Ari Susiwa Manangisi, KDRT/KTA 150cm X 124cm |
Aku tak menyesal telah melewatkan undangan pembukaan pameran Ari Susiwa Manangisi (71) pada Rabu, 29 November 2023 lalu. Kesempatan sangat menarik sebagai gantinya justru aku dapatkan hari ini, Jumat 1 Desember 2023, persis menjelang sholat Jumat. Tidak sekadar mendapatkan keheningan pameran lukisan seperti biasa yang kusukai, tapi aku mendapatkan bonus ‘pengantar’ sebelum menikmati lukisan-lukisan dalam pameran yang menurut rencana akan diselenggarakan sampai tanggal 9 November 2023 nanti.
Pengantar itu berupa obrolan bersama dengan sang pelukis di pintu masuk pameran di Gedung Dewan Kesenian Lampung (DKL), Kompleks PKOR Way Halim, Bandarlampung. Aku mesti basa-basi menyatakan penyesalanku karena tidak bisa menghadiri acara pembukaan pameran tunggal The Last Limit beberapa hari lalu. Namun dengan sungguh tulus hati aku mengucapkan selamat atas pameran Tunggal yang beliau taja.
Obrolan itu berlangsung sekitar 30 menit, tentang lukisan, sastra, dan kegembiraan-kegembiraan lain. Mengingat waktuku tidak terlalu banyak, menjelang tengah hari aku ijin untuk menikmati lukisan-lukisan. Saat itu pun beliau memberi kode akan segera berangkat sholat Jumat.
Mengikuti hasrat hati, aku memulai dengan melihat selintas lukisan-lukisan. Di bagian depan edaran mata tak menemukan sesuatu yang menyentuh. Aku terganggu dengan tiga karya instalasi yang terpajang di kiri, kanan dan tengah bagian depan ini. Mengamati ketiganya membuatku tidak nyaman, jadi aku berusaha beralih ke lukisan-lukisan, mulai dari sebelah kiri. Lukisan-lukisan seolah berjalan di mata, memberikan sapaan seperti orang-orang di pinggir jalan. Di antaranya ada yang cuek, ada menyapa sekilas dan ada yang meneriakiku untuk menemani, memaksaku terdiam mendengarkan pesan-pesannya.
Satu lukisan langsung menancap begitu aku berbelok, berbalik arah, di sudut sebelah kiri. Lukisan itu didominasi warna merah. Sapuan kuas merupa garis-garis. Juga ada warna hitam tegas yang di mataku tampak menyakitkan. Aku juga menangkap gambar samar yang tertumpuk di baliknya. Judulnya KDRT/KTA, 150 cm X 124 cm. Yang tampak pertama setelah warna merah adalah seraut wajah perempuan muda di sudut bawah kanan kanvas. Perempuan dilukis dengan ekspresi sedih, terancam. Walau sebenarnya setelah aku cermati, wajah si perempuan itu tidak tampak jelas. Tak kelihatan hidung maupun bibir. Pun matanya tertutup. Di atasnya ada gambar raut laki-laki yang sedang berteriak, atau mengancam, atau kesakitan. Pun sebenarnya hanya tampak samar-samar. Di sudut kiri atas ada bayangan tangan sedang mengayunkan golok. Serentang tali jemuran tergantung boneka beruang yang terkulai dan baju yang dijemur. Baju itu tidak mengikat air seperti baju yang sedang dijemur. Tapi baju itu mengikat batu, membebaninya begitu berat hingga koyak, dan seutas tali itu melengkung, atau mungkin lebih tepat disebut patah.
Aku ‘tersandung’ lukisan ini dan makin mendekat. Mengikuti aturan melihat lukisan dalam pameran, aku menahan tangan agar tidak menyentuh kanvas. Menyapu pandang pada seluruh kanvas, aku teringat beberapa perempuan muda yang sedang kutemani dalam beberapa tahun terakhir ini. Perempuan-perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perempuan-perempuan luar biasa yang dipaksa berupaya lebih keras untuk memperjuangkan hidup dan atau mempertahankan hak hidupnya. Beberapa tetes air mata menggembung di sudut mataku. “Karena pengalaman itulah maka aku tersentuh lukisan ini.” Demikian kilasan pikiranku muncul. Aku mengabaikan narasi yang ditulis oleh sang pelukis. Aku tahu persis isinya dalam bahasaku jika membaca KDRT:”Korban kekerasan paling banyak adalah orang-orang harusnya disayang dihormati dilindungi.” Itulah yang muncul dari lukisan ini.
Lukisan adalah sebentuk ekspresi dari pelukisnya. Apa yang sudah dialami Ari atau dilihat Ari atau didengar Ari sehingga warna merah ditorehkannya di seluruh kanvas? Merah, warna darah, memang selalu ada dalam KDRT. Entah secara psikis maupun fisik, kekerasan selalu mengalirkan darah, merah, luka.
Aku melihat lebih detil lukisan KDRT/KTA itu. Mengabaikan perasaanku, aku menemukan beberapa hal yang di satu sisi membuatku bertanda tanya, di sisi lain membuatku lega. Lukisan ini seperti lukisan yang belum selesai! Banyak ruang kosong pada kanvas itu tidak tersapu warna. Goresan sketsa awal jelas masih tampak. Urat-urat kain masih tampak jelas. Torehan begitu tipis. Tapi jelas bahwa Ari sudah menorehkan tanda tangannya di kanan bawah, bahkan dua kali dengan dua warna berbeda, hitam dan kuning muda, sebagai tanda lukisan itu sudah siap. Pertanyan itu: Mengapa?
“Tidak harus selesai. Tidak harus semuanya selesai,” itu kata Ari dalam obrolan kami sebelumnya menanggapi keluhanku terhadap lukisan-lukisan yang kubuat. Aku punya beberapa lukisan dan kubilang semuanya belum selesai. “Ketika luapan ekspresi pelukisnya sudah cukup tertuang, dia bisa hentikan di situ. Belum selesai dalam lukisan itu, dia bisa melanjutkan pada lukisan lain yang mungkin akan dibuatkan.”
Kelegaan itu muncul karena serta merta aku ingat lukisan-lukisanku yang tak selesai. Seperti itu yang kutangkap. Mungkin dalam obrolan dia memang ingin menghiburku atau menyemangatiku supaya melukis lagi. Tapi setelah aku mencermati lukisan KDRT/KTA, aku menemukan bahwa pelukis sudah melakukan tugasnya saat ekspresinya tertuang dalam lukisan walau mungkin secara umum dianggap belum selesai. Ini adalah ruang kebebasan seniman. Ini adalah haknya.
Setitik haru yang awalnya tumbuh karena pesan betapa tragis merahnya kekerasan dalam rumah tangga, menjadi lebih menggembung karena mendapatkan pesan berikutnya tentang ‘kewajiban’ seorang pelukis menuangkan ekspresinya pada coretan. Hmmm, aku memang bukan pelukis tapi toh aku sebenarnya butuh melukis.
“Mengapa kebetulan Yuli bisa melukis dan bisa menulis? Mengapa bukan orang lain yang punya kemampuan itu? Maka harus diekspresikan. Ini jugalah maksud dari pameran. Ekspresi ini bukan untuk sombong tapi untuk berbagi. Supaya orang lain menangkap pesan-pesan dari ekspresi,” tandas Ari dalam obrolan yang segera mencuatkan rasa getir setengah haru malu karena diingatkan untuk bersyukur. Duh.
Aku masih diikat oleh lukisan KDRT/KTA. Saat kakiku sudah bergerak pada lukisan di sampingnya, Sampah, 150 cm X 150 cm, mata dan hatiku masih menancap pada KDRT/KTA. Perbandingan sembrono muncul melihat gagahnya lukisan Sampah, yang dipenuhi warna, padat, dan penuh. Pun tak ada coretan samar. Semua serba tegas dalam lukisan ini. Mungkin proses Ari membuat lukisan Sampah ini lebih lama dibanding KDRT/KTA. Mungkin si pelukis malah tak tahan terlalu lama menggulati lukisan KDRT/KTA karena begitu nyatanya korban yang bisa muncul dari kasus KDRT. Hmmm… saat ketemu lagi aku akan tanya.
Senada dengan KDRT/KTA, sandungan berikutnya pada lukisan Selembar Daun Kering di Atas Sajadah. Sapuan garis. Kayu dan kain di baliknya. Gerakan-gerakan. Dan satu realita mewujud Selembar Daun Kering di Atas Sajadah. Bagiku ini seperti rangkuman dari seluruh yang kudapat dari pameran ini. Lihat narasinya: “Usia Bagai selembar daun kering yang seketika hilang dihempas angin. Meski lama dikurun peribadatan, bukan jaminan sampai di tujuan. Hanya dimensi kelima yang menentukan (D-5 = Izin Sang Maha.”
Aku menutup peziarahan pada pameran ini dengan kembali menyapukan pandangan di ruang luas bagian depan, tempat karya instalasi, lukisan panjang yang jadi bintang dalam pameran ini, dan lukisan-lukisan lain. Kembali aku terganggu dengan karya-karya instalasi. Jelas karya itu direfleksikan dari situasi masa kini. Perang dengan banyak korban di Palestina. Situasi politik yang masih dibungkus lembaran uang korupsi. “Ah, Pak Ari, sayang, sayang sekali. Ruang ekspresi ini dirusak oleh perang dan korupsi. Andai tidak ada perang dan tidak ada korupsi, tentu ruang pameran ini akan menampilkan rupa berbeda. Karya lain yang Pak Ari refleksikan pasti juga akan berbeda.”
Terimakasih boleh menikmati pameran ini dengan merdeka. *** (Yuli Nugrahani)
No comments:
Post a Comment