Beberapa hari ini aku sakit. Sekarang pun masih sakit. Tidak tentu rasanya. Awal-awal kepalaku seperti diberi pemberat dari baja puluhan kilogram. Berat. Bergerak sedikit saja berdenyut keras tidak tertahan. Periksa tensi di Klinik Xaverius memang rendah tekanan darahku. Maka resepnya : vitamin, makan banyak dan tidur banyak. Tidak berubah juga. Lesu, tidak semangat, pengin tidur saja, tidak bisa kena air (jika mandi pake air dingin sakit hingga ke tulang seperti ditusuk sejuta jarum beku). Kedinginan, berkeringat, pengin muntah, sakit tenggorokan, ... entahlah. Semua terasa tidak enak.
Tentu saja aku masih beraktifitas kesana kemari. Pekerjaan Nuntius tidak bisa ditunda, agenda terkait APP banyak, antar jemput Albert, dll. Tapi aku ngerasa yang paling sakit adalah otak dan hatiku. Terbukti aku bisa melakukan banyak kegiatan tapi aku tidak bisa menggunakan otak dan hati.
Thursday, March 13, 2008
Tuesday, March 11, 2008
Bilik Pengakuan
menangis di pojok bilik pengakuan
adalah pesakitan yang siap menerima eksekusi
tak ada pembelaan karena lumuran dosa memang terlihat
tidak perlu bukti atau saksi
hanya berkaca pada pada hati
tapi tidak ada besi parang suntik listrik kematian
yang ada adalah berkat dan pengampunan
'lantunkan iman, pengharapan, kasih
doa sempurna dengan bimbingan Bunda'
aku bersimpuh dalam puji
tak kunjung henti
adalah pesakitan yang siap menerima eksekusi
tak ada pembelaan karena lumuran dosa memang terlihat
tidak perlu bukti atau saksi
hanya berkaca pada pada hati
tapi tidak ada besi parang suntik listrik kematian
yang ada adalah berkat dan pengampunan
'lantunkan iman, pengharapan, kasih
doa sempurna dengan bimbingan Bunda'
aku bersimpuh dalam puji
tak kunjung henti
Saturday, March 01, 2008
Jaman Dulu di Sembak
Aku lahir di dusun Sembak, desa Grogol, kabupaten Kediri, propinsi Jawa Timur, negara Indonesia. (Ibu Sudiati dan Bapak Samiran) Sembak ini tempat yang cukup ramai sejak mulanya. Pasalnya, dusun ini merupakan jalan penghubung bagi beberapa desa di sekitarnya untuk menuju ke Pasar Gringging, pasar yang paling besar di kecamatan itu. Maka ketika pagi belum menjelang, dengan mata setengah merem belum bangun, suara kaki para petani dan pedagang beradu di jalan berbatu depan rumah. Suara lain yang masih aku ingat adalah suara decit kerenyit bambu yang dipakai untuk memanggul sesuatu. Engket, engket, engket....dengan irama yang tetap seturut langkah yang memikul. Subuh tidak pernah kelihatan karena aku sangat jarang bangun pagi. Bapak-ibu juga tidak pernah biasa bangun pagi. Kerepotan rumah biasanya baru mulai setelah jam 06.00. Itupun kayaknya dengan terpaksa, karena bapak ibu mengajar di sekolah sedang anak-anak harus sekolah.
Sore hari jalanan depan rumah juga riuh. Tiap hari adalah iring-iringan orang yang membawa hasil bumi, daun jati (pembungkus utama untuk makanan dan sayuran), kayu, dan sebagainya. Khususnya jika menjelang hari pasaran, hari ramainya pasar.
Lebih ramai lagi ketika tahun 80-an jalan depan rumah itu diaspal. Kemudian listrik mulai ada. Suara pejalan kaki hilang diganti dengan sepeda motor dan mobil. (Hingga kini semakin bising saja depan rumah itu)
Ada beberapa warung makanan yang menjadi langganan. Setiap pagi, kami sekeluarga waktu itu punya menu sarapan yang hampir selalu sama. Pilihannya hanya sambel pecel atau sambel tumpang, mbah Ni atau yu Bin. Jarang muncul menu lain. Sesekali ibu akan bikin tahu kecap atau telor ceplok. Tapi sangat jarang.
Biasanya aku atau Yeni bergantian yang bertugas membeli sarapan. (Mbak Lis lebih sering tinggal dan mbantu mbah di sebelah ketimbang di rumah) Sebelum aku suka pedas, aku paling suka nasi diberi sesendok sambel pecel atau tumpang, tanpa daunan, dimakan dengan peyek yang jarang-jarang ada kacangnya dan krupuk. Dan disuapin. (Disuapi tuh bisa menambah rasa enak pada makanan. Kenapa ya?) Agak besar dikit, aku suka dengan daunan yang banyak sesekali ditambah irisan tempe goreng atau tahu goreng.
Makan siang sangat variatif. Ibu biasanya masak kilat setelah pulang ngajar. Sayur bening, asem, sop, terik, tumis, lodeh dll. Botok, perkedel, dll. Tahu, tempe, ikan, telur. (Ketika mulai trend ayam potong, tambah satu menu yang sering, ayam goreng, atau ayam sayur. Dulunya sih ayam nih sangat mewah. Dimasak hanya kalau ada hajatan atau ayamnya simbah ada yang klepek-klepek kena penyakit.) Jika ibu tidak sempat memasak, ada makanan yang sangat khas bisa dibeli di bakul ethek (tukang sayur). Dibungkus daun pisang kecil-kecil ada dendeng ragi, dan sayur kikil. (aduh, aku bisa mencium baunya sekarang ini) Sesekali ada yang namanya menjeng. Kayaknya dari kacang kedele yang diapain gitu. Atau sisa ampas apa gitu. Ampas kecap mungkin. Sebenere sangat bau dan tidak memakai bumbu apapun kecuali garam, tapi rasanya waktu itu enak sekali.
Pilihan untuk makan malam adalah makanan yang ala kadarnya sisa yang dimakan siang atau makanan super mewah karena masak nasi goreng, mi rebus atau goreng atau beli di warung. Ini menu-menu yang menyenangkan.
Makanan-makanan selingan banyak sekali. Ada penjual gorengan yang disunggi yang sesekali lewat sore hari. Kadang membawa getuk dibungkus daun pisang. Ada opak kali dengan petis hitam yang amis pedas. Ada cenil panjang-panjang ditambah klepon. dll. dll. Aku bisa meledak sendiri jika ingat makanan-makanan seperti itu. Pengin! Pengin balik ke masa kecil!
Sore hari jalanan depan rumah juga riuh. Tiap hari adalah iring-iringan orang yang membawa hasil bumi, daun jati (pembungkus utama untuk makanan dan sayuran), kayu, dan sebagainya. Khususnya jika menjelang hari pasaran, hari ramainya pasar.
Lebih ramai lagi ketika tahun 80-an jalan depan rumah itu diaspal. Kemudian listrik mulai ada. Suara pejalan kaki hilang diganti dengan sepeda motor dan mobil. (Hingga kini semakin bising saja depan rumah itu)
Ada beberapa warung makanan yang menjadi langganan. Setiap pagi, kami sekeluarga waktu itu punya menu sarapan yang hampir selalu sama. Pilihannya hanya sambel pecel atau sambel tumpang, mbah Ni atau yu Bin. Jarang muncul menu lain. Sesekali ibu akan bikin tahu kecap atau telor ceplok. Tapi sangat jarang.
Biasanya aku atau Yeni bergantian yang bertugas membeli sarapan. (Mbak Lis lebih sering tinggal dan mbantu mbah di sebelah ketimbang di rumah) Sebelum aku suka pedas, aku paling suka nasi diberi sesendok sambel pecel atau tumpang, tanpa daunan, dimakan dengan peyek yang jarang-jarang ada kacangnya dan krupuk. Dan disuapin. (Disuapi tuh bisa menambah rasa enak pada makanan. Kenapa ya?) Agak besar dikit, aku suka dengan daunan yang banyak sesekali ditambah irisan tempe goreng atau tahu goreng.
Makan siang sangat variatif. Ibu biasanya masak kilat setelah pulang ngajar. Sayur bening, asem, sop, terik, tumis, lodeh dll. Botok, perkedel, dll. Tahu, tempe, ikan, telur. (Ketika mulai trend ayam potong, tambah satu menu yang sering, ayam goreng, atau ayam sayur. Dulunya sih ayam nih sangat mewah. Dimasak hanya kalau ada hajatan atau ayamnya simbah ada yang klepek-klepek kena penyakit.) Jika ibu tidak sempat memasak, ada makanan yang sangat khas bisa dibeli di bakul ethek (tukang sayur). Dibungkus daun pisang kecil-kecil ada dendeng ragi, dan sayur kikil. (aduh, aku bisa mencium baunya sekarang ini) Sesekali ada yang namanya menjeng. Kayaknya dari kacang kedele yang diapain gitu. Atau sisa ampas apa gitu. Ampas kecap mungkin. Sebenere sangat bau dan tidak memakai bumbu apapun kecuali garam, tapi rasanya waktu itu enak sekali.
Pilihan untuk makan malam adalah makanan yang ala kadarnya sisa yang dimakan siang atau makanan super mewah karena masak nasi goreng, mi rebus atau goreng atau beli di warung. Ini menu-menu yang menyenangkan.
Makanan-makanan selingan banyak sekali. Ada penjual gorengan yang disunggi yang sesekali lewat sore hari. Kadang membawa getuk dibungkus daun pisang. Ada opak kali dengan petis hitam yang amis pedas. Ada cenil panjang-panjang ditambah klepon. dll. dll. Aku bisa meledak sendiri jika ingat makanan-makanan seperti itu. Pengin! Pengin balik ke masa kecil!
Subscribe to:
Posts (Atom)