Monday, June 10, 2013

8 Juni 2013

Anakku,
12 tahun lalu tangismu mengoyak rahimku
aku menerima nasib menua dengan panggilan : ibu.

Jejak kedewasaanmu bisa kau temukan di keriputku
pertama terukir saat aku melempar mainanmu
yang kau sorongkan dalam raungan tangis
tanpa aku pahami karena,"Lihat, ibu sedang memasak bubur!
Untukmu!" Dalihku.

Matamu menuntut menjadi pedang di hatiku
terus bergulir menjadi jutaan goresan di wajahku.

Anakku,
kau akan menemukan sejarahmu dalam sejarahku
abadi merambah logika antar generasi anak dan ibu.

Seringkali aku memastikan pengetahuanmu akan cinta
lewat kornea yang terbuka dalam pantulan cahaya.
"Lihatlah! Di mata ibu ada wajahmu. Wajahmu di situ selamanya."
Setiap kau ragu, kau akan menarik wajahku
berkaca pada mataku dan akan selalu menemukan
dirimu sendiri memang ada di situ.

Anakku,
kau akan berlari melalui gerbang yang sudah dihias
menembus jaman dengan pondasi tanpa keraguan.

Untuk itulah aku hati-hati menancapkan kata-kata
HP, facebook, twitter, blog, email, surat, post, kertas, apa saja
menyimpan cerita yang kususun pelan-pelan dengan matang
jaman ini mungkin sudah kau cicip, akan kau kunyah
suatu ketika akan menjadi kerikil Hansel dan Gretel
yang tertebar, untuk mengembalikanmu padaku
pada rumah.

(Untuk anakku Abet Ardyatma, di ultah ke 12. Pelan-pelan saja menuju dewasa, ibu masih ingin memeluk dan menciumimu sebagai bayi. Tapi, itu urusanmu, bukan urusan ibu. Di tahun kau sudah merdeka nanti, ibu ingin kau tetap merasakan kesungguhan setiap ibu mengatakan : I love you, Albert.)

No comments:

Post a Comment