Monday, February 19, 2018

Kesalahan Puisi Esai itu Bukan Hanya Urusan Denny JA atau Saut Situmorang

Kalau aku harus menulis tentang puisi esai sekarang ini, bukan berarti aku sedang kurang kerjaan. Aku harus segera menuliskannya karena kalau tidak aku akan diare berkepanjangan. Anggap saja proses menulisku ini semacam resep obat penyembuh diare. Atau, kalau hal semacam ini dianggap sebagai sesuatu yang ndak tepat, ya anggap saja ini sebagai penghiburan bagiku supaya lebih sehat, lebih waras.

Apakah kalian pernah membaca Pengakuan Pariyem, yang ditulis oleh Linus Suryadi AG dipublikasi tahun 1981? Bagaimana kalian menyebutnya? Ada yang mengatakan itulah novel, dengan model puisi. Ada yang menyebut puisi prosa. Atau aku, menyebutnya sebagai prosa liris/lirik. Kusebut demikian, seperti juga banyak orang menyebutnya, karena semua unsur dalam prosa dipenuhi oleh Linus. Ada tokoh, ada alur cerita, ada latar tempat, waktu dan sebagainya. Mesti ada keterangan tambahan, karena Pengakuan Pariyem tidak bisa disebut begitu saja sebagai prosa. Linus menuliskannya dalam bentuk deret-deret kalimat menyerupai puisi, dengan bait-bait, pemotongan-pemotongan tiap barisnya dan pilihan kata yang bisa membawa pembacanya pada perasaan tertentu.

Apakah tulisan sejenis ini adalah puisi? Iya. Tapi tidak bisa dikatakan juga sebagai hanya puisi. Dia mengandung 'prosa'. Unsur-unsur puisi dan prosa, serta merta muncul dalam tulisan ini. Dia memenuhi syarat disebut puisi tapi juga memenuhi syarat dsebut sebagai prosa. Maka, aku bilang ini bisa disebut juga sebagai puisi prosa.

Nah, kalau akhir-akhir ini ada istilah puisi esai, maka harusnya contoh puisi atau esai yang disodorkan memenuhi syarat keduanya. Tapi, sebelum sampai di sana, aku cenderung menentang istilah ini. Esai adalah salah satu jenis prosa. Jadi kalau mengatakan puisi esai, mestinya dia itu ya puisi prosa. Jika ada yang mengatakannya sebagai sebuah genre baru, tentu itu adalah kesalahan. Puisi prosa sudah dibuat sejak-sejak dahulu oleh banyak penulis. Selain Linus ada juga Rendra, Soni, bahkan aku juga menulis dalam bentuk ini.

Kalau memang Denny ngotot menyebutnya sebagai puisi esai, bagaimana syarat keduanya bisa dipenuhi? Syarat puisi dan syarat esai. Apa ciri utama yang bisa membedakannya dengan puisi prosa yang lain? Kalau pernah membaca yang dimaksud oleh Denny sebagai puisi esainya, aku tidak melihat perbedaannya. Denny seringkali menyebut soal adanya catatan kaki dalam puisi esainya. Hmmm, aku juga sering membuat catatan kaki untuk puisi-puisiku. Itu salah satu caraku supaya 'puas' setelah menulis puisi 'rumit', hihihi. Tidak percaya diri dan tidak percaya pada pembaca. Catatan kaki kubuat dalam beberapa puisi supaya pesan yang ingin kusampaikan tidak hilang saat dibaca. Takut kalau pembaca tidak paham terhadap tulisan yang sudah kubuat. Keterangan di sana-sini menjadi penyangga supaya puisi itu 'jelas'.

Esai, adalah jenis prosa yang 'bukan khayalan'. Dia harus menyodorkan fakta, data, sesuatu yang 'benar', nah, kalau mau sampai ke esai, orang harus tahu dan paham soal-soal yang ditulisnya itu disertai dengan riset-riset yang secukupnya. Menulis puisi, bagiku juga sebuah kenyataan, maka seringkali juga aku melakukan riset untuk mendahuluinya. Walau nanti dalam penyajiannya aku akan 'mengambang' di atas di fakta itu, namun puisi bagiku tetap sebuah 'kenyataan'. Jadi kenapa harus memakai istilah puisi esai? Mengapa juga Denny ngotot menggunakan istilah itu?

Itulah kesalahan Denny JA. Andai dia membiarkan puisi-puisinya hidup, disebar, terserahlah mau memakai catatan kaki atau tidak, terserah juga mau disebut apa, maka suatu ketika nanti dia akan menemukan 'kebesarannya'. Entah, bentuknya apa. Tapi, karena kengototannya, lalu mengupayakan sekuat tenaga 'ngototnya' itu untuk mendapatkan argumen pembenar/pembela, sehingga muncul juga barisan 'aneh' hmmm... barisan pengagum hmmm.... barisan ... opo ya nyebute tuh, yang dia temui bukan kebesaran, tapi kebodohan, atau orang menyebut pengabaian sejarah, penipuan, dan sebagainya. Ngototnya itu (cara ngototnya itu muncul lewat para pembenar/pembela, juga lewat 5 juta rupiah, lewat buku-buku sia-sia yang digencarkan dll), sudah keterlaluan sekarang ini.

Huh, aku sungguh ndak mau terpengaruh oleh hal ini sehingga kemudian memilah orang berdasarkan Denny JA. Aku mau diem-diem, enak-enakan tidur, ndak mikir soal ini. Tapi aku perlu menulis pendapatku ini supaya orang-orang yang membaca tahu, kesalahan semacam itu yang telah dilakukan oleh Denny JA, harus dikoreksi oleh banyak orang supaya tidak salah kebablasan. Supaya orang-orang yang kontra semacam Saut, Eko, dan lain-lain juga tetap berada dalam kewarasan karena memang itulah yang seharusnya. (Kalau waras sendirian tuh nanti lama-lama pasti mikir: Jangan-jangan aku yang ndak waras.) Gawat kan?

Maka, kesalahan semacam ini bukan urusan segelintir orang seperti Denny JA atau Saut saja, tapi ini juga urusanku. Wis. Gitu dah obat diareku. Aku ndak mau nyebut nama-nama lain. Menyebut beberapa nama lain yang mati-matian menjadi pembenar/pembela itu malah membuat diare. Pokoke macam ** atau ***  (kena sensor dah), lebih baik mulai melihat lagi deh kesalahan ini. Ndak usah promosiin buku-buku yang ndak bakal kubaca seakan-akan buku tulisan ** atau *** macam itu bisa memberikan pencerahan. Lha, membaca atau mendengar kalian aja bisa kukira-kira cara pikir kalian lho. Ndak masuk akal. Aku mungkin hanya melihat hal kecil macam ini, tapi orang lain, yang punya pengalaman atau ilmu lebih mestinya juga bisa memberi kontribusi lebih. Wis kono, nuliso...

No comments:

Post a Comment