Tuesday, January 24, 2012

Resensi Buku : Tantri, Perempuan yang Bercerita


Jika Perempuan Bercerita

Judul : Tantri Perempuan yang Bercerita
Penulis : Cok Sawitri
Penerbit : Kompas Media Nusantara, Jakarta
Cetakan : I, Mei2011
Tebal : vi + 362 halaman; 14 cm X 21 cm
ISBN : 978-979-709-574

Eswaryadala, adalah seorang raja muda, tampan, tahu seni sastra dan berkuda, hidup satu masa dengan banyak pertanyaan.

Apa bedanya raja dengan rakyat
rumahnya disebut istana
perintahnya adalah kuasa
tak beda dengan saudagar kaya
rumahnya bagai istana
perintahnya juga kuasa
pasar tunduk padanya
Apa bedanya...
Sayang, ketika pertanyaan-pertanyaan membuatnya gundah, para pegawal dan pembesar kerajaan terbagi dalam dua kepentingan. Ada yang murni memang untuk mengabdi negara, namun justru yang dekat dengan sang raja, mempunyai kepentingan lain. Mereka menjilat dan memberi pengaruh yang justru menambah kegelisahan raja sehingga langkah salah yang diambil. Raja jatuh dalam pesta pora dan ratusan perempuan.
Ni Diah Tantri, adalah tokoh yang disodorkan penulis untuk memberi perubahan. Tantri datang sebagai wanita persembahan ayahnya yang juga Mahapatih di negara itu, namun memakai situasi itu sebagai peluang bijaksana, walau perasaannya terus-menerus harus dikendalikan supaya tetap tertuju pada niatnya.
Tantri menceritakan dongeng-dongeng, kisah-kisah berlapis-lapis tentang negeri dimana binatang bisa berbicara. Dia bercerita tanpa kenal lelah, siang dan malam, berhari-hari, dan teguh bertahan pada cerita itu apapun yang terjadi dan apapun yang dirasakannya.
Sang raja menanggapi kisah itu dengan santai, penuh jenaka, pada awalnya. Seperti mendengarkan dendang merayu seorang gadis kesukaannya. Namun cerita Tantri bukan cerita biasa. Dia memberikan sindiran tanpa menyindir. Dia memberikan pengajaran tanpa mengajar. Dia memberikan hiburan tanpa menghibur. Dan pasti, dia memberi pemikiran baru pada sang raja sehingga mampu melihat situasi yang sebenarnya dan di posisi mana seorang raja harusnya berada. Dia sama dengan semua rakyat, tapi dia juga berbeda dengan semua rakyat. Dia bisa melakukan perubahan dengan kekuatan kebijaksanaannya itu.
Penulis novel ini memakai ingatannya akan cerita klasik Bali, yang dia rangkai menjadi runtut, berlapis, menawan. Seringkali pembaca harus mengulang kembali kisah sebelumnya karena kisah-kisah berlapis yang menyertainya. Tokoh-tokoh binatang yang ditampilkannya, membuatnya menjadi fabel yang penuh dengan pesan moral tentang perilaku manusia. Bagaimana cara berelasi, bagaimana menempatkan diri secara tepat dimana dan kapan. Serta cara berkomunikasi dengan siapa saja.
”Lanjutkan ceritamu, biarlah tak ada kantuk di mata, biarlah tak ada lagi siang dan malam dalam hidupku,” bisik Sang Raja pada pencerita ulung itu.*** (dyn/Dimuat pada Majalah Nuntius, Pebruari 2012)

No comments:

Post a Comment