Setelah terakhir bersua dengan Bandung pada tahun 2000 (saat itu Bandung banjir air mata dan darah), kesempatan menemui Bandung lagi pada 23 - 24 kemarin menjadikan Bandung banjir kenangan.
Aku nyaris tidak mengenali sosoknya. Gemuk, berkeringat dan tidak bisa diam. Di beberapa tempat adalah daki kotoran yang menumpuk. Tidak aku temukan Bandung tenang, dingin dan mesra seperti dulu. Perkembangannya di luar dugaanku. Akar-akar 'komersialisme' tepat berada di jantungnya, lalu menyebar mencengkeram seluruh denyut pada sel-sel pertumbuhannya. Memberikan tawaran senyum palsu yang kecentilan.
Beberapa sudut menjadi penghiburan. Baros - Pasir Koja adalah setetes kesejukan dengan deret pinus yang menjulang ragu, tersamar polusi di sekitarnya. Dago dengan cengiran aneh lewat pintu-pintu rumah puan bangsawan membuatku terkapar sebal. Tidak ada keanggunan. Pun akasia atau entah apa namanya, merebut beberapa ruang sehingga berjalan di hiruk pikuk itu meremangkan sedikit gelenyar di kulitku yang sedang rawan. Braga nyaris tak tersisa. Tidak ada lagi tembang yang keluar dari sana, yang dulu pernah mengalun dalam desah lewat belakang telingaku.
Pamitan dengannya pada malam kedua, tidak bisa tidak membuatku pasrah dalam pelukan kaku yang diberikannya. Nyaris bukan pelukan, tapi cengkeraman aneh antara menahan atau mengusir. Aku pamit, tapi aku akan tetap mengingatnya.
Tuesday, July 29, 2008
Monday, July 28, 2008
Dua Jam
Waktu terhenti ketika aku duduk di samping agak depan darimu. Mendengarkan kisah mayapada dari celah bibirmu. Tentu aku tak berani menciummu. Bahkan tidak ingin. Suaramu saja sudah cukup menahan supaya aku tidak dekat dengan tubuhmu. Cukup di kursiku saja. Dan kau di kursimu. Tubuh mengayun condong dengan telinga yang lebar supaya kisah-kisah itu sampai pada otakku yang kian rapuh jika berdekatan denganmu. Pelan-pelan plot tersusun, karakter-karakter seperti bayangan mulai mewujud. Menguat jadi romansa, bahkan konflik. Lalu sosokmu berubah menjadi dalang yang memainkan semuanya. Semua berada di dalam kendali dua tanganmu. Seolah-olah!
Aku bergumam, mengingatkan ada hal lain. Di luar jangkauan dua tangan manusia. Tapi pasti telinga rentamu tidak mendengarkan selain suara-suaramu sendiri. Yang mengalun dengan nada-nada gregorian. Lalu sebuah senyum kemenangan menutup perbincangan. Tahu bahwa aku terkapar oleh semua kisah. Tahu bahwa aku sudah lemas oleh berondongan seluruh cerita.
Aku buru-buru tersenyum pula. Tak kuasa memberi satu tanggapan pun. Semua ceritaku untuk diriku sendiri. Aku tahan untuk lain hari. Menyebalkan.
Lalu buru-buru aku berdiri, pamit dan mencium cincin tebal di tangan kanannya.
Aku bergumam, mengingatkan ada hal lain. Di luar jangkauan dua tangan manusia. Tapi pasti telinga rentamu tidak mendengarkan selain suara-suaramu sendiri. Yang mengalun dengan nada-nada gregorian. Lalu sebuah senyum kemenangan menutup perbincangan. Tahu bahwa aku terkapar oleh semua kisah. Tahu bahwa aku sudah lemas oleh berondongan seluruh cerita.
Aku buru-buru tersenyum pula. Tak kuasa memberi satu tanggapan pun. Semua ceritaku untuk diriku sendiri. Aku tahan untuk lain hari. Menyebalkan.
Lalu buru-buru aku berdiri, pamit dan mencium cincin tebal di tangan kanannya.
Friday, July 11, 2008
Per-HATI-an
Perhatian, per - HATI - an, menjadi bermakna ketika HATI ada di antaranya. Betapa satu sentuhan HATI menjadi setetes embun. Bagaimana dengan banyak HATI? Yang bernyanyi, berjejer, dengan satu gitar, satu lilin, satu bolu coklat, satu bingkisan, satu jabat tangan, satu ucapan : Selamat Ulang Tahun, Mbak! ...
Berjuta embun mengalir sejuk di seluruh raga dan jiwa. Basah seluruhnya membalur, menguapkan kegersangan. Menjadi makan pagi, siang dan malam sekaligus.
Aku menangis mendekap semuanya dengan dua tanganku. Memaksanya tetap di sana dengan gembira. Walaupun mungkin nanti waktu akan bergulir, membuatku semakin tua. Tentu saja aku ingin jadi orang yang tua dengan banyak sahabat muda. Bersama mereka dalam satu tempat yang selalu sukacita.
Dengan begitu aku akan tetap diingatkan bahwa aku masih boleh bermimpi, aku masih boleh punya cita-cita, aku masih boleh liar, aku masih boleh tidak kelihatan tua, aku masih boleh belajar, aku masih boleh apa saja...
Terimakasih ...
Berjuta embun mengalir sejuk di seluruh raga dan jiwa. Basah seluruhnya membalur, menguapkan kegersangan. Menjadi makan pagi, siang dan malam sekaligus.
Aku menangis mendekap semuanya dengan dua tanganku. Memaksanya tetap di sana dengan gembira. Walaupun mungkin nanti waktu akan bergulir, membuatku semakin tua. Tentu saja aku ingin jadi orang yang tua dengan banyak sahabat muda. Bersama mereka dalam satu tempat yang selalu sukacita.
Dengan begitu aku akan tetap diingatkan bahwa aku masih boleh bermimpi, aku masih boleh punya cita-cita, aku masih boleh liar, aku masih boleh tidak kelihatan tua, aku masih boleh belajar, aku masih boleh apa saja...
Terimakasih ...
Subscribe to:
Posts (Atom)