Bisakah Aku Mencintai Rizieq?
Aku ingin menulis tentang hal ini sejak setiap kali membuka beranda Facebook selalu muncul berita-berita tentang Rizieq secara gencar. Setiap kali membuka Facebook pasti kemudian kusertai dengan membaca link-link yang disebarkan oleh pecinta atau pembenci Rizieq. Sekarang keinginanku untuk menulis tak kubendung karena kegelisahanku semakin menggembung. Ya, aku gelisah karena tulisan-tulisan, gambar-gambar dan video-video yang sekarang ini beredar berkembang ke hal-hal ndak logis. Biar deh, minimal untuk kesehatan psikologisku, aku menuliskan ini. Bagi teman-teman yang iseng ingin membacanya, silakan membaca dengan santai saja. Jika tidak suka membacanya, silakan blokir sehingga tulisan ini tak perlu dibaca.
Aku ingin memulainya dengan Rizieq. Aku merasa ya begitulah Rizieq. Rizieq Shihab itu laki-laki kontroversial. Dia ngomong sesuka hati. Ceplas ceplos seperti tidak mikir dulu sebelumnya. Dia adalah laki-laki pemberani. Ini bisa dibantah tapi jelas dia memang berani bicara dengan lantang sesuai pikirannya tanpa ditutupi walau data atau alasan yang dimiliki masih minim atau tidak sesuai. Jika dia merasa benar dengan pilihannya, maka dia akan lurus berjalan di situ. Walau seringkali landasannya asumsi (misal ketika dia mengkritisi atau mengolok keyakinan orang lain). Dia tetap saja lurus walau dibengkokkan banyak orang (atau dia tetap bengkok walau orang lain mencoba meluruskannya).
Setiap kali membaca atau mendengarkan omongan Rizieq, aku susah untuk mengangguk setuju. Ibaratnya, dia membuatku menggeleng 4 kali dalam 5 pernyataannya, itu artinya 80% aku tidak setuju dia. Ohya, diingat lho, aku belum pernah ketemu dengannya. Pengenalanku itu kudasarkan pada media yang kubaca atau kulihat. Pengenalan yang berkembang hanya seturut asumsiku. Menurut perasaanku saja. (Nah. Untuk hal ini aku sama dengannya, bersikap berdasarkan asumsi. Aihdah.)
Nah, aku ingin kembali pada judul yang kubuat yang menjadi bagian dari pikiran-pikiranku selama beberapa bulan ini. Apakah aku bisa mencintai Rizieq? Untuk Rizieq yang hanya mendapatkan 1 anggukanku (yang bahkan mungkin tidak utuh 1 anggukan), kata cinta menjadi hal yang sulit. Tidak mengatakan bahwa dia adalah musuh juga susah. Gimana lagi. Beberapa kali menonton youtube yang memuat suaranya, kotbahnya atau orasinya, membuatku ketakutan, sedih, marah dan sakit hati. Banyak dari perkataannya, teriakannya membuatku merasa seolah dia saja yang punya hak hidup di Indonesia ini. Cara pikirnya itu susah kupahami. Mungkin karena dia tidak menahan diri mengungkapkan apapun yang dipikirkannya. Ooo, maafkan aku. Aku memang memakai perasaan ketika mendengar atau melihatnya. Dia memakai aturan yang berbeda dengan aturan dasar negara ini seturut pemahamanku. Dia punya logika yang menurutku seringkali aneh, sehingga mungkin hal itu dipahami oleh sekelompok orang, tapi untukku, ini agak berat dipahami, terlebih ketika kemudian segala tindakannya mutlak ingin dibenarkan oleh siapa saja. Dalam beberapa kali kesempatan berdoa aku menyelipkan namanya : "Tuhan, ubahlah maklukmu yang satu ini supaya dia lebih hati-hati berkata dan bersikap. Berilah dia kesadaran bahwa tindakannya memberi pengaruh pada banyak orang dan bisa memunculkan kegelisahan. Tuhan, dampingilah dia supaya semakin menjadi manusia perantara cinta kasihMu. Tuhan, bukalah kepalanya sehingga Kau susupi dengan cinta kasihMu semata untuk disebarkan kepada siapa saja."
Duhai. Mungkin aku yang salah memahami situasi ini. Tapi aku memang semakin gelisah. Semakin hari aku melihat kini bukan hanya soal Rizieq yang memenuhi beranda Facebook. Tapi sekarang muncul pengikutnya dan pembencinya saling serang seperti perang. Dipicu oleh selintas kata atau kalimat saja, muncul saling hujat. Aku ngenes membaca nabi besar dilecehkan, nama Tuhan agama-agama jadi olokan, ayat kitab suci tidak dihargai dan sebagainya.
Aku bertanya pada suamiku semalam : "Ini kayak perang saja ya. Orang-orang jadi biasa saling hujat saling serang dengan memakai agama. Semua agama dinistakan karena makian-makian yang berseliweran. Kok jadi antar agama sih?." Suamiku seperti biasa dengan gayanya yang lembut bilang : "Tapi di sini (dunia nyata) tak ada itu. Semua baik-baik saja. Tetangga yang beragam tak menimbulkan masalah. Teman-teman dari berbagai agama juga biasa saja. Tetap saling hormat." Aku rasa itu betul, karena aku pun merasakan mesra dengan semua kelompok agama apapun tapi aku bilang,"Aku pengin tahu akhirnya. Penasaran. Bagaimana situasi Indonesia beberapa tahun lagi jika cara komunikasinya seperti ini?" Mas Hendro diam saja. Mungkin dia akan menyarankan,"Udah, tutup HPmu, ndak usah mainan FB, twiter dll. Tidur sana." Tapi mungkin dia ndak tega. Hehehe...dia paham istrinya juga dapat duit dengan bantuan medsos.
Tapi tidak fair menuduh Rizieq sebagai satu-satunya akar penyebab perang itu. Ada banyak lagi yang menjadi pendukung situasi ndak nyaman ini. Apalagi sekarang sudah melebar kemana-mana dan membuat banyak orang jadi sensitif. Bahkan ada orang-orang serupa Rizieq di berbagai tempat, berbagai agama. Ngeri.
Hmmm... kembali ke pertanyaan itu, bisakah aku mencintai Rizieq atau orang serupa dia? Entah. Aku harus bisa melihatnya sebagai ciptaan, sebagai 'aku' lain yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Karena Dia telah menciptakan semuanya itu, wajarlah Dia meminta : "Cintailah sesamamu manusia." Bahkan."Cintailah musuh-musuhmu." Duh. Entah. Kalau ciptaan ini adalah sebentuk Rizieq, yang berkali-kali menyakiti hatiku dengan perkataannya lewat youtube yang sengaja aku tonton, bagaimana bentuk cinta yang tepat baginya?
Aduh. Aku bisa memulainya dengan bertanya padanya : "Apakah kau mencintaiku, Rizieq?" Aduh. Itu bukan pertanyaan yang tepat. Aduh. Aduh... Apakah kau mencintaiKu?