Banyak partisipan yang gugur di awal, tidak melanjutkan perjalanan. Ada yang balik turun ada yang mencari jalan lain.
Aku masih bertahan dengan sesekali berhenti atur nafas. Ketika sampai di jalan yang rata menjadi kesempatan untuk bersenang-senang, tapi jangan salah, langsung disambung dengan tanjakan lain walau tak separah tanjakan yang pertama.
Berikutnya lagi ada naik turun yang terus bergantian. Udara cukup sejuk karena banyak pepohonan yang merindangi jalan yang kami lintasi. Ladang-ladang penduduk menjadi harapan semangat, bayangkin mereka yang tinggal di situ setiap kali menikmati tanjakan dan turunan dan jalan seperti seperti itu untuk bekerja. Kami melintas hanya untuk olahraga dan bersenang-senang. Rasa syukur terus menerus terlantun dalam rute ini.Nah ya, peserta memang tak banyak, jadi perjalanan serasa lebih senyap dari biasanya. Mas Hendro tertinggal jauh di belakang bukan karena letoy tapi karena harus menemani dokter Ida, teman yang baru saja kami ajak. Bu Ida sudah pucat pasi setiap kali melihat tanjakan, di satu titik malah sampai muntah. Kita semangati bareng-bareng setiap kali, tapi mas Hendro memang paling cocok untuk menemani. Kalau modelku ya membawa tubuh sendiri saja udah berat. Hehehe.