Pantai Blebuk terletak di Bakauheni. Tidak sampai satu jam perjalanan dari Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, naik ojek atau mobil pribadi. Jalan sangat jelek tapi menawarkan pemandangan hijau berliku yang bervariasi : kebun pisang, kelapa, perkampungan, sawah, samar-samar laut. Pantainya sendiri masih perawan. Ada deretan potongan-potongan karang yang terhampar jadi benteng antara laut dan pantai berpasir putih. Aku dan Bernard berdiri di sana di kelilingi air, beberapa meter dari pantai. Lihat, ada burung besar melayang di atas! Dan para nelayan yang baru pulang melaut di ujung pantai sebelah sana itu mendapatkan banyak ikan karena bulan belum purnama.
Monday, September 24, 2007
Sunday, September 16, 2007
Ruang Rindu
(Punya Letto)
di daun yang ikut, mengalir lembut
terbawa sungaiku ujung mata
dan aku mulai takut terbawa cinta
menghirup rindu yang sesakkan dada
jalanku hampa dan kusentuh dia
terasa hangat o di dalam hati
kupegang erat dan kuhalangi waktu
tak urung jua kulihatnya pergi
tak pernah ku ragu dan selalu kuingat
kerlingan matamu dan sentuhan hangat
ku saat itu takut mencari makna
tumbuhkan rasa yang sesakkan dada
kau datang dan pergi o begitu saja
semua kutrima apa adanya
mata terpejam dan hati menggumam
di ruang rindu kita bertemu
di daun yang ikut, mengalir lembut
terbawa sungaiku ujung mata
dan aku mulai takut terbawa cinta
menghirup rindu yang sesakkan dada
jalanku hampa dan kusentuh dia
terasa hangat o di dalam hati
kupegang erat dan kuhalangi waktu
tak urung jua kulihatnya pergi
tak pernah ku ragu dan selalu kuingat
kerlingan matamu dan sentuhan hangat
ku saat itu takut mencari makna
tumbuhkan rasa yang sesakkan dada
kau datang dan pergi o begitu saja
semua kutrima apa adanya
mata terpejam dan hati menggumam
di ruang rindu kita bertemu
Monday, September 10, 2007
Petani Latihan Jurnalistik
21 petani dan penggeraknya berlatih tekun selama 2 hari 7-8 September lalu. Bukan latihan tentang pertanian, tapi jurnalistik. Aku mendampingi n memandu mereka, tercengang-cengang melihat semangat para bapak dan ibu itu. Acaranya sendiri diadakan oleh Lembaga Karya Bakti (LKB), n Mas Yudo meminta aku n Nuntius yang memberikan materi. Tidak banyak ngomong, aku buat satu buku kecil panduan jurnalistik. Peserta datang langsung nulis. Bahkan ketika harus keluyuran, heboh. Mereka serius deg-degan dan wawancara tukang cendol, tukang parkir dsb. Saat menceritakan pengalaman itu lebih heboh lagi.
Karena mereka berniat memantapkan jaringan dan LKB sepertinya memang menargetkan membuat majalah bagi jaringan ini, proses aku arahin untuk pengelolaan sebuah majalah alternatif bagi komunitas terbatas. Hasil akhir kerja mereka dalam kelompok lebih membuatku takjub. Masing-masing kelompok bisa membuat sebuah majalah 'boongan' dengan nama yang aku minta benar-benar berangkat dari situasi konkret jaringan mereka, motto, rubrik, hingga lau out. Calon majalah itu benar-benar mereka buat serius dengan gambar, foto dsb. Hebat! Aku menutupnya dengan :
"Kita saat ini ada di pinggiran sungai. Berniat memetik dan makan buah di hutan sejuk seberang sana. Kita sudah mengadakan pemanasan, seterusnya...terserah anda. Mau terjun berenang ke seberang, atau karena capek duduk-duduk dulu? Kalau ketiduran, ya selamat mimpi terus. Semua terserah anda."
Lalu aku serahkan ke panitia untuk pembahasan tindak lanjut. Bagiku, walau tidur minim, raga, jiwa, otak dan hati terasa sangat segar dan penuh gairah.
Karena mereka berniat memantapkan jaringan dan LKB sepertinya memang menargetkan membuat majalah bagi jaringan ini, proses aku arahin untuk pengelolaan sebuah majalah alternatif bagi komunitas terbatas. Hasil akhir kerja mereka dalam kelompok lebih membuatku takjub. Masing-masing kelompok bisa membuat sebuah majalah 'boongan' dengan nama yang aku minta benar-benar berangkat dari situasi konkret jaringan mereka, motto, rubrik, hingga lau out. Calon majalah itu benar-benar mereka buat serius dengan gambar, foto dsb. Hebat! Aku menutupnya dengan :
"Kita saat ini ada di pinggiran sungai. Berniat memetik dan makan buah di hutan sejuk seberang sana. Kita sudah mengadakan pemanasan, seterusnya...terserah anda. Mau terjun berenang ke seberang, atau karena capek duduk-duduk dulu? Kalau ketiduran, ya selamat mimpi terus. Semua terserah anda."
Lalu aku serahkan ke panitia untuk pembahasan tindak lanjut. Bagiku, walau tidur minim, raga, jiwa, otak dan hati terasa sangat segar dan penuh gairah.
Saturday, September 01, 2007
Ngeteng Slipi - Rajabasa
Pulang dari Pelatihan Kampanye di Wisma PKBI 25 - 27 Agustus, aku pulang 'ngeteng'. Naik mobil sambung-sambung. Lama sekali aku tidak melakukan ini dalam perjalanan yang agak jauh. Biasanya travel atau bis menjadi pilihan. Lebih nyaman, lebih aman. Terlebih jika bersama anak-anak. Tapi perjalanan untuk pelatihan ini sudah dipenuhi romantisme sejak dari berangkat. (Aku berangkat naik Sriwijaya Air, 30 menit sudah tiba di Sukarno-Hatta)
Menikmati lagi perjalanan seperti itu membuat pikiranku jadi mengembara kemana-mana. Berangkat dari rumah Yeni jam 4.30 sangat segar. Diantar Windra ke Slipi. Bis AC Prima Jasa sangat nyaman. Aku gak mau naik bis biasa dengan harapan sepagi mungkin tiba di Merak. Di Cilegon sempat deg-degan liat antrean panjang truk, dan bis yang aku tumpangi terjebak di tengah-tengahku. Pikirku, wah kualat deh aku sama Mas Hendro. Dari kemarin dia sudah mengingatkan kalau perjalanan laut Sunda lagi gak beres. Tapi aku gak percaya-percaya amat. Bantuan seorang petugas membuat bis bisa lepas dari jepitan truk dan keluar tol Cilegon Barat. Untung bis berhenti di SPBU. Aku yang sudah kebelet langsung loncat turun. "Cepetan ya Mbak!" Kondektur yang lagi ngecek bensin mengingatkan. Aku lari cepat ke toilet. Keluarnya, astaga, bis itu sudah jalan. Lebih cepat lagi aku lari, dibantuin orang-orang neriakin bis supaya aku tidak ditinggal. Lha tas ranselku ada di sana. Dan semua barang di dalamnya! Kantongku cuma ada beberapa receh dan HP. Ih, pak sopir cuma senyum doang.
15 ribu untuk pelayanan bis ini hingga Merak. Merak sangat tenang. Tapi gak ada kapal cepat. Jadi aku beli tiket 9 ribu untuk ferry, kelas ekonomi. Kapal sangat sepi. Bagian lampung dipenuhi mobil berdesakan, tapi penumpang sepi. Merdeka aku menikmati 'Mencintai Che" tanpa gangguan berarti. Juga sarapan pagi nasi sambel tumpang yang dibungkusin Yeni. Nasi, sambel tumpang, peyek, tahu goreng, gori rebus. Lengkap! Na, Yeni nambahin telur ceplok. Turun deh sebentar seleraku. Nasi tumpang mah gak cocok sama telur ceplok, Heng! Biar gizinya lengkap ya? Tapi telur itu yang pertama masuk perutku. Setelahnya, ehm bau sambel tumpang n pasti rasa yang lezat. Makan sampai licin tandas sampai lupa lihat sekitar ada orang yang ngiler atau gak mencium bau tempe bosok diolah pakai santan yang pasti sangat menyengat baunya.
Sesekali saja penjual tahu goreng, es, kripik hilir mudik. Terakhir si penjual es mancing obrolan. Aku tidak mood sama sekali. Tapi kasihan lihat matanya yang bosan, aku meladeni perbincangan ngalor ngidulnya. "Bosan, berbulan-bulan kerja seperti ini. Walau jurusan Merak - Bakau, aku tidak pernah menginjakkan kaki di Lampung. Kapal hanya ngedok 30 menit, langsung balik. Begitu terus. Dagangan ini sudah ada yang mengantar, jadi aku tidak perlu turun. Paling nanti pas lebaran pulang kampung. Seminggu di darat, kalau masih mau ngelanjutin kontrak, ke kapal lagi. Gak bisa sembarangan orang jualan di kapal ini. Yang pakai seragam ini yang boleh. (dia menunjuk baju hijau muda yang dikenakan). Hasil lumayan. Bisa dapat 100 ribu sehari. Dipotong makan, ah mahal sekali makan sekarang ini sekitar 10 ribu. Tiga kali sudah berapa. Belum jajan, minum, rokok. Tidur enak, tiap malam di ruang itu (dia menunjuk satu pojok berpintu). Ada 10 orang pedagang seperti aku di kapal ini. Bosen."
Dia cerita bahwa dia pernah kerja di pabrik, diphk.
Aku mengakhiri perbincangan ini setelah kapal pasang posisi untuk berlabuh. "Mari, sampai ketemu lagi." Senyumku dibalas senyumnya yang tulus. Aku rasa hormat ada dalam kepalaku dan dalam kepalanya.
Bis Bakauheni - Rajabasa sangat payah. 20 ribu ditarik dengan buru-buru tapi bis maju mundur dulu lebih dari setengah jam sebelum berangkat. Dan bis AC ini penuh sungguh-sungguh penuh. Dengan kursi tambahan di tengah. Dan penumpangnya mau! Aduh! Kakiku gak bisa lurus padahal aku sudah milih tempat depan. Soalnya ada kursi tambahan lagi di dekat pintu persis mepet kursi yang aku duduki. Mencintai Che tidak lagi meninggalkan bekas diganti penuh sesak ini. Turun di perempatan Damri, beli nasi padang. Pasti di rumah hanya ada nasi, sedang aku ingin makan lagi. Naik ojek 5000, tiba di rumah yang sepi. Kemana anak-anak? Wawak dari rumah sebelah tergopoh-gopoh. "Abet Benad ke Dira. Ulang tahun." Yach...
Menikmati lagi perjalanan seperti itu membuat pikiranku jadi mengembara kemana-mana. Berangkat dari rumah Yeni jam 4.30 sangat segar. Diantar Windra ke Slipi. Bis AC Prima Jasa sangat nyaman. Aku gak mau naik bis biasa dengan harapan sepagi mungkin tiba di Merak. Di Cilegon sempat deg-degan liat antrean panjang truk, dan bis yang aku tumpangi terjebak di tengah-tengahku. Pikirku, wah kualat deh aku sama Mas Hendro. Dari kemarin dia sudah mengingatkan kalau perjalanan laut Sunda lagi gak beres. Tapi aku gak percaya-percaya amat. Bantuan seorang petugas membuat bis bisa lepas dari jepitan truk dan keluar tol Cilegon Barat. Untung bis berhenti di SPBU. Aku yang sudah kebelet langsung loncat turun. "Cepetan ya Mbak!" Kondektur yang lagi ngecek bensin mengingatkan. Aku lari cepat ke toilet. Keluarnya, astaga, bis itu sudah jalan. Lebih cepat lagi aku lari, dibantuin orang-orang neriakin bis supaya aku tidak ditinggal. Lha tas ranselku ada di sana. Dan semua barang di dalamnya! Kantongku cuma ada beberapa receh dan HP. Ih, pak sopir cuma senyum doang.
15 ribu untuk pelayanan bis ini hingga Merak. Merak sangat tenang. Tapi gak ada kapal cepat. Jadi aku beli tiket 9 ribu untuk ferry, kelas ekonomi. Kapal sangat sepi. Bagian lampung dipenuhi mobil berdesakan, tapi penumpang sepi. Merdeka aku menikmati 'Mencintai Che" tanpa gangguan berarti. Juga sarapan pagi nasi sambel tumpang yang dibungkusin Yeni. Nasi, sambel tumpang, peyek, tahu goreng, gori rebus. Lengkap! Na, Yeni nambahin telur ceplok. Turun deh sebentar seleraku. Nasi tumpang mah gak cocok sama telur ceplok, Heng! Biar gizinya lengkap ya? Tapi telur itu yang pertama masuk perutku. Setelahnya, ehm bau sambel tumpang n pasti rasa yang lezat. Makan sampai licin tandas sampai lupa lihat sekitar ada orang yang ngiler atau gak mencium bau tempe bosok diolah pakai santan yang pasti sangat menyengat baunya.
Sesekali saja penjual tahu goreng, es, kripik hilir mudik. Terakhir si penjual es mancing obrolan. Aku tidak mood sama sekali. Tapi kasihan lihat matanya yang bosan, aku meladeni perbincangan ngalor ngidulnya. "Bosan, berbulan-bulan kerja seperti ini. Walau jurusan Merak - Bakau, aku tidak pernah menginjakkan kaki di Lampung. Kapal hanya ngedok 30 menit, langsung balik. Begitu terus. Dagangan ini sudah ada yang mengantar, jadi aku tidak perlu turun. Paling nanti pas lebaran pulang kampung. Seminggu di darat, kalau masih mau ngelanjutin kontrak, ke kapal lagi. Gak bisa sembarangan orang jualan di kapal ini. Yang pakai seragam ini yang boleh. (dia menunjuk baju hijau muda yang dikenakan). Hasil lumayan. Bisa dapat 100 ribu sehari. Dipotong makan, ah mahal sekali makan sekarang ini sekitar 10 ribu. Tiga kali sudah berapa. Belum jajan, minum, rokok. Tidur enak, tiap malam di ruang itu (dia menunjuk satu pojok berpintu). Ada 10 orang pedagang seperti aku di kapal ini. Bosen."
Dia cerita bahwa dia pernah kerja di pabrik, diphk.
Aku mengakhiri perbincangan ini setelah kapal pasang posisi untuk berlabuh. "Mari, sampai ketemu lagi." Senyumku dibalas senyumnya yang tulus. Aku rasa hormat ada dalam kepalaku dan dalam kepalanya.
Bis Bakauheni - Rajabasa sangat payah. 20 ribu ditarik dengan buru-buru tapi bis maju mundur dulu lebih dari setengah jam sebelum berangkat. Dan bis AC ini penuh sungguh-sungguh penuh. Dengan kursi tambahan di tengah. Dan penumpangnya mau! Aduh! Kakiku gak bisa lurus padahal aku sudah milih tempat depan. Soalnya ada kursi tambahan lagi di dekat pintu persis mepet kursi yang aku duduki. Mencintai Che tidak lagi meninggalkan bekas diganti penuh sesak ini. Turun di perempatan Damri, beli nasi padang. Pasti di rumah hanya ada nasi, sedang aku ingin makan lagi. Naik ojek 5000, tiba di rumah yang sepi. Kemana anak-anak? Wawak dari rumah sebelah tergopoh-gopoh. "Abet Benad ke Dira. Ulang tahun." Yach...
Subscribe to:
Posts (Atom)