"Mbak Liest, yuk kencan. Aku di Jakarta nih."
"Okey. Kau bisa ke kantorku atau ketemu di mana?"
"Nonton Widji Tukul yuk. Kucari jadwale ya?"
Jadilah, ketemu jadwal 19.00 hari itu di TIM. (Kemudian aku agak menyesal sudah membeli tiket karena pada jam yang sama ada agenda baca puisi Widji Tukul di depan TIM. Tahu gitu kan nyari jadwal lain lalu ikut baca puisi. Ih.)
Bertemu Mbak Liest tentu saja selalu istimewa. Kayak selalu kurang waktu untuk curhat, untuk apa saja. Tapi kesempatan nonton bareng apalagi film yang ini, tentu sangatlah ok.
Nah ya. Film ini mungkin mengecewakan bagi banyak aktifis yang berharap menampilkan sisi heroik Widji. Tapi bagiku, ini film yang sangat pas. Tepat. Bukan hanya menampilkan kesenyapan, tapi benar-benar mengajak untuk senyap. Huft.
Puisi-puisi Widji yang populer lugas garang, sangat pas untuk aksi di jalanan, kali ini disuarakan dengan sangat ... hmmm katakanlah romantis. Manusiawi. Mengusik, bikin marah, sedih atau tertawa.
“Puisi Kemerdekaan”
Kemerdekaan adalah nasi
Dimakan jadi tai
Dimakan jadi tai
Widji Tukup, Agustus 1982
Nah ya. Aku sungguh-sungguh terusik.
No comments:
Post a Comment