Dari 43.100 hektar luas wilayah hutan Register 45, yang diberikan izin HTI kepada PT Sylva Inhutani, oleh Menteri Kehutanan, sebanyak 4.500 ha diantaranya kini masih dikuasai masyarakat petani penggarap yang berjumlah sekitar 2.000 keluarga. PT Sylva Inhutani adalah perusahaan yang didirikan oleh PT Inhutani dengan PT Bumi Waras dan mendapatkan hak kelola hutan HTI tersebut sejak 1997. Tetapi tidak mampu dan tidak mengelola sejumlah besar lahan sesuatu peruntukan. Ada lahan-lahan yang diterlantarkan atau ditanami tidak sesuai seperti yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 93/Kpts-II/1997SK kepada PT Sylva Inhutani.
Masyarakat Pekat Raya yang menjadi korban penipuan, telah mengalami beberapa kali penggusuran dengan perobohan rumah-rumah tempat mereka tinggal. Hari senin (20 Februari 2006) sekitar pukul 10.00. WIB 74 membongkar paksa rumah dan pondok warga. Perobohan dilakukan oleh puluhan Satpam PT Silva Inhutani yang dikawal petugas Dalmas, Brimob, Koramil Mesuji, Polisi Pamong Praja (Pol. PP), dan Polisi Kehutanan (Polhut). Pengusiran lain juga dilakukan pada 6 November 2006 yang telah merenggut korban jiwa. Seorang perambah tewas dan satu lagi dirawat akibat luka tembak dalam bentrokan.
Pada Februari 2008, penggusuran dilakukan oleh sekitar 300 Satpam, Polisi (Polres) Brimob dan TNI. Pada saat itu ada 150 an rumah dirobohkan. Dan penggusuran selanjutnya dilakukan sekitar 1.000 personil Tim Terpadu pada Februari 2011. Waktu itu, terjadi bentrok yang tidak terhindarkan antar warga dan tim terpadu. Ada 11 petani yang dikriminalisasi dan ditangkap dan ditahan di Polres. Banyak pengungsi waktu itu yang depresi dan diserang penyakit karena bernaung ditempat seadanya. Akibat penggusuran itu, dari 1.200 keluarga, kini 400 an keluarga yang masih bertahan.
Pasca penggusuran, melalui negosiasi Masyarakat Pekat dengan Menpdagri, DPD dan Pemerintah Provinsi, Petani PEKAT sepakat untuk di transmigrasikan ke Kalimantan Barat. Tetapi dalam rentang waktu dimana petani menunggu realisasi transmigrasi tersebut, pada 7 September 2011 sekitar 1.200 personil Tim Terpadu turun untuk merubuhkan rumah-rumah dengan menggunakan 5 eskavator, 2 grader dan 1 sopel dan water cannon.
Pada tengah hari 8 September 2011, semua rumah-rumah warga telah rata dengan tanah, mereka sekarang mengungsi di rumah-rumah ibadah dengan kegetiran yang dalam. Tetapi kemudian rumah-rumah ibadah (Mesjid) diduduki oleh Tim Terpadu dan semua warga dipaksa untuk keluar.
Tidak hanya itu, warga merasakan kepiluan mendalam karena pengeras suara mesjid, karpet, beduk diambil oleh Tim Terpadu. Demikian juga warga mengaku bahwa barang-barang mereka banyak yang telah dijarah oleh oknum-oknum Tim Terpadu.
Mereka harus keluar dan jika ada yang bermalam akan ditangkap atau dinaikkan paksa ke truk dan dilepas di luar area register. Mereka tidak tahu harus pergi kemana, dengan anak-anak mereka yang masih kecil. Akibat penggusuran ini kembali ratusan ibu-ibu mengalami depresi dan kegetiran yang mendalam setelah menyaksikan rumah-rumah mereka di robohkan oleh alat berat.
Menjelang malam, karena ketakutan mereka keluar dan sebagian besar mengungsi ke Moro-moro. Sedangkan 250 an orang mengungsi ke SP3, yakni desa terdekat dari Pekat. Tetapi sejak siang sampai jam 9 malam, tidak ada yang memberikan mereka makanan walau mereka sudah kelaparan.
Melalui press release ini, masyarakat Pekat Raya meminta agar DPR selaku penyampai aspirasi dan wakil rakyat:
1. Meminta Polda dan Gubernur untuk menghentikan relokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, karena akan menambah panjang derita petani di lokasi yang baru. Sebab ada pihak yang ingin merelokasi mereka ke Sungai Gajah.
2. Meminta DPR RI, dalam hal ini komisi III, untuk memberikan perlindungan hukum dengan menyatakan bahwa Masyarakat Pekat Raya adalah Pengungsi Internal yang nasibnya harus dijamin oleh Negara dan Lembaga-lembaga Kemanusiaan. Sebab ada 1.300 jiwa (anak-anak, manula, ibu-ibu, dan beberapa orang sakit) yang sedang terlantar tidak punya tempat tinggal.
3. Menghentikan kriminalisasi dan penangkapan atas orang-orang pekat yang dicap sebagai provokator.
4. Meminta Menteri Kehutanan untuk menghentikan penggusuran-penggusuran yang dilakukan oleh Perusahaan Sylva Inhutani sebab Negara harus lebih menghormati Hak Penggarap daripada Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri. Sebab Hak Penggarap berkenaan dengan keberlanjutan penghidupan rakyat, tetapi HPHTI lebih berkenaan pada penumpukan modal Perusahaan.
***
Siaran pers ini dipersiapkan oleh:
YABIMA Indonesia dan AGRA Lampung
Tlp/Fax: 0725 42872
No comments:
Post a Comment