Ini agenda yang sudah digagas dari tahun lalu. Baru bisa tercapai tahun ini, itu pun setelah perbincangan yang alot, juga debat tempat: Lampung atau Batam, kapan, siapa, dan seterusnya. Akhirnya tercapai deal: 10 - 12 September 2018, Batam.
Aku membantu prosesnya dengan sepenuh hati, dan aku menikmati perjalanan ke sekian kalinya ke Batam. Pertemuan dan pelatihannya sih biasa saja, tapi ada satu yang paling menarik, mengunjungi komunitas basis di daerah Pintu Air, dekat dengan bandara Hang Hadim, masuk ke dalam kebun milik Dinas Kehutanan.
Dari jalan tak kan menyangka bahwa di jalan yang lurus rapi itu ada rumah-rumah yang dihuni oleh penduduk penggarap lahan. Intan yang mengantar kami memarkir mobilnya di pinggir jalan, dan kami mesti jalan kaki masuk lokasi sekitar 300 meter, jalan becek bekas hujan, dan gelap.
Penerangan di rumah-rumah ada, menggunakan genset mini yang dimiliki oleh rumah per rumah. Tempat yang sederhana tapi penuh kegembiraan. Gembira bukan karena situasi mereka yang sederhana, tidakkk, tapi mendapatkan insight baru tentang Batam:
1. Ini Batam lho, tempat bisa menemukan uang karungan. Hohohooo.... jangan percaya.
2. Ini Batam lho, tempat segala gemerlap malam bisa ditemui. Hohohoooo.... jangan percaya.
3. Ini Batam lho, tempat semua tersedia ada untuk tersambung pada dunia. Hohohoooo.... jangan percaya.
Aku pulang ke hotel dengan bekal ubi rebus dari mereka, ditambah sambal matah dan daun singkong rebus. Ohhh...
Wednesday, September 12, 2018
Wednesday, September 05, 2018
Nicolaus Heru Andrianto: Seni Merayakan Hidup
Judul Buku: Seni Merayakan Hidup
Penulis: Fr. Nicolaus Heru Andrianto
Penerbit: Pohon Cahaya, Yogyakarta
Isi: 196 hlm
Ukuran: 13X19 cm
Cetakan I: Juli 2018
ISBN: 978-602-5474-87-3
Ada banyak cara untuk mendapatkan buku gratis. Karena sesekali aku bukan ibu peri tapi preman perempuan, maka aku bisa saja teriak pada seseorang di pintu: "Frater Nico, kau harus berikan bukumu sebagai jatah preman untukku." Sedikit melotot dan mengguncang tangannya, ehemmm.... keesokan harinya sebuah buku pun terlempar di mejaku. Pun buku masih disertai tulisan manis: Salam dan doaku. Hehehe...
Nah, mengapa buku ini kuminati? Aku akan menjawab terus terang sebagai berikut:
1. Aku kenal sang penulis sejak dahulu kala, istilah kata saat masih ingusan. Nicolaus Heru Andrianto bukan orang baru bagiku karena aku mengenalnya saat dia masih berseragam putih biru sebuah SMP di Sidomulyo, Lampung Selatan. Kukira tahun 2005 atau 2006 saat aku masih mengelola Majalah Nuntius. Si Nico remaja itu sering mengirimkan tulisannya untuk Nuntius, juga mengikuti pelatihan nulis atau event dimana aku mudah sekali mengenalinya. Seorang serius yang mengembangkan minat nulisnya dengan sungguh-sungguh.
3. Buku pertama yang dia tulis dua tahun lalu berjudul Memeluk Fajar Perjalanan Hidup Kaum Berjubah dan buku kedua yang diterbitkan tahun ini juga Menulis Feature bagi Aktivis Komsos tak sempat aku tandai. Buku ketiganya ini menarik hatiku dengan judul dan sampul yang meriah: Seni Merayakan Hidup.
4. Lihatlah kata pengantar yang ditulis oleh PC. Siswantoko: "Dinamika hidup bukan hanya rangkaian peristiwa yang tanpa makna tetapi rentetan berbagai pengalaman yang dapat membawa kita untuk tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang utuh. Pengalaman bertemu Tuhan dalam doa dan ibadah, interaksi dengan teman dan tetangga yang berbeda agama, suku, bahasa dan status sosial serta relasi yang harmonis dengan alam sekitar merupakan pengalaman hidup yang sarat akan nilai."
5. Kalimat Rm. Koko itu bisa menjadi gambaran dari buku ini. Apa lebihnya bertemu Tuhan dalam doa dan ibadah? Apa unggulnya berelasi dengan semua orang beda agama, suku, bahasa dan sebagainya? Apa menariknya bersentuhan harmonis dengan alam? Semua orang bisa melakukannya. Namun, Fr. Nico menunjukkan kelebihannya. Dia menulis hal-hal sedeharna dalam hidup sehari-harinya secara sederhana pula sehingga bisa dinikmati oleh siapa pun yang membacanya. Kukira, dia tak hanya mendapatkan satu keuntungan dalam proses menulisnya, tapi banyak. Dia merefleksikan pengalamannya dan dia memaknai hidupnya.
6. Membaca buku ini seperti membaca ungkapan syukur Fr. Nico atas hidupnya. Dan karena ini bentuknya buku, yang tersebar dan dibaca oleh banyak orang, ungkapan syukur itu juga menjadi ajakan bagi semua orang untuk melakukan hal serupa: Mari mensyukuri hidup. Mari merayakan hidup. Karena itulah seni merayakan hidup syarat dengan kegembiraan, bukan hanya karena peristiwa gembira tapi karena segala peristiwa pun selalu punya makna.
7. Hmmm.... ya, pada bagian akhir aku mesti bilang ini: Terimakasih banyak, Fr. Nico. Buku ini pun akan menjadi tepukan di pipiku, untuk mengingat hidup ini sebagai anugrah yang patut dirayakan sepanjang waktu. Tentu, aku mesti bilang juga: Sesekali dalam seumur hidupku, aku adalah preman yang menagih buku di depan pintu. Berikan buku yang berikut padaku!
Subscribe to:
Posts (Atom)