Thursday, January 28, 2016

Apakah Kafe Memang Bisa Dinikmati untuk Sastra? Seni?

Sabtu lalu (23 Januari 2016) aku ikut dalam acara yang digelar Udo untuk buku Lampung Tumbai, yang ditulis oleh Frieda Amran. Kebetulan Frieda datang ke Lampung, jadi acara itu menjadi ajang bagi 'Frieda lover' untuk ngobrolin Lampung. Aku mengira kalau yang menyebut Frieda Lover itu adalah mereka yang menyukai tulisan-tulisan Frieda di Lampung Post sejak 2014.

Tulisan-tulisan tentang Lampung di masa lalu ditulis ulang oleh Frieda dari dokumen-dokumen yang ada di Belanda. Dan memang tepat sekali hal itu ditulis oleh Frieda, seorang antropolog yang penyuka sejarah, dan penulis sastra. Tepat. Sehingga tulisan yang dihasilkan untuk Lampung Tumbai bukanlah tulisan terjemahan semata, tapi menjadi ramuan yang menarik dan unik.
Kafe Dawiels, foto oleh...hmmm ini ngambil dari fb.

Nah, acara 'ngobrol' ini dilakukan di kafe Dawiels, jl Kartini. Ini nih yang tiba-tiba muncul di otakku pagi hari ini. Cocok ndak sih ngobrolin tulisan di kafe? Kubilang cocok. Karena tempat ini memang disetting supaya pengunjungnya bisa santai, lalu ngobrol 'ngalor ngidul', dan jika cocok menjadi obrolan mendalam. Seperti sepasang entah yang melakukan PDKT, mereka bisa gunakan kafe untuk melakukan penjajakan. Aku juga sering menggunakan tempat seperti kafe ini untuk melakukan perbicangan kasak kusuk awal soal sastra, seni atau juga tentang diri sendiri. Waktu Daun-daun Hitamku diluncurkan, beberapa tempat yang menerimanya juga kafe, warung kopi.

Nah, benarkah kafe memang bisa dinikmati untuk sastra, dan seni? Uhuk. Tidak untuk pertemuan lanjutannya. Jika arahnya adalah perbincangan yang lebih 'ketahuan arah'nya, maka kusaranin jangan kafe deh. Rame, terlalu bermusik, dan ...ehmmm mahal. Lebih baik jika menyeduh kopi sendiri dari dapurku lalu menyajikannya untuk anda sekalian di halaman belakang rumahku jika memang ada ruang lain yang bisa dipinjam. Mungkin ruang redaksi sebuah media. Aula kosong yang bolah dipakai gratis. Salah satu ruang kampus. Emperan Taman Budaya. Ya, tempat macam tuh lebih tepat untuk pertemuan selanjutnya.

No comments:

Post a Comment