Thursday, December 01, 2016

Bila Gigi Depan Patah

Aku ingin menuliskannya supaya pembaca yang mengalami hal serupa mempunyai pilihan bersikap. Apa yang Anda lakukan jika gigi depan Anda patah? Huft. Ya, jangan pernah berharap gigi depanmu patah. Sungguh, itu sama sekali bukan peristiwa yang menyenangkan, dan aku pernah mengalaminya. Baru saja, tepatnya Kamis 17 Nopember 2016 yang lalu.

Apa yang terjadi? Hari itu aku ada rapat di YPSK. Kondisiku kurang begitu baik karena aku memang dari hari sebelumnya merasa sangat capek. Selasa usai pulang dari Jakarta ada beberapa kegiatan. Study day dengan para suci di kantor, lalu rapat ini itu salah satunya dengan tim buku YPSK. Kamis itu pulang rapat aku mesti mampir bank lalu karena membayangkan ndak bakal bisa kerja lagi di kantor aku pulang dan mampir ke sekolah Bernard untuk menjemputnya karena toh searah.

Bernard bengong sekaligus senang melihatku, lalu pulang tanpa firasat apa-apa. Aku berpikir untuk berhenti sebentar cari makan atau belanja, tapi tubuhku sudah benar-benar ingin berbaring. Menjelang belokan dekat rumah, tiba-tiba kepikir untuk mampir toko beli sosis karena di rumah tak ada lauk. Di situlah bencana terjadi. Karena mendadak mengerem, ada pasir di aspal, motor pun nyungsep ke aspal. Aku, wajahku duluan yang mencium mesra aspal persis dengan bibirku. Sedang Bernard bagian kiri tubuhnya terseret. Alamak. Aku sudah langsung berdiri melihat Bernard memastikan dia tak apa-apa. Tapi kami apa-apa!

Sepi, kecuali sepasang bujang muda yang kebetulan lewat membantu motorku berdiri lagi dan aku langsung starter motor lagi. Aku tak merasakan sakit tapi aku sudah panik merasai asin di mulut dan aku yakin banget beberapa gigiku rontok dan goyang. Aku menghibur-hibur Bernard di boncengan sambil pelan-pelan mengendarai motor sampai rumah.

Di rumah rasa sakit pun mulai menyerang. Bernard menangis, aku pun nangis. Aduh. Darah di mulut dan kakiku, serta di tangan dan kaki kiri Bernard. Kami berdua menangis barengan di kamar sambil nelpon Mas Hendro untuk pulang. Lucu juga sih membayangkan waktu itu. Aku beberapa kali melihat ke kamera HP, melihat bibirku yang semakin bengkak karena luka di bibir dan gusi, sedang gigiku yang depan patah sehingga wajahku lebih mirip nenek sihir daripada Yuli. Huft...

Nah, itu pengantarnya. Aku mau masuk ke poin yang sudah kukatakan di bagian judul. Bila gigi depanmu patah, apa yang bisa kau lakukan? Nangis! Nangis aja sepuasmu. Lalu ke dokter gigi. Hihihi. Tentu saja jika kasusnya sepertiku, yang luka di bagian bibir dan badan, kita perlu dokter lain juga untuk memastikan bahwa semua baik.

Ke dokter gigi puskesmas, dia nawarin obat ngilu. Ya, itu tepat karena memang gigi rasanya ngilu dan goyang semua. Tapi soal gigi patah, dia angkat tangan. Maka, aku pun dirujuk ke rumah sakit. Di rumah sakit Advent, dokter bilang belum bisa melakukan apa-apa karena bibir masih luka dan gusi masih sakit. Jadi aku diberi antibiotik dan anti nyeri. Pilihan untuk gigi yang patah : 1. cabut (gigi jadi ompong. ndak banget karena ini gigi depan) 2. cabut dan ganti gigi baru (mahal) 3. pakai sarung gigi (mahal, butuh waktu kira-kira 2 sampai 3 minggu untuk semua proses) 4. sambung/tambal gigi (syaratnya akar masih kuat, waktu hanya sebentar sekitar 1 jam pemasangan, lebih murah dari antara pilihan lain)

Nah, pilihan terakhir itulah yang kuambil. Tapi itu baru bisa dilakukan kalau luka-luka bibir udah sembuh dan gusi udah pulih. Kira-kira seminggu lagi aku disuruh datang. Kata dokter biayanya sekitar 850 ribu, tak bisa pakai BPJS. Okey, aku tak punya pilihan lain. 

So, selama berhari-hari aku mesti memakai masker untuk memastikan orang tidak melihatku dalam konsisi 'tidak baik'. Luka di kaki cepat sembuh, walau sampai sekarang masih ada bekasnya. Luka Bernard juga cepat pulih sehingga dia tak pincang-pincang lagi. Di hari Kamis minggu berikutnya aku kembali ke dokter gigi, dibius, dibor, di... entah diapain saja selama kurang lebih 45 menit lebih dan traaadaaaa.... gigiku kembali.

Pesan dokter,"Gigi ini namanya tetap gigi palsu. Tak sekuat gigi asli. Jadi mesti dijaga cara makan dan cara merawat gigi."

Hmmm, oke. Yang penting aku ndak perlu pakai masker lagi, bisa senyum lebar lagi. Gigi palsu ini sangat mirip dengan aslinya jadi kalau orang tidak sangat memperhatikan pasti dia tak akan tahu gigi mana yang sambungan. Soal makan, okeylah, toh selama seminggu aku juga hanya makan bubur dan makanan yang lunak-lunak. Kalau pun ditambah selama seumur hidup kukira tak masalah. Ihiks.

No comments:

Post a Comment