Aku sudah pernah menjadi juri untuk beberapa bidang dalam penulisan atau di luar penulisan. Salah satu kesempatan kudapatkan baru saja dengan menjadi juri cipta puisi tingkat sekolah dasar (SD) untuk Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Propinsi Lampung, di Hotel Nusantara, Bandarlampung 24 - 27 April 2015. Ada 15 peserta yang ikut lomba dari 15 kota dan kabupaten yang ada di Lampung. Kisaran peserta dari kelas 3 sampai 5 SD.
Tema umum yang disodorkan dalam lomba ini adalah kebudayaan Indonesia, spesifik karena ini lomba tingkat propinsi Lampung maka yang harus ditulis oleh peserta adalah kebudayaan Lampung. Dengan waktu kurang lebih 3 jam, apa yang bisa diharapkan dari para peserta siswa siswi SD itu? Hmmm, ya dari banyak pengalaman untuk tingkat umur SD, puisi-puisi yang dihasilkan adalah puisi deskriptif, melukiskan apa yang menjadi tema.
Misal anak SD diminta menulis puisi tentang tarian Lampung. Mereka akan mengurai kata-kata yang melukiskan tarian Lampung, berdasarkan apa yang mereka pernah lihat. Puisi mengandalkan kata-kata yang muncul dari perasaan, yang didasari dari apa yang ditangkap oleh pancaindera. Tapi untuk para muda, anak-anak SD ini, penggunaan mata atau indera penglihatan secara optimal, adalah awal yang sangat baik dan tepat.
Dan ini memang sungguh awal yang baik bagi seorang penyair. Indera yang pertama dan paling optimal bisa digunakan oleh penyair untuk menjaring perasaan-perasaan puitik adalah mata, indera penglihatan. Lewat mata kita bisa melihat bentuk, letak, gerakan, warna dan sebagainya. Jika dituangkan dalam kata-kata, apa yang tertangkap oleh mata ini sangatlah banyak, luar biasa.
Kalau dalam FLS2N tingkat SD mereka melukiskan budaya Lampung, mulai dari tarian, alam, adat, dan sebagainya, kita bisa memakai sekitar kita sebagai latihan menggunakan mata. Mempertajam apa yang bisa ditangkap oleh mata kita sangatlah besar maknanya. Coba lihat di mejaku sekarang ini. Ada gelas nyaris kosong persis di depanku. Apa kata-kata yang bisa kuungkap dari gelas ini? Misalnya : bening, mengkilat, air, gelas, jernih, udara, kosong, pantulan, wajahku, bias, lengkung, lurus,cahaya, dll. dll. Dari kata-kata itu aku bisa merangkainya jadi puisi. Misal puisi pendek seperti ini :
Bening depanku
gelas mendamba air
wajah memantul.
Nah, mataku menangkapnya, dan jadilah puisi pendek. Jika aku menyimpannya, lalu mengeditnya, ini akan jadi salah satu bait dari puisi yang utuh nanti. Jadi, sungguh menyenangkan melihat anak-anak SD sudah memulai dari yang paling menyenangkan yang mereka tangkap lewat mata mereka, untuk dijadikan puisi. Salut.
Wednesday, April 29, 2015
Tuesday, April 28, 2015
TERCIPTA DARI TANAH YANG SAMA
Titik Temu bersama Dewi Nova |
(Dimuat dalam
Swara Gender edisi 69/TahunXX/Januari-Maret 2015
Akhir tahun lalu
saya mendapatkan kesempatan istimewa untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia
(HAM) Internasional, 10 Desember 2014, dengan menjadi editor bagi sebuah buku
antologi puisi bertema HAM dengan judul Titik Temu. Buku ini diterbitkan oleh
Komunitas Kampoeng Jerami tepat pada hari HAM dengan melibatkan 60 penulis dari
seluruh Indonesia dan dari beragam kalangan. Buku ini telah diluncurkan dan
dibahas di Radio Republik Indonesia (RRI) Sumenep Jawa Timur oleh Komunitas
Kampoeng Jerami pada bulan Januari 2015. Selain itu juga dibedah dalam kegiatan
rutin Komunitas Sastra Reboan, Bulungan, Jakarta pada Pebruari lalu. Menyusul
kegiatan-kegiatan itu, dalam tahun ini beberapa agenda komunitas lain akan
menyertakan Titik Temu sebagai bahan perbincangan seperti di Tangerang, Bandung
dan Bengkulu.
Karena kebetulan
saya terlibat di dalamnya, saya hendak memakai buku ini sebagai sumber
inspirasi bagaimana martabat perempuan dimuliakan melalui tulisan-tulisan.
Memang, puisi-puisi yang ada di sana tidak semata berbicara tentang perempuan,
tapi hampir separuh dari seluruh penulisnya adalah perempuan. Sebut saja Ariany
Isnamurti, (direktur PDS HB. Jassin, Jakarta), Siti Noor Laila (anggota
komisioner Komnas HAM), Bunda Umy, Umirah Ramata, Chamelia dan beberapa teman
pekerja perempuan di Taiwan (buruh migran dari Indonesia), juga ada beberapa
aktifis sosial perempuan seperti Dewi Nova, Mariana Amirudin, Masita Riany dan
sebagainya. Selain itu ada penyair-penyair perempuan lain yang terlibat
meramaikan buku ini.
Tema-tema tentang
perempuan mau tak mau menjadi warna dalam puisi-puisi HAM sebagai sarana
penghormatan terhadap perempuan. Beberapa jelas terlihat dari judul puisinya
seperti Hak Sepatu dan Riuh (Cici Mulia Sary, penulis dan dosen di Bengkulu),
Mei-Mei : Umurnya 16 (Dewi Nova, penulis dan aktifis perempuan Tangerang
Selatan), Iyem juga Manusia (Dita Ipul, penyair dan ibu rumah tangga dari
Cilacap), Sajak Nyai Rossina dan Perempuan di Cakrawala (Edy Samudra Kertagama,
penyair senior dari Lampung), Perempuan di Ladang Jagung (Fendi Kachonk,
pengasuh Komunitas Kampoeng Jerami dan penyair Madura), Gadis Kecil (Lilis Amd,
penyair dan guru di Bandung), dan sebagainya.
Bagaimana
perempuan bisa mengembang dan berkembang dalam tulisan-tulisan? Kita bisa
mengambil satu contoh puisi menarik dari buku ini. Saya memilih satu puisi yang
bersubjudul Pahala, ditulis oleh Dewi Nova, hal. 44 buku Titik Temu. Walau subjudulnya
Pahala, tapi isi puisi ini bisa dipinjam untuk memberi makna kesadaran tentang
perempuan.
Puisi tersebut
secara lengkap adalah :
Saat kau
memandangnya
ia bersinar
merasakan kasihmu
Saat kau
mendengarkannya
ia sempurna sebagai
ciptaan
Saat kau berbuat
ia tergerak
untuk saling menghidupkan
Saat perjumpaan
kita merasa
tercipta dari tanah yang sama
(Cirendeu, 19
Juli 2011)
Mudah
sekali mengaitkan puisi ini dengan perempuan apalagi mengingat penulisnya juga
seorang aktifis perempuan yang giat memberdayakan perempuan dan menyebarkan
semangat untuk kemajuan perempuan. Kita dapat memakai imajinasi untuk
melihatnya ketika mulai masuk dalam bait-baitnya yang jernih memberikan
pemahaman.
Dewi menulis di
bait pertama : Saat kau memandangnya, ia
bersinar merasakan kasihmu. Jika saya ganti ‘nya’ dengan perempuan, maka
yang muncul adalah saat kau memandang perempuan, ia bersinar merasakan kasihmu.
Bagaimana seharusnya
kita memandang perempuan? Itu dijelaskan dalam bait-bait yang berikutnya. Saat kau mendengarkannya, ia sempurna
sebagai ciptaan. Perempuan harus didengarkan, dan dia sempurna sebagai ciptaan.
Ini tidak mudah, karena sering kali perempuan dianggap sebagai ‘ciptaan level
kedua’ yang diabaikan keberadaannya. Sering tak dipandang, atau jika dipandang
akan dipandang sebelah mata saja.
Lalu di bait
ketiga, muncul gerakan yang saling melengkapi, antara pria dan perempuan. Saat kau berbuat, ia tergerak untuk saling
menghidupkan. Ini bukan sebuah simbol yang pasif, tapi gerakan itu akan
menjadi saling menghidupkan. Bukan hanya salah satu pihak saja, tapi saling
dalam perjumpaan yang sejajar. Dan di bagian akhir itulah yang menjadi ajakan
kita untuk sampai pada pemahaman bahwa memang harusnya seperti itulah, karena
semua manusia entah pria atau perempuan diciptakan dari tanah yang sama.
Bisa jadi apa
yang dimaksudkan oleh Dewi Nova saat menuliskan puisi Pahala ini berbeda dengan
cara saya memandang dan menafsirnya. Tapi puisi ini memberikan inspirasi yang
penuh akan penghormatan terhadap martabat manusia tanpa melihat jenis
kelaminnya. Walau, tentu saja, dengan keterpihakan pada perempuan.
Dalam
keseluruhan buku Titik Temu, tulisan Dewi Nova hanyalah puisi yang pendek, namun
maknanya bisa tertangkap begitu dalam dan luas untuk merangkai 164 puisi yang
ada dalam buku ini. Kita tercipta dari
tanah yang sama. Begitu dikatakan Dewi. Dan saya ingin melanjutkan dalam
pemaknaannya, bahwa kita akan kembali ke tanah yang sama pula.
Jika dikaitkan
dengan situasi masa kini, kemajuan perempuan seharusnya diikat dalam penumbuhan
kesadaran-kesadaran. Bukan hanya kesadaran para perempuan yang setahap-tahap
maju dalam berbagai aspek, namun juga kesadaran pihak-pihak lain. Saya menyebutnya
pihak-pihak lain, bukan hanya satu pihak pria, melainkan juga kelompok-kelompok
masyarakat yang memberi pengaruh pada pandangan terhadap perempuan. Di dalamnya
ada kelompok pemerintah, agamawan, organisasi masyarakat, partai politik dan
sebagainya.
Kesadaran yang
paling dasar bisa diambil dari kalimat Dewi, kita tercipta dari tanah yang sama, sebagai dasar dari penghormatan
terhadap manusia tanpa terkecuali. Kesadaran itu yang akan diikuti oleh
kesadaran-kesadaran lain seiring perkembangan kehidupan. Mungkin akan berbeda
pada setiap orang tergantung pengalaman hidupnya masing-masing. Secara umum, kesadaran
akan kesamaan martabat manusia yang memang diciptakan dari dan oleh bahan yang
sama, bisa menghilangkan bentuk-bentuk pelecehan terhadap perempuan. Tidak
serta merta, tapi saya yakin akan terus berjalan jika gerakan-gerakan
selanjutnya dilakukan dan diwujudkan dengan sadar oleh perempuan-perempuan dan
juga bersama pihak-pihak lain.
Begitu pun, buku
Titik Temu ini adalah salah satu bagian kecil dalam proses penyebaran kesadaran
itu. Seperti dikatakan oleh Siti Noor Laila, Komnas HAM dalam kata sambutannya
dalam buku ini,”Berbagai peraturan tidaklah cukup, diperlukan pendekatan
melalui budaya, nilai-nilai anti kekerasan dan dialog hati untuk membangun
bangsa yang bermartabat.”
Atau seperti
yang diungkap Fendi Kachonk, pengasuh Komunitas Kampoeng Jerami di bagian awal
kata pengantarnya untuk buku ini,”Bahwa setiap orang memiliki keunikan dan
perbedaan yang patut dijunjung sebagai warna beragam seperti keindahan
pelangi.” Kesadaran itulah yang sedang dipupuk sekarang ini. Keunikan dan
perbedaan yang dimiliki oleh manusia pria dan perempuan akan menjadi kesempurnaan
yang indah dan saling melengkapi. *** (Penulis, Yuli Nugrahani
adalah pelaksana harian Bagian Justice and Peace Keuskupan Tanjungkarang,
Editor Buku Titik Temu yang diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami,
komunitas yang fokus pada penulisan dan pelatihan penulisan di Indonesia.)
Tuesday, April 21, 2015
Titik Temu dalam Belungguk Sastra di Bengkulu
Kali ini giliran Bengkulu menyediakan ruang bagi Titik Temu. Kegiatan menarik telah dikemas oleh Kedai Sastra bekerja sama dengan Komunitas Kampoeng Jerami dan banyak pihak. Aku merasa beruntung bisa menghadirinya dan bertemu dengan banyak komunitas seni di Bengkulu bahkan juga dengan Vebri Al Lintani, Ketua Dewan Kesenian Palembang yang hadir sebagai salah satu penulis Titik Temu.
"Tak ada puisi yang jelek dalam buku ini," Ujarku, sang editor Titik Temu dengan ngeyel. "Kalau editor yang jelek, mungkin saja ya. Karena seluruh tulisan itu sekarang telah dirangkai dalam sebuah buku, dan editor mempunyai tanggung jawab di situ. Tapi itu pun harus diperbincangkan karena editor selalu mempunyai alasan mengapa puisi tertentu dimasukkan atau ditolak. Editor juga mempunyai proses bersama para penulis dalam buku itu sehingga alasan itu menjadi lebih kuat lagi." Kali ini aku mengatakannya sambil tersenyum. Iyalah, mana aku tahan untuk tidak tersenyum apalagi di hadapan mereka semua yang memberikan apresianya untuk Titik Temu. Ya, mau apa lagi. Memang ngeyel adalah nama keduaku. Jadi, aku akan tetap ngeyel. Hehehe...
Lalu beberapa peserta diskusi ikut membaca puisi-puisi dalam Titik Temu. Aku (yang sebenarnya selalu merasa grogi kalau membaca puisi) mengambil Perempuan di Ladang Jagung, salah satu dari puisi Fendi Kachonk yang selalu 'mengandung musik' untuk kubacakan. Ssstt... ini adalah kesempatan ketigaku membaca puisi dalam dua tahun terakhir ini. Terus terang aku lebih suka membaca cerpen daripada puisi, sehingga aku memilih membaca cerpen jika ada pilihan. Tapi kali ini aku sangat beruntung, khususnya karena puisi Fendi ini secara spontan telah membantuku, sehingga aku tak merasa harus susah payah saat membacanya. Dia mengalir begitu saja sesuai musik yang memang sudah dipunyainya.
Ya, peluncuran buku di Bengkulu ini terasa menarik. Selain untuk pertama kalinya aku datang ke kota ini, Kedai Proses telah mengemas kegiatan ini dalam belungguk (hmmm... dalam bahasa Bengkulu artinya kumpul-kumpul.) sastra yang dihadiri oleh komunitas-komunitas di Bengkulu entah yunior maupun senior. Kedai Proses merangkainya dalam kegiatan rutin tahunan mereka Tribute Chairil Anwar yang dijejer dengan lomba baca puisi, seminar nasional untuk penciptaan karya, dan penganugrahan penghargaan sastra.
Dalam seminar yang diadakan keesokan harinya, aku bersama Dr. Elyusra, M. Pd, dari FKIP Univ. Muhammadiyah Bengkulu mendorong peserta untuk mulai menulis puisi. Menulis saja, tapi kemudian melanjutkannya dengan belajar teori-teori untuk membuatnya semakin bermutu. Aku membuktikan bahwa mereka semua mampu menulis puisi dalam workshop di bagian akhir seminar. Mereka semua bisa menulis puisi tentang perempuan dalam waktu yang sangat singkat.
Malamnya, di hari Sabtu itu semacam pesta bagiku. Walau tak ada makanan dan minum, kegembiraan melihat geliat sastra di Bengkulu adalan kegembiraan yang luar biasa. Para muda dengan karya-karya luar biasa mendapatkan penghargaan sastra. Selamat dan sukses selalu. Semangat itu kubawa kembali untuk perkembanganku, juga perkembangan Komunitas Kampoeng Jerami melalui Titik Temu. Aku mesti sebut nama-nama khusus, Edy Ahmad, Fendi Kachonk, Dedi Suryadi, Cici Mulia Sary, dan juga teman-teman Bengkulu, terimakasih.
"Tak ada puisi yang jelek dalam buku ini," Ujarku, sang editor Titik Temu dengan ngeyel. "Kalau editor yang jelek, mungkin saja ya. Karena seluruh tulisan itu sekarang telah dirangkai dalam sebuah buku, dan editor mempunyai tanggung jawab di situ. Tapi itu pun harus diperbincangkan karena editor selalu mempunyai alasan mengapa puisi tertentu dimasukkan atau ditolak. Editor juga mempunyai proses bersama para penulis dalam buku itu sehingga alasan itu menjadi lebih kuat lagi." Kali ini aku mengatakannya sambil tersenyum. Iyalah, mana aku tahan untuk tidak tersenyum apalagi di hadapan mereka semua yang memberikan apresianya untuk Titik Temu. Ya, mau apa lagi. Memang ngeyel adalah nama keduaku. Jadi, aku akan tetap ngeyel. Hehehe...
Lalu beberapa peserta diskusi ikut membaca puisi-puisi dalam Titik Temu. Aku (yang sebenarnya selalu merasa grogi kalau membaca puisi) mengambil Perempuan di Ladang Jagung, salah satu dari puisi Fendi Kachonk yang selalu 'mengandung musik' untuk kubacakan. Ssstt... ini adalah kesempatan ketigaku membaca puisi dalam dua tahun terakhir ini. Terus terang aku lebih suka membaca cerpen daripada puisi, sehingga aku memilih membaca cerpen jika ada pilihan. Tapi kali ini aku sangat beruntung, khususnya karena puisi Fendi ini secara spontan telah membantuku, sehingga aku tak merasa harus susah payah saat membacanya. Dia mengalir begitu saja sesuai musik yang memang sudah dipunyainya.
Ya, peluncuran buku di Bengkulu ini terasa menarik. Selain untuk pertama kalinya aku datang ke kota ini, Kedai Proses telah mengemas kegiatan ini dalam belungguk (hmmm... dalam bahasa Bengkulu artinya kumpul-kumpul.) sastra yang dihadiri oleh komunitas-komunitas di Bengkulu entah yunior maupun senior. Kedai Proses merangkainya dalam kegiatan rutin tahunan mereka Tribute Chairil Anwar yang dijejer dengan lomba baca puisi, seminar nasional untuk penciptaan karya, dan penganugrahan penghargaan sastra.
Dalam seminar yang diadakan keesokan harinya, aku bersama Dr. Elyusra, M. Pd, dari FKIP Univ. Muhammadiyah Bengkulu mendorong peserta untuk mulai menulis puisi. Menulis saja, tapi kemudian melanjutkannya dengan belajar teori-teori untuk membuatnya semakin bermutu. Aku membuktikan bahwa mereka semua mampu menulis puisi dalam workshop di bagian akhir seminar. Mereka semua bisa menulis puisi tentang perempuan dalam waktu yang sangat singkat.
Malamnya, di hari Sabtu itu semacam pesta bagiku. Walau tak ada makanan dan minum, kegembiraan melihat geliat sastra di Bengkulu adalan kegembiraan yang luar biasa. Para muda dengan karya-karya luar biasa mendapatkan penghargaan sastra. Selamat dan sukses selalu. Semangat itu kubawa kembali untuk perkembanganku, juga perkembangan Komunitas Kampoeng Jerami melalui Titik Temu. Aku mesti sebut nama-nama khusus, Edy Ahmad, Fendi Kachonk, Dedi Suryadi, Cici Mulia Sary, dan juga teman-teman Bengkulu, terimakasih.
Thursday, April 16, 2015
Pendidikan adalah ...
Menjadi salah satu dosen untuk mata kuliah Character Building selalu menarik. Bahkan untuk segala tema. Ini dia contohnya ketika aku masuk untuk sesi character building di kelas gabungan Akuntansi dan Manajemen semester 4 STIE Gentiaras, Kamis lalu, 16 April 2015. Tema yang diangkat sesuai buku panduan adalah Lanjutkan Pendidikanmu. Aku mengajak para mahasiswa untuk diskusi dalam kelompok yang mereka pilih sendiri. Salah satu tema yang harus diperbincangkan dalam diskusi itu adalah menyepakati sebuah gambar yang dapat mewakili pandangan mereka semua tentang pendidikan.
Lima kelompok terbentuk dan inilah hasil kerja mereka.
1. Saringan
Kelompok satu menganggap bahwa pendidikan itu seperti saringan. Ketika orang mendapatkan pendidikan, dia akan mempunyai alat saring yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang baik mana yang buruk. Mana yang bisa dikembangkan, disimpan atau dibuang.
2. Uang
Kelompok dua menganggap bahwa pendidikan adalah uang. Membutuhkan uang atau pengorbanan yang tidak sedikit untuk mendapatkannya. Di sisi lain, juga pendidikan suatu saat juga akan berguna untuk mencari uang. Orang yang berpendidikan akan mempunyai pilihan untuk mendapatkan uang.
3. Gunung
Kelompok tiga menganggap pendidikan sebagai gunung. Yang harus didaki dengan segala cara. Dan juga digali. Di dalamnya orang akan menemukan banyak hal. Bebatuan, mineral, dan kekayaan yang terpendam.
4. Sumur
Kelompok empat menganggap bahwa pendidikan adalah sumur air. Di dalamnya ada sumber air yang terus-terus memancar. Orang harus menimba dari dalamnya dengan kerekan yang sudah tersedia, dan air itu tak akan pernah habis. Apalagi ada juga tambahan-tambahan air dari resapan tanah di sekitarnya.
5. Kuku
Kelompok lima menganggap pendidikan itu adalah kuku. Seolah kecil, mempunyai banyak fungsi dan terus menerus tumbuh. Walau dipotong ujungnya, pangkalnya akan selalu tumbuh kembali.
Nah, keren kan? Mereka bisa menemukan hal yang menarik dari pendidikan. Gambar-gambar yang mereka buat ini sengaja kuupload supaya mereka dan diriku tak pernah lupa akan pendidikan.
Lima kelompok terbentuk dan inilah hasil kerja mereka.
1. Saringan
Kelompok satu menganggap bahwa pendidikan itu seperti saringan. Ketika orang mendapatkan pendidikan, dia akan mempunyai alat saring yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang baik mana yang buruk. Mana yang bisa dikembangkan, disimpan atau dibuang.
2. Uang
Kelompok dua menganggap bahwa pendidikan adalah uang. Membutuhkan uang atau pengorbanan yang tidak sedikit untuk mendapatkannya. Di sisi lain, juga pendidikan suatu saat juga akan berguna untuk mencari uang. Orang yang berpendidikan akan mempunyai pilihan untuk mendapatkan uang.
3. Gunung
Kelompok tiga menganggap pendidikan sebagai gunung. Yang harus didaki dengan segala cara. Dan juga digali. Di dalamnya orang akan menemukan banyak hal. Bebatuan, mineral, dan kekayaan yang terpendam.
4. Sumur
Kelompok empat menganggap bahwa pendidikan adalah sumur air. Di dalamnya ada sumber air yang terus-terus memancar. Orang harus menimba dari dalamnya dengan kerekan yang sudah tersedia, dan air itu tak akan pernah habis. Apalagi ada juga tambahan-tambahan air dari resapan tanah di sekitarnya.
5. Kuku
Kelompok lima menganggap pendidikan itu adalah kuku. Seolah kecil, mempunyai banyak fungsi dan terus menerus tumbuh. Walau dipotong ujungnya, pangkalnya akan selalu tumbuh kembali.
Nah, keren kan? Mereka bisa menemukan hal yang menarik dari pendidikan. Gambar-gambar yang mereka buat ini sengaja kuupload supaya mereka dan diriku tak pernah lupa akan pendidikan.
Saturday, April 11, 2015
Menari Bersama Anak-anak Kebutuhan Khusus di Lat Krabang
Tahun ini aku mendapat kesempatan untuk menghadiri pertemuan Consultation of Peace and Reconsiliation in Asia Today di Lat Krabang, Bangkok, 6 - 12 April 2015. Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan negara-negara se Asia dan diselenggarakan oleh Office of Human Development (OHD) FABC. Pertemuan yang menarik, tapi kali ini aku ingin cerita hal yang paling menarik dari tempat penyelenggaraan acara. Cammilian Pastoral Care Center.
Aku sudah dua kali datang ke tempat ini. Ini tidaklah asing. Detail-detail dari tempat ini cepat sekali menarik perhatian. Misalnya rancangan bangunan yang begitu manusiawi khususnya untuk anak-anak diffable (diferent of able), anak-anak kebutuhan khusus. Seluruh bangunan dirancang untuk ramah pada mereka. Lift yang dilengkapi huruf braille, suara, sehingga mereka mudah menemukan lantai mana yang dituju. Ruangan-ruangan yang luas yang memudahkan mereka bergerak dalam kursi roda. Juga jalan-jalan yang landai bersanding di sebelah tangga. Setiap kamar mandi juga dilengkapi kursi plastik bagi mereka.
Pada hari terakhir pertemuan, mereka hadir bergabung dengan 40 peserta pertemuan. Mereka rupanya sudah berlatih keras untuk menampilkan pentas yang menarik. Tarian, lagu dan juga melukis dalam iringan musik. Aduh, anak-anak yang luar biasa. Tarian yang indah. Yang berbeda dengan gerak dan ekspresi biasa dari orang kebanyakan. Aku tahu mereka telah bekerja sangat keras untuk gerakan-gerakan itu. Gerakan-gerakan yang mengajak semua orang untuk ikut menari. Hatiku, otakku, dan tubuhku ikut menari bersama mereka.
Aku sudah dua kali datang ke tempat ini. Ini tidaklah asing. Detail-detail dari tempat ini cepat sekali menarik perhatian. Misalnya rancangan bangunan yang begitu manusiawi khususnya untuk anak-anak diffable (diferent of able), anak-anak kebutuhan khusus. Seluruh bangunan dirancang untuk ramah pada mereka. Lift yang dilengkapi huruf braille, suara, sehingga mereka mudah menemukan lantai mana yang dituju. Ruangan-ruangan yang luas yang memudahkan mereka bergerak dalam kursi roda. Juga jalan-jalan yang landai bersanding di sebelah tangga. Setiap kamar mandi juga dilengkapi kursi plastik bagi mereka.
Pada hari terakhir pertemuan, mereka hadir bergabung dengan 40 peserta pertemuan. Mereka rupanya sudah berlatih keras untuk menampilkan pentas yang menarik. Tarian, lagu dan juga melukis dalam iringan musik. Aduh, anak-anak yang luar biasa. Tarian yang indah. Yang berbeda dengan gerak dan ekspresi biasa dari orang kebanyakan. Aku tahu mereka telah bekerja sangat keras untuk gerakan-gerakan itu. Gerakan-gerakan yang mengajak semua orang untuk ikut menari. Hatiku, otakku, dan tubuhku ikut menari bersama mereka.
Subscribe to:
Posts (Atom)