MELIHAT SUMENEP DARI LANGIT ASTA TINGGI
(Catatan
Proses Penulisan Puisi Langit Asta Tinggi)
Yuli Nugrahani*
Sumenep, 13 – 14 Agustus 2018
LANGIT ASTA TINGGI
Asta
Tinggi diratapi candra
menusuk daun-daun aren mendesakkan ingatan
pada teras perjumpaan
menusuk daun-daun aren mendesakkan ingatan
pada teras perjumpaan
pada
saat tubuhmu tubuhku lekat.
Walau raut hilang dalam malam
Walau raut hilang dalam malam
namun suara melantunkan irama berpagar
tanya.
"Pasirkah
hati Pancali, atau batu?"
Tanganku
adalah tanganmu menadah
kata tergelincir seperti hujan
seperti ujung-ujung awan
terguncang-guncang
kata tergelincir seperti hujan
seperti ujung-ujung awan
terguncang-guncang
perbedaan.
"Yudistirakah
suami Pancali, atau Pandawa?"
Bibirku
meregangkan cengkerama
bibirmu menangkapnya sepenuh daya.
Menyudahi perdebatan di pangkal cemara
melumuri prasasti-prasasti dengan kata.
bibirmu menangkapnya sepenuh daya.
Menyudahi perdebatan di pangkal cemara
melumuri prasasti-prasasti dengan kata.
Pasir adalah batu, batu adalah pasir.
Yudistira adalah Pandawa, Pandawa adalah Yudistira.
"Pancali
pongah di gelung rambut Krishna.”
Itu
adalah haknya, katamu.
Kami
memandang,
Kembali pada langit Asta Tinggi,
tanpa
penilaian
diam
dilipat senyuman.
Mei
2015
Latar Belakang
Puisi di atas ditulis dengan
ingatan pada suatu malam saat saya mendapatkan kesempatan penuh kegembiraan
bisa ‘nongkrong’ bareng dengan orang-orang muda Sumenep di salah satu teras
Asta Tinggi pada tahun 2014. Tempat kami duduk itu cukup tinggi. Juga cukup
sepi, walau ada beberapa kali rombongan datang untuk ziarah, tapi tak sebanyak
di tempat lain di kawasan Asta Tinggi.
Suasana yang tenang menentramkan
padahal saya sedang bersama orang-orang yang baru pertama kali saya jumpai,
sekelompok orang muda dalam Komunitas Kampoeng Jerami. Bulan sedang terang
walau saya lupa apakah saat itu purnama atau tidak. Duduk saja di teras itu
memandang ke atas, di mana bulan sendirian bermain di antara ranting-ranting,
atau memandang ke bawah di mana ada kemerlap-kemerlip lampu-lampu tak terhitung
dari area perkampungan, membawa keasyikan sendiri. Tentu saja, karena saya
bersama dengan ‘segerombolan’ penyuka puisi, malam itu kami lewatkan dengan
membaca puisi dari Hujan Kampoeng Jerami secara bergantian. Buku itu akan kami
luncurkan keesokan harinya di suatu tempat di Sumenep.
Obrolan ringan, duduk santai,
tiduran bebas di lantai teras, dan beberapa aktifitas yang bagi orang lain
tidak tampak penting, menjadi bagian menarik. Lebih menarik lagi karena
dilakukan di salah satu teras Asta Tinggi, makam para raja Sumenep beberapa
generasi.
Asta Tinggi menurut
Wikipedia
Asta Tinggi adalah kawasan
pemakaman khusus para Pembesar/Raja/Kerabat Raja yang teletak di kawasan
dataran tinggi bukit Kebon Agung Sumenep. Dalam Bahasa
Madura, Asta Tinggi disebut juga
sebagai Asta Rajâ yang bermakna makam para Pangradjâ (pembesar kerajaan) yang merupakan asta/makam
para raja, anak keturunan beserta kerabat-kerabatnya yang dibangun sekitar
tahun 1750 M. Kawasan pemakaman ini direncanakan
awalnya oleh Panembahan Somala dan dilanjutkan pelaksanaanya oleh Sultan
Abdurrahman Pakunataningrat I dan Panembahan Natakusuma II
Asta Tinggi
memiliki 7 kawasan, yaitu:
1. Kawasan
Asta Induk, terdiri dari :
·
Kubah Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I,
·
Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro ( Bendoro
Saod ),
·
Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III (
Pangeran Akhmad atau Pangeran Djimat ), yang kubahnya tersebut berasal dari
Pendopo Kraton Pangeran Lor/Wetan,
·
Pangeran Pulang Djiwo yang kubahnya tersebut juga
berasal dari Kraton Pangeran Lor/Wetan,
·
Pemakaman Istri-istri serta selir Raja-Raja Sumenep,
2. Kawasan
Makam Ki Sawunggaling Konon diceritakan bahwa K. Saonggaling adalah
pembela Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bendoro Moh. Saod)
pada saat terjadinya upaya kudeta/perebutan kekuasaan oleh Patih Purwonegoro),
3. Kawasan
Makam Patih Mangun,
4. Kawasan
Makam Kanjeng Kai/Raden Adipati Suroadimenggolo Bupati Semarang
(mertua Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I),
5. Kawasan
makam Raden Adipati Pringgoloyo / Moh. Saleh, di mana dia tersebut pada
masa hidupnya menjabat sebagai Patih pada
Pemerintahan Panembahan Somala dan Sultan
Abdurrahman Pakunataningrat I,
6. Kawasan
Makam Raden Tjakra Sudibyo, Patih Pensiun Sumenep,
7. Kawasan
Makam Raden Wongsokoesomo.
Arsitektur Makam
dalam kompleks ini sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan yang
berkembang pada masa Hindu. Hal tersebut dapat dilihat dari penataan kompleks
makam dan beberapa batu nisan yang cenderung berkembang pada masa awal Islam
berkembang di tanah Jawa dan Madura. Selain itu pengaruh-pengaruh dari
kebudayaan Tiongkok terdapat pada beberapa ukiran yang berada pada kubah makam
Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro, makam Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro
III dan makam Pangeran Pulang Djiwo.
Selain itu pengaruh Arsitektur Eropa mendominasi
bangunan kubah makam Sultan Abdurrhaman Pakunataningrat I dan Makam Patih
Mangun yang ada di luar Asta induk. Dalam kawasan kubah makam Sultan
Abdurrahman Pakunataningrat I, Seluruh bangunannya dipengaruhi gaya arsitektur
klasik, kolom-kolom ionik masih dipakai dibeberapa tempat termasuk juga pada
Kubah Makamnya.
Kawasan ini sangat
indah. Suatu upaya pengeboman kawasan Asta Tinggi pernah dilakukan oleh tentara
penjajah (disebutkan dalam buku Perjalanan dari Soengenep ka Batawi,
karya Raden Sastro Soebrata terbitan Balai Pustaka tahun 1920). Hal itu
terjadi karena tentara Inggris mengira bahwa bangunan tersebut adalah istana
kerajaan (karena indahnya), pusat kekuasaan Sumenep. Namun, upaya pengeboman
tersebut tidak sampai menghancurkan Asta Tinggi karena jatuh di luar kawasan,
sehingga tempat ini tetap indah dan terjaga sampai sekarang.
Asta Tinggi sebagai Tempat Memandang
Saya beruntung mengalami peristiwa indah di kawasan
‘pekuburan’ indah itu. Secara fisik, ketika saya ada di sana, saya
sungguh-sungguh mendapat tempat untuk memandang keindahan ke atas maupun ke
bawah. Bulan yang terang (saya mengabadikannya dalam foto) sangat nyata, seolah
sangat dekat. Juga lampu-lampu dari rumah-rumah di perkampungan (kota?) yang
mewujud sebagai lampu hias.
Secara fisik, Asta Tinggi sebagai
tempat memandang keindahan baru saya alami sekali itu, belum terulang lagi
walau setelah itu saya pernah berkunjung ke Sumenep. Dan tentu saja yang bisa
saya pandang waktu sangatlah terbatas karena kami nyaris tidak pindah tempat.
Hanya satu sisi, dan juga hanya satu waktu (beberapa jam pada malam hari).
Namun secara nonfisik, Asta Tinggi menjadi tempat saya
memandang banyak hal indah yang kemudian hadir dalam pengalaman pikir dan rasa
saya. Puisi di atas hanyalah salah satu catatan yang mengekalkan ingatan
tersebut. Asta Tinggi sebagai makam
adalah arah dari hidup semua makluk. Asta Tinggi sebagai keindahan adalah proses hidup itu sendiri, mulai dari awal hingga
akhir.
Dalam puisi Langit Asta Tinggi, saya meletakkan makam dan
keindahan sebagai setting tempat dan waktu untuk puisi itu.
“Asta Tinggi diratapi candra”
Kawasan pemakaman itu pada saat malam (candra=bulan,
hanya terlihat pada malam hari.). Setting itu harus dibuat untuk mengawali
karena tempat dan waktulah yang membungkus seluruh ‘percakapan’ pada puisi
tersebut. Asta Tinggi menjadi penting karena perpaduan dua hal itu: makam dan
keindahan. Satu kata yang bisa dimaknai dengan mengerikan namun tak terelakkan,
sedang kata lain bisa dimaknai dengan segala hal menggembirakan yang juga tak
terelakkan, spontan setuju saat berada di Asta Tinggi.
Puisi tersebut saya pisahkan menjadi
dua bagian yang saling bertautan. Bagian pertama adalah bait-bait yang terdiri
dari beberapa baris, saya tandai dengan huruf tegak biasa. Bagian kedua adalah
bait-bait yang terdiri dari satu baris, dengan tanda huruf italic, dalam tanda kutip sebagai kalimat langsung.
Bagian
pertama itulah yang meletakkan ‘saya’ pada Asta Tinggi terus-menerus. Saya tidak
melupakan keberadaan Asta Tinggi sebagai makam walau saya tak menyebutnya
demikian dalam puisi ini. Saya menyebut Asta Tinggi sebagai ‘teras perjumpaan’.
Ini adalah perjumpaan dari dua (atau lebih) sosok yang berbeda namun tidak
berbeda. Perjumpaan yang berisi diskusi, dengan ‘berpagar tanya’.
Ini
saya gunakan untuk mengatakan munculnya banyak perdebatan tak berujung di
Indonesia yang sebenarnya sama cara pikirnya, ketika dikatakan oleh orang yang
berbeda menjadi pertengkaran yang tajam.
Asta
Tinggi diratapi candra
menusuk daun-daun aren mendesakkan ingatan
pada teras perjumpaan
menusuk daun-daun aren mendesakkan ingatan
pada teras perjumpaan
pada
saat tubuhmu tubuhku lekat.
Walau raut hilang dalam malam
Walau raut hilang dalam malam
namun suara melantunkan irama berpagar
tanya.
"Pasirkah
hati Pancali, atau batu?"
Pasir
dan batu, asalnya sama dari bumi, komponen pembentuknya mirip. Yang menjadi
pembeda adalah ukurannya. Pasir lebih kecil, bisa kasat mata ketika jumlahnya
banyak. Pada volume yang lebih besar, batu menjadi wujudnya.
Tanganku
adalah tanganmu menadah
kata tergelincir seperti hujan
seperti ujung-ujung awan
terguncang-guncang
kata tergelincir seperti hujan
seperti ujung-ujung awan
terguncang-guncang
perbedaan.
"Yudistirakah
suami Pancali, atau Pandawa?"
Bait
berikutnya ini membuat debat itu semakin nyata. Yudistira adalah suami Pancali
(Drupadi). Versi ini yang dikembangkan di tempat kita. Namun di India sana,
Pandawa kelima-limanya adalah suami Drupadi. Bagaimana kita bisa memperdebatkan
‘versi’?
Bibirku
meregangkan cengkerama
bibirmu menangkapnya sepenuh daya.
Menyudahi perdebatan di pangkal cemara
melumuri prasasti-prasasti dengan kata.
bibirmu menangkapnya sepenuh daya.
Menyudahi perdebatan di pangkal cemara
melumuri prasasti-prasasti dengan kata.
Pasir adalah batu, batu adalah pasir.
Yudistira adalah Pandawa, Pandawa adalah Yudistira.
"Pancali
pongah di gelung rambut Krishna.”
Di
situlah kemudian kesadaran dan kepasrahan muncul. Tak ada masalah entah pasir
atau batu, juga Yudistira atau Pandawa, atau juga kalau diletakkan dalam
konteks lain, tak masalah jika menjadi kecil atau besar, sedikit atau banyak,
dengan nama apa pun. Dulu saya menyebutnya sebagai titik maklum. Dengan begitu
semua ada di tempat yang tepat bahkan ketika kita melihat seseorang memiliki
kesombongan karena keberuntungan hidupnya. Pancali/Drupadi boleh sombong/pongah
karena memang dia terikat dalam gelung helaian rambut Krishna, Sang Mahadewa.
Itu
adalah haknya, katamu.
Kami
memandang,
Kembali pada langit Asta Tinggi,
tanpa
penilaian
diam
dilipat senyuman.
Dengan kesadaran dan kepasrahan
seperti itulah, Asta Tinggi sebagai makam dan keindahan akan abadi dalam
berbagai perjalanan. Menjadi tempat kembali ketika hal-hal detil menjadi
diskusi atau debat. Dan ketika sampai pada ‘titik maklum’ di mana tak ada benar
salah, jahat baik, hitam putih dan sebagainya, diam bukan menjadi kerisauan,
tapi seperti rasa yang saya alami saat di Asta Tinggi, tenang yang
menentramkan, yang nyaman, yang begitu sederhana sehingga mudah dilipat
dalam/sebagai/oleh senyuman.
Unsur-unsur dalam Puisi Ini
1.
Tema
dan Pokok pikiran
Tema
puisi ini adalah perbedaan pendapat. Lalu saya mengambil pokok pikiran tentang
dua (atau lebih orang) yang bercakap di Asta Tinggi, berdebat tentang sesuatu
yang jauh (namun dekat) yaitu ‘manusia Pancali”.
2.
Rasa
Inilah
bagian dari yang tak bisa lepas dari penyair. Dia mempunyai rasa yang muncul
dari hati tentang tema yang sudah dipikirkan (atau dialami, atau dirasakan,
atau diperbincangkan, atau dibaca dsb). Gembira, sedih, marah, bingung, galau,
murung, kecewa dan sebagainya. Ada banyak ragam rasa. Dalam puisi di atas ini,
rasa utama saya adalah tanda tanya lalu menjadi ‘pasrah’. Terhadap perbedaan,
terhadap cara pandangnya, juga keterlanjutannya.
3.
Nada
Rasa
itulah yang kemudian menentukan nada dari puisi itu. Jika dia gembira, maka
optimis yang muncul. Jika sedih, dia akan menunjukkan alasan-alasan kesedihan.
Jika dia marah, nada proteslah yang akan muncul. Dan sebagainya. Ketika pasrah
menjadi rasa utama, nada yang muncul adalah ‘datar’, biasa, tenang.
4.
Tujuan/pesan
Yang
terakhir, adalah pikiran bahwa puisi ini telah dan akan dibaca oleh seseorang.
Mungkin juga pembacanya adalah saya sendiri pada waktu dan tempat yang berbeda.
Di situlah akan muncul tujuan atau pesan dari puisi itu. Bisa ditangkap
berbeda-beda, tapi penulis selalu mengharapkan pesan itu tersampaikan pada
pembacanya. Saya ingin: setiap pembaca puisi ini meneliti lagi point yang
dipertentangkan olehnya ketika berdebat dengan orang lain atau dirinya sendiri.
Jangan-jangan sebenarnya hanya beda ukuran, beda versi, padahal hakikatnya
sama. Kemudian menerima seluruh proses itu dalam senyuman.
Penutup
Mengambil setting Asta Tinggi untuk puisi ini bukanlah
sebagai gaya-gayaan, pamer bahwa: Ini nih saya orang Lampung pernah ke Sumenep.
Tidak. Asta Tinggi adalah makam yang indah (yang pernah dikira sebagai Istana
sehingga berisiko jadi sasaran bom!). Bukan hanya keindahan bangunannya yang
menarik orang-orang untuk datang berziarah. Tapi ‘isi’ dari makam ini. Tentulah
isi yang dimaksud bukan soal tulang belulang dari jenazah yang pernah
dimakamkan di sini, tapi dari sinilah sejarah Sumenep juga Roh Semangat Sumenep
menjadi lengkap ketika dipaparkan dari generasi ke generasi.
Ke dua, saya akan terus mengingat Sumenep karena saya
pernah ke Asta Tinggi pada kesempatan pertama saya datang ke kota ini. Mungkin
saya masih nol soal pengetahuan tentang Sumenep, sosial budaya, seni, ekonomi
dan sebagainya. Tapi melalui Asta Tinggi saya mengenal harga diri Sumenep yang
tegak dengan segala dinamika hidupnya, menyimpan perkembangan-perkembangan
kekayaan budaya yang tak mungkin dihentikan. Hal-hal seperti ini sudah
dibuktikan oleh komunitas-komunitas seni dan budaya yang berkembang di Sumenep.
Hal-hal lain akan saya tambahkan nanti, tentu segala hal
akan memuai nanti seturut pemahaman yang bisa saya dapatkan. Terimakasih.
* Cerpenis dan penyair dari
Lampung
Bukunya yang pernah terbit antara lain:
Kumpulan Puisi Pembatas Buku, Kumpulan Cerpen Daun-daun Hitam, Kumpulan Puisi
Sampai Aku Lupa, Kumpulan Cerpen Salah Satu Cabang Cemara, Cerita Rakyat Sultan
Domas Pemimpin yang Sakti dan Baik Hati.
No comments:
Post a Comment