Aku sedang rindu naik taksi. Aneh ya. Aku juga merasa agak aneh. Aku ingin duduk diam-diam di jok belakang taksi, entah kemanapun. Tidak usahlah berjam-jam cukup berapa menit saja, cukup dengan tagihan tigapuluh atau empatpuluh ribu.
Jok belakang taksi, aku ingat bisa menjadi ruang privat sebanding dengan sebuah kamar tidur, toilet atau ruang pengakuan. Tentu dengan gaya yang beda dengan ketiganya.
Tapi ada beberapa hal yang sama dalam empat tempat itu, maksudku ehm...jok belakang taksi, kamar tidur, toilet dan ruang pengakuan bisa menjadi tempat perjumpaan dengan sesuatu atau seseorang yang sama. Ah ya sepertinya sekarang ini sangat nikmat jika bisa berada di jok belakang taksi (Aku sedang tidak ingin di kamar tidur, toilet atau kamar pengakuan).
Tuesday, March 31, 2009
Monday, March 30, 2009
Via Dolorosa
Via dolorosa adalah jalan sengsara. Benarkah? Aku sedang mempertanyakannya. Tidak mungkin hanya diartikan seperti itu jika jalan ini menjadi jalan yang dipilih secara bebas oleh sebagian orang.
Seorang gembong gerombolan pejalan, anak tukang kayu, si gondrong yang aku puja setengah mati, yang awalnya memilih melalui jalan ini. Dia mengajakku berdansa dalam jalan penderitaan. Memintaku tertawa sukacita dalam sengsara. "Seperti itulah orang-orang yang berbahagia." Katanya lembut suatu ketika di bukit. Menderita, miskin dan sengsara jadi kriteria bahagia. Astaga, apapula ini.
Biasanya dia hanya ngakak kalau aku mempertanyakan kepadanya. "Cari dan temukan sendiri." Centil dia menggodaku sambil menunjukkan rekaman-rekaman jejak hidupnya dalam setumpuk file karya para muridnya, kalau-kalau aku mau menirunya.
"Aduh, berat. Mana mungkin aku bisa, sedang seluruh hidupku seringkali terpaksa?" Aih, aih, dia hanya memeluk cium lalu menegakkan punggungku (seringkali membongkok tanpa kusadar) dan menadahkan wajahku hingga lurus pada wajahnya. "Jangan takut." Bisiknya dalam bau pinus sejuk.
Lalu, biasanya dia mengajakku berjalan-jalan memperlihatkan dimana saja wajahnya bisa dilihat sewaktu-waktu, kapanpun aku rindu atau aku mau. Lorong-lorong yang tak mungkin kulupa, di jalan-jalan kota, di pematang pedesaan, di dekat hutan, di dekat sungai, di dekat laut, di pelosok jauh, di tumpukan sampah, di dalam pabrik, di penjara, rumah sakit, panti jompo, panti asuhan, rumah keluarga-keluarga, ...
Genggaman tangannya yang tak lepas membuatku tersenyum dalam basah air mata, terlebih ketika mendengar rayuannya. "Aku mengasihimu."
Aku sedang berusaha memahaminya, sabarlah.
Seorang gembong gerombolan pejalan, anak tukang kayu, si gondrong yang aku puja setengah mati, yang awalnya memilih melalui jalan ini. Dia mengajakku berdansa dalam jalan penderitaan. Memintaku tertawa sukacita dalam sengsara. "Seperti itulah orang-orang yang berbahagia." Katanya lembut suatu ketika di bukit. Menderita, miskin dan sengsara jadi kriteria bahagia. Astaga, apapula ini.
Biasanya dia hanya ngakak kalau aku mempertanyakan kepadanya. "Cari dan temukan sendiri." Centil dia menggodaku sambil menunjukkan rekaman-rekaman jejak hidupnya dalam setumpuk file karya para muridnya, kalau-kalau aku mau menirunya.
"Aduh, berat. Mana mungkin aku bisa, sedang seluruh hidupku seringkali terpaksa?" Aih, aih, dia hanya memeluk cium lalu menegakkan punggungku (seringkali membongkok tanpa kusadar) dan menadahkan wajahku hingga lurus pada wajahnya. "Jangan takut." Bisiknya dalam bau pinus sejuk.
Lalu, biasanya dia mengajakku berjalan-jalan memperlihatkan dimana saja wajahnya bisa dilihat sewaktu-waktu, kapanpun aku rindu atau aku mau. Lorong-lorong yang tak mungkin kulupa, di jalan-jalan kota, di pematang pedesaan, di dekat hutan, di dekat sungai, di dekat laut, di pelosok jauh, di tumpukan sampah, di dalam pabrik, di penjara, rumah sakit, panti jompo, panti asuhan, rumah keluarga-keluarga, ...
Genggaman tangannya yang tak lepas membuatku tersenyum dalam basah air mata, terlebih ketika mendengar rayuannya. "Aku mengasihimu."
Aku sedang berusaha memahaminya, sabarlah.
Saturday, March 28, 2009
Cara Conteng Pemilu Legislatif 2009
Friday, March 27, 2009
Bunga
"Persembahan di banyak tradisi (tidak saja di Bali) sering kali berisi bunga. Di sejumlah negara (seperti Jepang) bahkan menempatkan bunga secara amat istimewa. Seperti ada rahasia di sana. Bunga mekar mewakili keindahan. Namun, seberapa indah pun bunga, beberapa waktu kemudian harus ikhlas menjadi sampah. Dan, baik tatkala diberi sebutan indah maupun sebutan sampah, bunga tidak pernah bicara. Siapa yang hidupnya mengalir sempurna dari bunga (sukses, dipuja) menjadi sampah (gagal, dicerca), kemudian (bila bisa mengolahnya) menjadi bunga lagi, ia sudah membuka salah satu pintu rahasia." Oleh Gede Prama, Kompas, Rabu, 25 Maret 2009
Aku ingat pada masa beliaku, satu cita-cita aku tusukkan di ubun-ubunku dengan bantuan sepasang tangan tua yang aku panggil Bapak. Yaitu bahwa dalam satu saat aku akan menjadi bunga matahari mekar. Bunga dengan kelopak-kelopak kuning mengitari calon-calon benih di wajahnya. Memelihara ratusan biji hidup itu hingga bunting bernas. Menjadi bunga matahari mekar yang seluruh geraknya adalah gerak matahari dari pagi hingga sore. Tunduk pada kehangatan matahari semata, tidak yang lain. Hingga suatu ketika, saat benih itu siap tertebar, kelopaknya boleh melayu. Tak lagi indah tapi kaya dengan butir-butir kehidupan yang siap hidup ke segala arah, melanjutkan keabadian.
(Sekarang? Walah, teman, wajahku senantiasa bopeng bertopeng. Tapi aku tahu bahwa aku akan selalu mengusahakan langkahku menuju saat itu. Saat aku menjadi bunga matahari mekar.)
Aku ingat pada masa beliaku, satu cita-cita aku tusukkan di ubun-ubunku dengan bantuan sepasang tangan tua yang aku panggil Bapak. Yaitu bahwa dalam satu saat aku akan menjadi bunga matahari mekar. Bunga dengan kelopak-kelopak kuning mengitari calon-calon benih di wajahnya. Memelihara ratusan biji hidup itu hingga bunting bernas. Menjadi bunga matahari mekar yang seluruh geraknya adalah gerak matahari dari pagi hingga sore. Tunduk pada kehangatan matahari semata, tidak yang lain. Hingga suatu ketika, saat benih itu siap tertebar, kelopaknya boleh melayu. Tak lagi indah tapi kaya dengan butir-butir kehidupan yang siap hidup ke segala arah, melanjutkan keabadian.
(Sekarang? Walah, teman, wajahku senantiasa bopeng bertopeng. Tapi aku tahu bahwa aku akan selalu mengusahakan langkahku menuju saat itu. Saat aku menjadi bunga matahari mekar.)
Wednesday, March 25, 2009
Dunia Bulat Berlubang Milikku
Duniaku bulat utuh kekar. Dengan berkat selangit dari tumpangan tangan banyak orang. Di sekujur permukaannya adalah pori-pori terlihat atau tidak terlihat mata. Seperti lubang-lubang luka besar kecil. Sebagian ditutupi oleh orang-orang terdekat, setengah dekat dan tidak dekat. Sebagian lain masih menganga.
Tangan-tangan liarku sering menari di atas permukaan luka-luka itu. Perih, geli, penuh sensasi. Seorang sahabat mengingatkan,"Hati-hati, Yuli. Menari di permukaan luka mungkin menyenangkan. Tapi ketika sampai pada kedalaman luka, dapatkah kau menahan air mata?"
Duniaku bulat utuh kekar. Di sekujurnya penuh berlubang menghadap semua sisi yang gampang sekali kau temui, kapanpun.
Tangan-tangan liarku sering menari di atas permukaan luka-luka itu. Perih, geli, penuh sensasi. Seorang sahabat mengingatkan,"Hati-hati, Yuli. Menari di permukaan luka mungkin menyenangkan. Tapi ketika sampai pada kedalaman luka, dapatkah kau menahan air mata?"
Duniaku bulat utuh kekar. Di sekujurnya penuh berlubang menghadap semua sisi yang gampang sekali kau temui, kapanpun.
Subscribe to:
Posts (Atom)