Seperti niatku awal, tulisan ini kugunakan untuk mengingat percikan-percikan inspirasi yang muncul lewat pementasan X oleh Ayu Permata Sari, Teater Satu, 28 Nopember 2020. Aku ndak mau lupa akan kekayaan yang sudah kudapat lewat kesempatan ini.
Saat aku membayangkan pentas ini di ruang privat, aku mengandaikan si penari melakukannya dengan kostum telanjang, menunjukkan tubuhnya secara utuh dengan kekuatan gerak hidup yang dimilikinya. Pak Iwan Nurdaya yang duduk di sebelahku saat diskusi usai pentas langsung mengingatkan soal estetika Islam yang tidak memungkinkan hal itu dilakukan dalam pentas, walau kemudian semerta ingat kalau yang kuucapkan adalah di ruang privat.
Tapi sebenarnya aku juga berpikir kalau ruang privat itu bisa juga diambil untuk pentas. Misalnya seperti yang pernah dilakukan oleh Marina Abramovic dengan tubuhnya. Aku merespon pak Iwan: "Tergantung kesiapan penontonnya. Kalau penontonnya siap, itu tak apa-apa." Kukira pak Iwan tak sependapat dengan pikiranku itu. Itu bisa didiskusikan lanjut entar oleh siapa pun. Tapi yo mikir soal penonton yang siap itu kan bukan perkara mudah. Hehehe. Wong diminta untuk fokus saat nonton teater, tari atau musik saja juga susah kok.
Ayu mengambil satu gerakan dari Sigeh Penguten yang disebut gerak Samber Melayang. Aku tak paham tari ini dan mendapatkan dari pencarian Google bahwa gerak samber melayang adalah gerak penghubung dari satu gerak ke gerak lainnya yang tidak mempunyai makna tertentu. Tapi toh gerak 'hampa makna' ini harus ada karena kalau tidak ada maka seluruh tarian Sigeh Penguten tidak akan terbentuk.
Ayu mewujudkannya dalam gerak gesekan-gesekan, yang berulang, dari yang paling lembut nyaris tak terlihat hingga sampai pada gerak gesekan yang berbunyi, menghasilkan bunyi dari telapak tangannya, yang beradu dengan telapak tangan yang lain, atau bagian tubuh yang lain. Bunyi itu semakin kuat dibarengi dengan bunyi nafas, yang ritmis terulang. Andai aku tidak fokus, 'gerak hampa' ini bakal membuatku bosan. Ah tidak, aku memang bosan di beberapa bagian karena inderaku sudah terbiasa menuntut gerakan 'luarbiasa' yang memungkinkan bibir bersuara untuk berdecak kagum. Aku tidak sabar menunggu untuk berdecak, berkomentar atas gerak 'hampa' ini. Kalau aku tidak sabar menyelesaikannya bisa jadi yang muncul adalah decak melecehkan: "Tari kok kayak gitu."
Setelah gerak monoton yang sangat panjang, akhirnya Ayu menggerakkan kakinya, tubuhnya, dan gaun yang awalnya kusebut sebagai pengganggu akhirnya membantuku untuk memahami jati dirinya. Awalnya gerak gaunnya itu menutup gerak asli otot-otot kakinya, tapi kemudian lambaian gaunnya itu memperindah otot-ototnya yang bergerak. Dan kubilang ini bukan soal estetika Islam, Katolik atau pagar agama, budaya, dll manapun. Inilah manusia. Manusia yang beruntung dipinjemi tubuh yang mampu bergerak seumur hidupnya lewat hasrat yang terus-menerus ingin berkembang menjadi indah.
Aku terpaku saat Ayu semakin mendekat pada lantai, pada tanah, pada bumi. Sayang gerak ini tidak dieksplore lebih lama sehingga tubuhnya menyatu dengan bumi. Hal itu dilakukan pada bagian-bagian akhir sebelum kembali tegak ingin menyentuh langit dengan jari-jarinya. Kukira kalau gerak 'melekat' pada bumi ini diperkuat, aku pun akan sampai pada klimaksku dibantu oleh pentas ini. Tapi yo ra popo sih. Justru inilah realitas manusia yang diwakili oleh Ayu. Realitas manusia yang selalu pongah padahal lemah, merasa di atas walau terbatas.
Baik sekali pentas ini ditutup dengan perbincangan santai. Mendengarkan banyak pendapat yang muncul dalam perbincangan membuatku semakin kaya dengan energi. Aku merasa sangat penuh sekaligus sangat kosong di bagian ini. Merasa senang bersyukur bisa mendapatkan kesempatan hadir di tempat itu. Itu yang kuungkap ke pengundang, Desi dan teman-teman Teater Satu, juga ke Ayu dan kawan-kawan. Walau ada beberapa titik yang kurasa tidak sesuai dengan ekspektasiku sebelum nonton, tapi aku sama sekali tidak merasakan kekecewaan. Semua terjadi secara tepat, dan membuatku bersukacita.
Dalam kesempatan lain, mungkin bukan Ayu yang akan menolongku untuk memahami yang belum terpahami dalam pentas ini. Atau bisa jadi aku akan bertemu Ayu lagi dalam bentuk pentas yang lain.
Karena itulah aku tak mau lupa tentang pentas kali ini, sebagai tambahan pengalamanku sebagai bagian pembelajaranku. (End)