Awalnya sebuah postingan selebaran dari Rannalla.id aku
terima di Grup Retorika Sampah. Didi dan Zea yang punya gawe, mencari
relawan-relawan jahit. Aku sendiri ndak kepikiran apa-apa, menyebarkan
selebaran ini di beberapa grup yang kulibati. Sampai beberapa hari tak ada
respon. Okeee… lalu aku sendiri yang kontak Didi minta kiriman bahan. Aku toh
bisa menjahit pakai tangan. Sehari, dua hari, ini masker yang jadi tak sampai
hitungan jari. Malah telunjukku jadi tremor. Huuu…
Dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya. Aku terus menjahit, menggunakan bahan kiriman Didi, juga mengambil dasterku yang sudah sobek tapi kainnya masih bagus, mengumpulkannya pada Didi dan Zea 15 masker dalam waktu seminggu. Membuatku nangis tak bisa tidur beberapa malam. Hanya 15 masker seminggu. Alangkah lamanya, lambatnya kerjaanku. Kegelisahan itu juga bercampur dengan segala berita yang masuk tanpa henti lewat jaringan sosial media maupun Wa-ku.
Aku merasa sangat tidak berdaya. Tapi minimal, aku masih bisa menjahit, sedikit-sedikit setiap hari, tapi aku tetap menjahit. Aku terus berpikir bahwa banyak orang butuh masker. Penularan Covid 19 ini bisa dihalangi sedikit oleh masker. Sedangkan masker dari pabrik sudah langka pun harganya mahal. Aku paham kalau kebutuhan masker yang besar ini tak mungkin aku penuhi sendiri. Hanya berpikir sebuah ide: kebutuhan ini hanya bisa dipenuhi jika satu orang saja dalam sebuah keluarga mampu dan mau menjahit masker untuk diri sendiri dan keluarganya. Kalau sisa baru dibagikan ke tetangganya. Tapi kan itu ide yang ideal banget. Wong kebanyakan yang aku ajakin njahit kemudian bilang:
“Aku tak bisa njahit.” Kujawab: Pakai tangan bisa kok. (Tapi tetep, tak bisa njahit. Titik.)
“Aku tak punya bahannya.” Kujawab: Kucariin bahannya. Kain, karet dan benang tinggal bilang saja. (Walau aku juga belum tahu mesti mencari di mana tuh bahan.)
“Aku tak punya mesin jahit.” Kujawab: Entar ada yang mbeliin (Masak? Aku sendiri saja tidak percaya bakal ada orang yang mbeliin mesin jahit.)
“Ndak ada waktu mbak.” Kujawab: Ok, tak apa-apa. Nanti pas ada waktu saja.
“Kusumbang uang saja ya.” Kujawab: Ok, tak apa-apa. Entar kucariin tukang jahit. Langsung ke tukang jahitnya saja, dan kirim masker jadinya ke aku.
Aku ndak mau menerima duit. (Walau kemudian ada juga seorang dari antara ibuku baik hati (ingat kan kalau aku pernah cerita bahwa aku punya banyak ibu) yang tetap memberikan sejumlah rupiah untukku, katanya untuk beli kain, atau untuk bensin atau apa saja kebutuhan-kebutuhan kecil tentang masker. No rekening keuskupan dan caritaslah yang kusebar ke siapa pun yang ingin ikut penggalangan dana. Aku menggalang masker saja. Terimakasih, ibu. (Aku tak boleh menyebutkan namanya, jadi kusebut saja dengan cinta dalam hati)) (Bersamaan dengan ini aku juga menjahitkan skoret untuk rumah sakit dari bahan yang dikirimkan oleh beberapa orang. Seorang kekasihku, sekumpulan ibu bapak, dan juga dari pribadiku, plus dibantu Caritas Tanjungkarang untuk sebagian ongkos jahitnya. Bisa membuat 80 skoret dari kain oxford, luar biasa. Aliran ini membuatku bisa mengatasi susah tidur di awal wabah Covid. Bayangkan, Yuli tak bisa tidur. Itu pasti sudah sangat keterlaluan, wong biasanya dimanapun kapanpun masalah apapun aku bisa tidur lho.)
Kembali tentang masker kain. Jadi, kemudian aku minta tolong ke Bernard untuk memotret aku pas
lagi njahit. Kuposting foto itu di beberapa grup. Beberapa respon membuatku
berkobar apalagi kemudian ada yang memberikan tawaran bahan-bahan, alat jahit
dan sebagainya. Beberapa orang kunci kukontak secara pribadi. Sambil aku terus
njahit.
Pada selang beberapa hari setelah itu, aku percaya diri kontak 3 suster di Susteran CB Tanjungseneng, Susteran FSGM di Pasirgintung dan Susteran HK di Pahoman.
“Sr, saya membutuhkan tempat untuk mencuci masker-masker.”
Pertanyaan mereka tentang berapa masker yang sudah terkumpul
tak bisa kujawab.
“Hanya melihat kemungkinan saja, sr.”
Tentu saja. Saat itu
aku tidak benar-benar tahu berapa masker yang akan terkumpul. Berapa orang yang
beneran ikut menjahit. Dan aku membuat 3 posko cuci? Hehehe… lebay. Begitu pasti
pikiran mereka sekalipun aku menggunakan nama Komisi Keadilan Perdamaian dan
Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) Keuskupan Tanjungkarang. Terlebih ketika aku
sebut sejuta masker (walau dalam hati aku bertekad, tak perlu sampai sejuta
masker kain dijahit virus ini harus sudah lenyap). Tapi mereka dengan semangat menyetujui untuk mencuci masker-masker kain yang akan terkumpul.
Pemerintah Indonesia tidak mempunyai sistem yang memadai
untuk menangani dan mengatasi virus Covid. Di awal penyebarannya, virus ini
dianggap hanya sebagai pengganggu ekonomi saja sehingga strategi yang dibuat
adalah ketahanan ekonomi termasuk ngomong tentang pariwisata. Padahal yang
pertama-tama adalah bagaimana virus ini tidak masuk dalam tubuh manusia dan
saling menularkan. Pun begitu kasus-kasus yang menimpa tenaga medis kita. Sedih
sekali melihatnya. Belum lagi program-program lanjut yang mestinya dilakukan,
aku tidak melihat yang signifikan membantu masyarakat untuk bersiap terhadap
virus ini.
Jadi, ayo perkuat pertahanan diri. Kita tak bisa
mengandalkan pemerintah kita untuk keselamatan diri kita dari Covid, tapi kita
bisa melakukan untuk diri kita sendiri dan keluarga kita, serta komunitas dalam
lingkar pengaruh kita. Jaga jarak, rajin mencuci tangan, tidak memegang wajah
usai memegang barang atau apalah-apalah, jaga kebersihan, jaga stamina tubuh,
memakai masker kalau memang terpaksa harus bertemu dengan orang lain.
Kami melakukan aksi #sejutamaskeruntuklampung. Di tulisan selanjutnya akan aku tunjukkan siapa saja yang termasuk dalam 'kami' seperti yang kutulis ini. (Bersambung)