Monday, April 14, 2025

MENGGUNAKAN SASTRA UNTUK MENYAMPAIKAN PESAN KEADILAN GENDER

 


 

Saya menempatkan sastra (seni) sebagai alat komunikasi. Karena proses yang terjadi adalah komunikasi, maka selain ada pemberi dan penerima pesan, di sana ada pesan. Pesan inilah ‘isi’ dari seni yang diciptakan oleh seniman untuk disampaikan pada siapa pun yang membaca, melihat, mendengar, dst.

Yang muncul dalam kegiatan hari ini, salah satu contoh, ada tari yang ditampilkan oleh si kembar, dapatkan kita menangkap pesannya? Ada Gerakan yang berbeda dari biasanya karena mereka sempurna dengan caranya. Orang umum menyembut disabilitas atau difabel, saya menyebutkan kesempurnaan yang khas. Mereka punya yang sempurna dengan kekhasannya.

Kita mestinya menghormati semua kekhasan yang berbeda itu.

 

Contoh Buku Cerpen Daun-daun Hitam, saya publikasikan tahun 2014,

Saya tuliskan cita-cita buku itu: Untuk menghormati kesejatian manusia yang memiliki keragaman cara pandang, budaya, etnis dan keyakinan dalam keutuhan Indonesia dan semesta.

Pengantar oleh Mgr. Harun:

“Kendatipun setiap peziarah, setiap perantau (entah merantau sukarela atau terpaksa) rindu untuk mulang tiuh, pulang kampung, sehingga hidup bisa dirasakan nyaman dan tentram damai, namun ternyata tidak semua kerinduan kita dapat terpuaskan dalam hidup ini. Lalu kapan kita akan mengalaminya? Dengan cara apa bisa lebih cepat kita wujudkan? Perziarahan itu ibarat sebuah doa (entah dengan cara dan model doa apa yang kita gunakan), bisa dikabulkan cepat, bisa ditunda atau bisa tidak dikabulkan oleh Tuhan. Mengabulkan doa atau tidak memang hak Tuhan semata. Kita percaya Tuhan pasti tidak mengenal diskriminasi. Si juru kunci dalam “Namanya di Dunia Maya” punya cara sendiri dalam berdoa.

Melalui buku ini Melalui buku ini ada undangan kemanusiaan dari Yuli Nugrahani dan Dana E. Rachmat bagi kita untuk : menunjukkan jalan bagi yang tersesat, membantu menemukan orang-orang yang kehilangan, memperhatikan orang-orang seperti Mak Unti, membela yang tertindas seperti Sar dan keluarganya, menjaga kebhinekaan yang harmonis tanpa pernah menodainya dengan laku yang membawa luka traumatis, menjaga dan membela lingkungan hidup, dan meretas human traficking. Beranikah kita?”

 

Ada 12 cerpen dalam buku ini:

Salah satu judulnya: Sekandhi Gabah, Sebungkus Gula Kopi, Sekilo telur

“Hingga beberapa detik lalu aku masih berpikir aku perempuan yang beruntung. Bagaimana tidak? Dulu hargaku hanya sekandhi gabah, ditambah sebungkus gula dan kopi, serta sekilo telur ayam. Hanya itu, tepat persis, dan hanya sekali itu dibayarkan. Sekarang hargaku 15 ribu NT, bersih, dan dikirimkan setiap bulan langsung atas nama emak di kampung sana.

Aku tahu hargaku masa itu melalui sebuah transaksi entah apa, yang terjadi seminggu setelah mens-ku yang pertama terhenti. Mungkin hanya sebuah perjanjian iseng yang telah dibuat oleh bapak dan emakku. Tapi mungkin sungguh-sungguh sebuah transaksi. Aku tak tahu dan tak ada yang bisa menjelaskan hal ini secara memuaskan tanpa merontokkan air mataku lagi.

….

Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi pasti ada sesuatu yang berbeda. Bukan soal sepele menstruasiku dan jelas lebih serius. Seminggu setelah itu, tanpa alasan aku diminta memakai baju lebaran terakhirku dan diantar oleh bapak dan emak ke Wak Haji Rohmat, di dekat pasar kabupaten. Aku pernah bertemu dengannya saat diajak bapak. Konon dia sebenarnya belum pernah naik haji sungguhan, tapi dia pernah pergi ke Arab, dan dia orang kaya. Semua orang memanggilnya Wak Haji.

Aku ditinggal di sana dalam kamar yang luar biasa bagus dengan boneka-boneka dan segala apapun yang aku pernah inginkan dan belum pernah kesampaian. Aku tidak sadar ketika emak dan bapak pulang. Aku ingat aku menangis berguling-guling ketika tahu mereka tidak ada lagi dan siapapun yang kutemui di rumah itu tidak mau mengantarku pulang.”

Pesan utama ada di bagian akhir cerpen:

“Saat aku menjadi manusia merdeka, pun siapa pun orangnya, semuanya tanpa kecuali seharusnya demikian. Siapa pun tak boleh menjadi korban, sekalipun orang yang kepadanya pernah kita pernah mendendam, tak boleh menjadi korban.”

 

Pengalaman

Ada beberapa cerpen, puisi atau novel yang cukup memberikan pengaruh pada saya. Salah satu novel: Burung-burung Manyar dan Burung-burung Rantau karya Mangunwijaya.

Buku cerpen Daun-daun Hitam juga membawa saya pada banyak hal lain: Pontianak dengan ibu2 Pekka, Malang, Jogja, Tangerang, Bengkulu, Sumenep, Bandung, Lampung, dst.

“Bagaimana karya seni bisa dijadikan media kampanye dan advokasi bagi perempuan untuk melepaskan diri dari kesenjangan gender dan kekerasan terhadap perempuan?”

Untuk menyebarkan dan menumbuhkan kepedulian. Seni itu menyentuh hati, mestinya. Hati yang bergerak akan sangat kuat dari pada Gerakan tanpa motivasi. Ini peran yang paling kuat dari seni.

Kedua menjadi ajakan. Bagi yang menikmatinya. Ingat satu masa usai konflik sosial di Balinuraga, para seniman berkumpul dan membuat pentas perdamaian. Ini memberi dampak lebih kuat saat diblow up media.

 (Disampaikan pada peringatan Hari Perempuan Internasional bersama Damar, KKPPMP Keuskupan Tanjungkarang, dll, di Gedung DKL 17 Maret 2025.

  

No comments:

Post a Comment