Aku ingin bercerita tentang pagi ini karena aku tak mau melupakannya begitu saja. Ibu ingat semalam setelah aku pamit ibu untuk pergi menemani Bito?
"Tentu saja. Kau ndak menghabiskan makanmu. Padahal beras itu toh harus habis juga, Adun. Ndak mungkin ibu buang. Sayang."
"Ya ndak papa bu. Masak saja. Tapi aku ndak mau makan."
Kepalaku kena jitak ibuku dengan keras. Entah mengapa beras dari penggilingan langganan ibu itu memproduksi beras seperti itu. Memang aku juga yang membelinya, hanya 85 ribu rupiah untuk satu karung seberat sepuluh kilogram. Menurut ibu, rasanya cukup enak, hanya banyak sekali kotoran gabahnya dan memiliki aroma yang langu, tidak aku suka. Ibu sudah mengakali dengan memasukkan rempah-rempah saat memasaknya. Tapi kadang-kadang tak ada waktu sehingga apa adanya dimasak.
Usai makan ala kadar tanpa niat, aku pamit ke warung Bito. Menemaninya bekerja artinya ya nongkrong, sesekali membantunya melakukan pekerjaan warung dan kalau ada sisa-sisa makanan aku bisa ikut bersantap makan di sana.
Saat aku sampai di warung, Bito sedang duduk di depan warung.
"Kenapa warung tidak buka?" Tanyaku.
Mata Bito tidak lepas dari HP tapi menjawab cepat.
"Kunciku ketinggalan. Entah ada di mana."
"Gimana sih To."
"Aku juga tidak tahu."
Bito asyik dengan HPnya. Kukira awalnya dia sedang meminta seseorang untuk mengantarkan kunci warung, tapi sampai aku menyelesaikan satu permainan, dia masih asyik dengan HPnya dan tak ada tanda-tanda seseorang datang mengantarkan kunci.
"Jadi buka ndak nih warung?"
"Ndak." Jawaban polosnya membuatku merasa lapar.
"Aduh, To, aku lapar."
"Bentar lagi kita bergeser ke tempat Irpan."
"Oke."
Aku tak ada pilihan. Duduk saja di sampingnya, melirik-lirik chatingnya dengan pacar dan mantan pacarnya secara bergantian.
Kau pasti tanya katanya akan bercerita tentang pagi, kok ini malah bercerita tentag malam. Iya, aku pengin menceritakannya mulai dari situ tapi kupikir-pikir bakal terlalu panjang kalau kuceritakan dari malam. Aku potong saja ya.
Pukul 03.50, masih di teras warung Bito, ada beberapa orang lagi sudah bergabung dengan kami. Tapi itu belum cukup. Beberapa saat setelah pukul 04.00 terlewati, si Kuyi datang. Dari jauh motor bebeknya sudah dapat dikenali karena suaranya yang parah.
Sesampai teras warung, kami melihat dia membonceng dua orang. Satu orang aku mengenalnya, Iga, yang memang selalu ada bersama Kuyi. Yang satu lagi, seorang laki-laki yang langsung berjongkok di aspal, tidak di teras, tapi di aspal. Astaga, Kuyi, siapa ini? Laki-laki berumur sekitar 40 atau 50, tanpa baju, telanjang bulat di tengah udara menjelang subuh.
"Siapa dia, hoi?" Bito yang awalnya tak pernah lepas dari HP, langsung berdiri, memandang takjub pada laki-laki telanjang itu.
"Ndak tahu. Dia tadi ada di pinggir Raden Intan."
Astaga Kuyi. Aku terbengong memandang mereka. "Kau apain dia?"
"Dia sudah begitu. Maka aku bonceng kemari. To, kau nyimpan baju ndak di warung?"
"Ada. Tapi aku ndak bisa masuk. Kunci warung hilang."
"Aidah. Di kamar mandi ada ndak? Kain tah apa tah." Bito lari ke kamar mandi di samping warung. Saat kembali dia membawa kaos hitam lengan panjang.
"Nih, ada baju kotor. Celana tak ada."
"Siapa pakai celana dobel? Lepas." Kuyi memandang sekeliling.
Salah seorang melepas celana panjangnya dan segera disamber oleh Kuyi. Dia langsung memaki karena celana itu langsung dikenakan pada lelaki asing itu. "Bukan yang panjang yang mau kukasih, halah." Terpaksa si baik hati memakai celana boxer saja terduduk lemas.
"Kau orang gila atau pura-pura gila?" Teriak Kuyi ke orang asing itu. Orang itu mengenakan baju kotor Bito dan celana kedodoran hibah, nyengir sedikit lalu bersujud menghadap jalan.
"Fix, dia orang gila." Kata Bito.
"Bukan. Dia pasti pura-pura gila. Wong bersih kayak gitu."
Kuyi mencoba bertanya hal-hal tak masuk akal pada orang itu. Tentu saja jawaban-jawaban pun muncul tak masuk akal.
"Di mana rumahmu, pak?"
Orang itu menggelengkan kepala. Diam dengan wajah mencoba mengingat-ingat sesuatu.
"Guru pertama, harus didatangi setiap hari Jumat." Usai bersuara begitu dia tiba-tiba berbalik seperti hendak lari, sehingga spontan aku dan teman-teman menghadangnya. Tapi dia tidak lari, dia terdiam di pinggir jalan aspal. Untung masih sepi jalan itu. Dengan gerakan mendadak lagi, dia menjatuhkan lutut, hingga berlutut takjim menghadap ke Timur.
"Kenapa kau ini? Pak, duduklah di sana, jangan di jalanan begitu, bahaya pak."
Kami berusaha mengangkat pria itu ke trotoar. Walau dini hari seperti itu jalanan masih sepi, tapi mungkin saja ada mobil atau motor melintas dengan kecepatan tinggi.
"Guru pertama, harus didatangi setiap hari Jumat." Kembali pria itu bersuara, kali ini tidak lari ke jalan tapi dia berdiri membungkuk kemudian merentangkan tangan dengan kaku dan jari jemari tertekuk. Jika tadi kami mendekat saat dia bergerak, kali ini kami spontan menjauh. Posisi itu bertahan beberapa menit sehingga kami ketakutan.
"Pak, santai saja dulu. Mari duduk. Mau makan?" Kupelototi Kuyi, ingin bilang kalau tak ada makanan di antara kami.
Pria itu mengeluarkan suara aneh, awalnya sangat pelan, nyaris tak terdengar, lalu kemudian eraman muncul dengan kuat, sehingga kami semua berlari berhamburan ke segala arah. Hanya sebentar, saat aku berbalik, pria itu duduk ngelesot bersandar pintu warung. "Hoi, kenapa dia hoi?" Seseorang berteriak.
Kami pun mengerumuninya lagi. "Di mana rumahmu? Kami antar kau pulang, pak." Kuyi bertanya dengan berani.
"Tolong buka facebook." Hah, facebook? Kami berpandangan tapi kemudian aku membuka handphoneku, membuka facebook. "Cari nama Kacanebengi. Profile menghadap laut." Walau kami semua heran, aku mencari nama akun itu.
"Benar. Ini dia." Aku berbisik saat mendapatkan foto dia di akun Kacanebengi. Pada post paling akhir ada wajah seorang perempuan, berumur lebih tua dari pria itu, tampak cantik dengan baju warna putih longgar dengan kerudung hitamg.
"Guru kedua, datang setiap matahari bersinar." Dia merentangkan tangan tiba-tiba sehingga seseorang di sampingnya nyaris terjengkang, nyaris, tapi makiannya langsung berbunyi.
Aku mencoba mencari siapa yang biasa kuhubungi dari kontak-kontak dalam facebook itu. Tapi sampai beberapa saat tidak respon. Wajar, hari masih gelap pasti semua orang di rentang waktu Indonesia bagian barat ini pasti masih terlelap dalam pulas.
Pria itu bangkit. "Aku akan pulang."
"Kau tahu ke mana arah pulang?" Kuyi lagi yang bertanya. Pria itu mengangguk, lalu mengucapkan terimakasih. Wajahnya yang tulus membuatku yakin bahwa dia orang gila yang tidak gila.
"Kami antar, pak."
"Tidak usah, aku bisa jalan."
"Kami antar saja. Bapak tinggal arahin kita kemana. Ayo teman-teman."
Kami geleng-geleng. Ini kayaknya memang Kuyi yang gila. Usai nekat mengambil orang telanjang di pinggir jalan, sekarang akan mengantar orang tanpa tahu kemana arahnya. Tapi kami ikut komandonya. Pria itu dibonceng Kuyi diapit teman, bukan teman yang tadi waktu datang, dia sudah kapok. Lalu kami yang lain memakai motor kami masing-masing mengikutinya.
Awalnya rombongan kami itu tidak jelas akan kemana, malah ketika sampai di sekitar Bukit Randu, rombongan kami berputar hingga tiga kali di jalan yang sama. Makian-makian berdengung mengikuti rombongan,sampai kemudian motor Kuyi yakin mantap menuju pasar Tugu, berbelok ke Antasari dan terus lurus ke arah Tirtayasa.
Mereka berhenti di sebuah area parkir mobil-mobil besar. Pria itu mengetok gerbang lebar. Seorang muda keluar dari gerbang itu langsung berteriak. "Dari mana? Kami mencari sepanjang malam. Haduhhh." Pria itu digandeng, nyaris diseret masuk. "Pakde, pakde. Ini Katrok sudah balik."
Seorang laki-laki bersarung tergopoh-gopoh keluar dari sebuah rumah. Dia memberi kode pada pria muda itu untuk masuk. "Mandiin."
Bapak tua, pakde itu, memandang kami, mengucapkan terimakasih. "Kami sudah mencarinya sepanjang malam, untunglah dia selamat. Padahal pintu gerbang sudah dikunci, entah bagaimana dia keluar. Terimakasih ya."
"Dia... " Kuyi yang biasa banyak bicara tak bisa melanjutkan kalimat.
"Ndak, dia tidak gila. Dia sopir truk. Kemarin juga masih nyetir dari Jawa kok. Dia itu ngelmu tapi ndak kuat. Kalau kumat yan seperti semalam itu."
Kami saling berpandangan. Tak tahu harus bicara apa lagi, karena pakde itu hanya mengucapkan terimakasih lagi beberapa kali, dengan gerak tubuh mengarahkan untuk keluar dari garasi mobil truk yang luas itu.
"Kapan-kapan aku ke sini lagi untuk tanya-tanya. Temani ya guys." Usai berkata, Kuyi memakai helmnya dan langsung ngegas, ngacir. Teman yang awalnya dia bonceng teriak-teriak: "Aku sama siapa hoiiii...!!!!"
Kami semua memasang jari miring di dahi, sambil bersamaan menunjuk Kuyi. Salah satu dari kami membonceng teman yang ditinggal Kuyi itu, boncengan bertiga. Matahari sudah mengintip dari Timur. Aku merasa sangat lapar, ingin segera pulang, dan sarapan apa pun yang dimasak oleh ibu. Tentu saja sambil menceritakan kisah gila pagi ini.*** (Ditulis secara bebas dari cerita Albert pada 9 Maret 2022)