yang tak perlu) biar ndak lebay.
5.  Nah, yang paling sulit bagiku dan aku sedang belajar saat ini adalah tentang irama puisi. Bagaimana irama bisa hadir secara tepat, mengalir dan tidak dipaksakan. Ini kaitannya dengan kehadiran konsonan dan vokal dalam kata-kata yang saling mengait dalam satu larik dengan larik lainnya. Di sini nih fungsi membuka dan membaca thesaurus. Membacanya secara lisan bisa membantu kita menemukan irama yang tepat.
6. Tipografi puisi terkait perwajahan puisi. Ini bisa sangat penting-ting-ting untuk membantu keindahan puisi. Juga membantu para pembaca untuk memahami puisi. Pastikan alasan yang tepat untuk membuat tipografi bentuk-bentuk tertentu.
7. Baca puisi itu berkali-kali. Keras-keras. Kalau perlu di depan cermin. Untuk melihat keseluruhan puisi itu. Berulang kali.
8. Edit kembali puisi sampai benar-benar tak ada yang bisa diedit dari puisi itu. Saat editing, berlakulah sebagai pembaca, bukan penulis puisi yang sering jatuh pada rasa ‘sayang’. Bantailah puisi itu seolah-olah puisi itu ditulis oleh orang lain. Potong, tambah, buang, ubah, hingga tak ada lagi yang bisa diedit dari puisi tersebut. Aku kadang butuh waktu berminggu-minggu untuk satu puisi, bisa lebih. Kadang-kadang jadinya malah bubrah. Huhuhuuuu… pokoke edit, edit, edit, edit…
Nah, sudah panjang nian kutuliskan. Semoga ini bisa memenuhi sedikit harapan Sri Wahyuni ketika meminta komentar saya tentang puisinya. Jika kelebihan yo dihapus saja, bu. Kalau kurang yukkk… kita ngerumpi puisi bersama-sama sambil ngebakso, ngopi atau apalah-apalah gitu. Jangan berhenti menulis puisi, karena puisi membuat kita menjadi semakin manusiawi. Yuhuiiii…. *** (Yuli Nugrahani, Bandarlampung, 25 September 2019)

2 comments:

  1. Luaaar biasa mbak Yuli.... saya ga nyangka bahwa puisiku yang sederhana dikomentari dengan sangat luar biasa. Terima kasih atas komentar yang mbak berikan. Suatu kehormatan tersendiri jika saya boleh ngobrol dengan mbak. Terima kasih atas masukan yang diberikan. Semoga tidak bosan membaca puisi saya yang lain. Meskipun saya tidak sehebat jenengan.
    Saya sadari saya masih harus banyak belajar. Masih banyak yang ingin saya tulis, tapi bel sudah memamnggil, saya harus kembali melangkahkan kaki untuk sedikit memberi arti bagi ibu pertiwi. Hehehe...Terima kasih sekali lagi. GBU

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih sama-sama. Ini sarana untuk belajar bersama, jadi asyik-asyik saja, bu. Yukkkk...saling berbagi semangat.

      Delete