Monday, November 23, 2009
Wednesday, November 18, 2009
Tolol
Aku adalah orang tolol. Yang tersenyum pada tembok yang berjalan ke arahku, siap untuk aku tabrak. Sungguh telah aku tabrak dan aku belum sadar juga bahwa tembok itu penuh dengan paku, melukaiku. Aku tidak sadar bahwa tubuhku sudah berdarah saat aku menyentuk tembok itu bukan hanya saat sekarang ini ketika aku terjepit di antaranya. Yah, tolol sungguh aku yang mengira bahwa aku memegang cermin dengan bayangan di belakang saja. Tidak, aku sungguh-sungguh dihancurkan oleh tembok berpaku yang saat ini menjepitku.
Aduh, betapa tololnya aku. Dan lebih lagi ketololan itu ketika aku tidak juga beringsut mencari jalan keluar, malah menancapkan paku-paku semakin dalam ke kulitku. Aku membiarkan diriku jadi tolol.
Aduh, betapa tololnya aku. Dan lebih lagi ketololan itu ketika aku tidak juga beringsut mencari jalan keluar, malah menancapkan paku-paku semakin dalam ke kulitku. Aku membiarkan diriku jadi tolol.
Tuesday, November 17, 2009
Umbrella
Aku punya payung yang dengan sangat terpaksa aku kembangkan. Ini karena hujan yang bertubi. Ah, ya teman, betul katamu, aku adalah penyuka hujan. Ah bahkan lebih dari itu, aku cinta hujan. Tapi ternyata aku butuh payung jika hujan-hujan mulai menyakitiku. Yah, aku perlu payung yang mengembang. Melindungi dari sakit karena hujan yang bertubi.
Thursday, November 12, 2009
Apa mauku?
Setelah ribut sibuk menyebutkan sekalian keinginan yang berhamburan di pikiranku aku terdiam oleh pertanyaan :"Lalu, apa maumu?"
Apa mauku? Terdiam panjang... lalu aku putuskan dengan gelengan kepala. Aku tidak tahu.
(Tak satu katapun bisa menjawab pertanyaan semacam itu. Sekali ini aku menyesal telah menjadi perempuan yang biasa mengandalkan rasa, yang ternyata pun jadi pengkianat utamaku.)
Apa mauku? Terdiam panjang... lalu aku putuskan dengan gelengan kepala. Aku tidak tahu.
(Tak satu katapun bisa menjawab pertanyaan semacam itu. Sekali ini aku menyesal telah menjadi perempuan yang biasa mengandalkan rasa, yang ternyata pun jadi pengkianat utamaku.)
Friday, November 06, 2009
Kehujanan
Semalam aku kehujanan. Aku menggigil di depan anugerah besar. Menangkupkan tangan erat-erat di badanku, mencoba mencari kehangatan dari tanganku sendiri. Beberapa tetes di pipiku sebagian masuk ke bibirku. Mengingatkanku bahwa aku sangat haus. Aku ingat ada botol air minum di tasku, tapi ternyata tak ada lagi isinya.
Apa yang mesti kupikir? Bagaimana aku bisa pulang? Aku menatap beberapa sudut ke atas. Di kamar mana ada kehangatan yang masih boleh aku rasa? Aku menampar daguku keras-keras mengingatkan diri bahwa tak ada lagi lembaran-lembaran merah atau biru untuk menukar kehangatan itu.
"Dan itu bukan rumahmu!!"
"Iya, itu bukan rumahku. Tapi aku belum bisa pulang dalam hujan seperti ini."
"Duduk saja di sini."
Dia yang tak terlihat wajahnya, menarik dari jongkokku untuk duduk di jok Mioku. Dia melingkarkan lengannya di pinggangku dan membenamkan tubuhnya dalam memoriku. Aku menari-menari dalam khayali bersamanya, tak hirau lagi hujan menderu di sekitar. Hanyut dalam waktu sambil menunggu hujan reda.
Dia yang tak terlihat wajahnya, menyentuhku dengan seluruh rasa yang mungkin pernah ditawarkan waktu padaku dulu. Dia menemaniku menikmati dingin dan hujan. Hanyut dalam waktu sampai hujan reda.
"Hei, jangan pergi. Ehm...paling tidak katakan siapa namamu sebelum kau pergi."
Aku menahannya ketika waktu sudah mengusirku dari kubangan hujannya. Dia yang tak terlihat wajahnya menoleh padaku, dengan senyumnya yang merekah dan menyebut namanya halus.
"Rindu."
Apa yang mesti kupikir? Bagaimana aku bisa pulang? Aku menatap beberapa sudut ke atas. Di kamar mana ada kehangatan yang masih boleh aku rasa? Aku menampar daguku keras-keras mengingatkan diri bahwa tak ada lagi lembaran-lembaran merah atau biru untuk menukar kehangatan itu.
"Dan itu bukan rumahmu!!"
"Iya, itu bukan rumahku. Tapi aku belum bisa pulang dalam hujan seperti ini."
"Duduk saja di sini."
Dia yang tak terlihat wajahnya, menarik dari jongkokku untuk duduk di jok Mioku. Dia melingkarkan lengannya di pinggangku dan membenamkan tubuhnya dalam memoriku. Aku menari-menari dalam khayali bersamanya, tak hirau lagi hujan menderu di sekitar. Hanyut dalam waktu sambil menunggu hujan reda.
Dia yang tak terlihat wajahnya, menyentuhku dengan seluruh rasa yang mungkin pernah ditawarkan waktu padaku dulu. Dia menemaniku menikmati dingin dan hujan. Hanyut dalam waktu sampai hujan reda.
"Hei, jangan pergi. Ehm...paling tidak katakan siapa namamu sebelum kau pergi."
Aku menahannya ketika waktu sudah mengusirku dari kubangan hujannya. Dia yang tak terlihat wajahnya menoleh padaku, dengan senyumnya yang merekah dan menyebut namanya halus.
"Rindu."
Subscribe to:
Posts (Atom)