Monday, November 06, 2023

PILGRIM 2: Juga Mewakili Peziarahan Batinku


Setelah nonton Pilgrim Project 1 pertama kali tahun 2016, aku sudah mengatakan ke sutradara dan penulis naskah teater ini, Ari Pahala Hutabarat: "Terimakasih, aku menikmatinya." Kemarin, Minggu 5 November 2023 aku mengulangi kalimat pendek yang sama usai pementasan Pilgrim #2 di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung. 

Saat nonton pementasan kali ini ada yang agak berbeda. Gedung teater ini sama sekali tak asing bagiku. Sejak masuk Lampung tahun 2000an aku biasa mendatangi tempat ini untuk berbagai macam maksud. Beberapa orang yang kujumpai sebagian kecil adalah orang-orang yang sama yang pernah kutemui puluhan atau belasan tahun yang lalu. Secuil rasa sunyi muncul saat ingat Erwin (Selamat jalan, teman.) Sering perjumpaanku dengannya di tempat ini. Dia itu racun pikiranku, awal kenal kuisi dengan mendebatnya yang kemudian kutahu tak akan pernah menang. Lalu aku mulai menerima dan mengenali cara pikirnya sehingga lebih banyak jadi pemakluman daripada perdebatan. Atau sosok lain, Connie Sema, yang tak banyak ngobrol tapi kami selalu bersapa ramah, sesekali duduk bareng sebentar untuk tanya kabar. Juga ada satu muda penari temperamental, duh sapa namanya (Meninggal secara tragis, Tuhan, ampuni jiwanya.) yang sering kali kuhindari untuk ketemu tapi selalu saja dia datang menyapa. Duh.

Ah, ya. Itu salah satu yang berbeda kali ini. Tak ada lagi Erwin atau Connie atau siapalah itu namanya yang biasa kutemui di Taman Budaya dalam pertunjukan apapun. (Damai dalam Tuhan ya teman-teman.) Tak ada lagi yang bisa diperdebatkan atau juga dimaklumi dari mereka, namun spontan ingat mereka saat masuk gedung teater Taman Budaya Lampung. 

Mau tidak mau kisah Pilgrim yang dibawakan oleh 9 pemain Komunitas Berkat Yakin (KOBER) ini membawaku pada kenangan-kenangan masa lalu. Beberapa orang yang kujumpai sebelum pentas di depan gedung juga menguatkan hal itu. Perubahan fisik kentara nyata. Beberapa tak kuingat namanya. Beberapa orang yang dulu kukenal masih sangat unyu, imut, sekarang sudah tampak dewasa, bahkan ada yang sudah punya anak.

Aku mengawali dengan cara yang biasa. Duduk di undakan parkir persis depan pintu Gedung Teater Tertutup. Beberapa menit sebelum pentas mulai. Cara ini memungkinkanku melihat orang lalu lalang. Juga memberi kesempatan pada siapapun yang mengingatku untuk menyapa atau kusapa.

Pilgrim #2 menggambarkan perjalanan pencarian.Tokoh-tokoh dalam drama ini ditampilkan dalam kegusaran dan penderitaan karena tidak juga menemukan yang dicari. "Berulang kali kehilangan, berulang kali dikhianati pasti membuat kita semua hancur bila kita tak mempercayai bahwa matari sempurna akan muncul dari balik bukit, bahwa bulan jadi sempurna bila dilihat dari beranda rumah, bahwa di dermaga selalu ada satu perahu yang akan membawa kita ke bandar-bandar yang mungkin masih ada di seberang dunia." Teks ini adalah catatan pengharapan. Kata yang digulati oleh semua tokoh dalam drama ini, juga oleh penontonnya. 

Tentu saja sangat wajar manusia naik turun dalam semangat maupun dinamika hidup. Pencarian seperti yang dilakukan para tokoh Pilgrim ini pasti juga dialami semua manusia. Akan lebih kuat jika orang itu membawanya pada kesadaran, ndak sekadar jalan bernafas. Menggali terus menerus asal mula dan arah tujuan hidup. Kadang akan sampai jalan buntu, jalan cabang, jalan berkelok, jalan kembali atau jalan lurus yang menipu. 

Proses mengenali diri sendiri menjadi modal kuat untuk melakukan perziarahan. Bukan hanya modal tapi memang itulah yang harus dilakukan. Itulah PR utama yang harus dilakukan saat kita dipinjami tubuh yang seperti ini sebagai manusia ciptaan. Kenali kesejatian diri, sampai mentok, sampai selesai, saat tubuh diambil lagi, dan jiwa meneruskan penyatuan dengan Sang Pencipta. Dan penggambaran 9 tokoh dalam satu perjalanan peziarahan kurasa tepat. Manusia sendiri tapi dia tak sungguh sendiri, atau kebalikannnya. Manusia bersama orang lain tapi tak sungguh-sungguh dia bersama orang lain. Tetap dalam individunya, pribadinya.

Dengan nonton Pilgrim ini seperti beberapa tahun dulu, aku juga dibawa untuk kembali pada diri sendiri. Merenung-renung perjalanan. Merasa kembali sedih gembira kecewa marah optimis pesimis bergantian. Saat seperti itu, aku tidak memandang Pilgrim sekadar pementasan drama. Beberapa tetes air mata akan muncul. Tawa lebar akan terungkap. Bahkan aku menepuk bahu teman menonton kanan kiriku untuk meredam marah kecewa yang tiba-tiba muncul. Aku menikmati Pilgrim dengan cara demikian.

Kali ini, saat menonton Pilgrim #2 aku menahan beberapa hal yang biasanya muncul saat nonton teater, yaitu mencela-cela kekurangan-kekurangan pementasan. Tapi aku tetap mau  tuliskan di sini beberapa hal yang menggangguku saat pementasan:

1. Suara anak kecil tak mungkin bisa dikontrol. Juga suara-suara dari luar gedung masih juga bocor seperti sejak dulu. Apakah Pilgrim cocok untuk ditonton anak kecil tanpa dia merasa bosan? Mungkinkah ada pembatasan usia orang yang nonton? Apakah anak kecil yang diajak nonton bisa dibantu untuk cinta pada teater sejak dini? Hmmm... untuk mengurangi rasa tergangguku, aku memasukkan suara anak kecil atau suara apapun yang bocor sebagai bagian dari pentas. 

2. Aku melihat beberapa pemain, termasuk GB yang sudah senior, tampak berat dalam beberapa dialog. Seperti ngos-ngosan, belibet, tak terdengar jernih dan tak tampak emosinya. Mungkinkah kalian semua kecapekan karena ini pementasan ke dua? Hmmm.... kaki goyang dalam beberapa langkah pertama di menit awal pementasan entah mengapa selalu menggangguku. Dulu dalam Pilgrim #1 pun itu membuatku risau.

3. Ada yang harusnya ingin kulihat dalam pentas kali ini tapi tak tampak. Yaitu contoh relasi manusiawi yang mungkin saja adalah peziarahan bersama. Mungkin suami istri, atau kakak adik, atau sepasang sahabat. Ada beberapa dialog yang menempatkan kedekatan-kedekatan antar tokoh, tapi hmmm... aku merasa tak terlalu manusiawi. Hmmm... terlalu puitik. Hihihi... apa karena aku terlalu lama ndak nyentuh ruang ini ya? 

4. Aku membayangkan Pilgrim suatu ketika menampakkan kultur tertentu sebagai asal dari tiap tokoh, dengan karakter yang kuat pada tiap sosoknya. 

Kegembiraan lain kudapatkan di meja dekat pintu masuk. Beberapa buku dipajang jual di situ. Aku ketemu buku Kawin Massal masih ada. Senang banget. Langsung kuraup sesuai lembaran yang ada di dompetku. Denmas Hendro langsung menyingkir, kayaknya dia tak mau komentar atas kesenangan yang sudah kudapatkan itu. Dia pasti langsung mikir: "Alamat makan tempe tahu seminggu ini." Hehehe...

No comments:

Post a Comment