Judul buku: Sihir Lelaki Gunung; sebuah kumpulan sajak
Penulis: Muhammad Harya Ramdhoni
Desain Cover: Sunlie Thomas Alexander
Foto Cover: Eka Fendiaspara
Tata Letak: Ladang Art Studio
Penerbit: Ladang Publishing, Yogyakarta
Cetakan pertama: 2018
Isi: xii+118 halaman
Ukuran: 13X19 cm
ISBN: 978-602-1158-23-4
Buku ini aku terima dari penulisnya beberapa bulan yang lalu. Maafkanlah, buku ini sampai lecek kubawa ke mana-mana. Dan tragisnya tak juga kubaca satu puisi pun yang ada dalam buku ini. Lihat sampulnya yang sampai tergores-gores, karena kubawa ke Tanjungpinang, Batam, Padang, lalu terakhir kemarin Malang dan Surabaya. Duhai, saat menunggu pesawat yang membawaku ke Lampung itulah kubuka secara acak buku ini sampai pada halaman 51:
NYEKAR
: Mbah Kung R. Soetanto
Mbah Putri DRA. Koemini Ismari
sepenggal waktu membawa diri menuju tempat bermula. sebuah kota di bengawan dan kisah dua makam tak terukir dari batu pualam berwarna jingga. di sana terbaring jasad kakeknda dan nenekda. setia menimang diri dalam hening, dalam cinta tulus tak terbayar. "aku menjengukmu mbah kakung, mbah putri," kata lelaki muda dengan suasana hati gembira namun takzim. disimpan baik-baik tangisnya, mengingat kasih sayang dan kemanjaan kala balita. namun air matanya akhirnya titik. saat sadar jasad keduanya telah lama tergelar di dalam tanah. tiga puluh tahun bukan sebentar. sementara lelaki muda hanya punya segenggam doa. di sore hari seiring ia bergumam lirih,"selamat petang, solo. aku kekal mencintamu."
Solo, Jawa Tengah & Bangi, Malaysia, 4 & 17 Januari 2014
Aku masih mengulang-ulang puisi ini sampai siang ini saat aku menuliskannya di blog ini. Puisi, hmmm... sebenarnya aku tergelitik ketika menyebut tulisan ini sebagai puisi. Ini kayak bukan puisi. Sepertinya aku bisa menyebutnya juga sebagai prosa. Pertama-tama, lihat caranya menuliskannya. Dhoni tidak membuat bait-bait sajak. Dia menuliskannya dalam satu alenia panjang terdiri dari 12 kalimat. Sebagian di antaranya kalimat lengkap, memiliki subyek, predikat, obyek dan keterangan. Sebagian yang lain dia abaikan subyeknya, atau predikatnya.
Pun aku bisa melihat setting waktu dan tempat. Juga sebuah alur yang memberikan gambaran sebuah kisah. Judulnya sih Jawa banget: Nyekar. Berasal dari kata sekar. Menabur sekar di makam. Artinya mengirim doa untuk orang yang sudah meninggal. Dan Dhoni menyebut dua orang yang dikunjunginya: Mbah Kakung R. Soetanto dan Mbah Putri DRA. Koemini Ismari. Dua orang dekatnya itu dikenangnya dalam Nyekar-nya.
Mengapa puisi ini langsung nanjap di hatiku saat aku membacanya di Bandara Juanda? Karena beberapa saat setelah rapatku di Malang, aku sempat mampir di Kediri, rumah bapak ibuku. Memang aku tidak ada waktu untuk nyekar ke makam mbah kakung dan putriku, tapi setiap datang ke rumah Kediri, wajah ibu dan seluruh rumah spontan membawaku pada mbah kakung dan putriku. Terlebih secara khusus saat aku ada di ruang makan, aku mengamati beberapa jenak foto keluarga: Mbah Kung dan Putri, lima anaknya termasuk ibuku saat masih berusia sekitar 7 tahun (sayang aku ndak motret foto jadul itu). Aku pun jadi merasa sangat rindu kembali pada Kediri, pada Kung dan Uti, juga seluruh kenangan bersama mereka saat aku masih kecil. Dan kurang ajarnya, jika rindu macam gitu, hidungku ini selalu jadi tombak cucukan. Jadi kecium-cium makanan-makanan masa lalu. Botok luntas yang pedes dimakan pakai peyek teri. Sambel pecel yang disiramkan pada nasi dan sayuran, dimakan saat masih nasi hangat dengan lauk kerupuk. Rujak cingur yang kenal warna hitam. Duhhh.... kurang ajar sungguh buku ini.
Iya sih, ingatan yang muncul akibat Nyekar ini memang bukan hening seperti Dhoni menuliskan penutupnya: Selamat petang, solo. aku kekal mencintamu. Disertai doa dan air mata. Puisi ini memunculkan 'aroma' kerinduanku yang memang didominasi hidung lalu berangsur ke lidah. Makanan-makanan yang pernah kukecap bersama Kung dan Uti-ku. Dan kalau sudah dua indera ini berkolaborasi, duhhh...
Siang ini aku mengulang-ulang lagi puisi 12 kalimat ini. Lalu secara cepat aku memindai lembar-lembar Sihir Lelaki Gunung. Dhoni memang sedang menuliskan dirinya! Lihat puisi-puisi dalam buku ini. Dia memisahkannya menjadi bagian-bagian: Sakala Baka, Isana dan Mataram, Kenangan yang Tersembunyi, dan Tentang Hidup. Lampung dan Jawa dia padukan dalam buku ini. Dua jalur leluhurnya itu dia lukiskan dalam kalimat-kalimat. Tentang Sakala Baka: "Tempat kebaikan dan kejahatan berseteru selama ribuan tahun." Tentang Isana dan Mataram: "Jalan keris dan berkubang darang adalah istiadat mereka!" Tentang Kenangan yang Tersembunyi: "Tak semua insan sanggup menyimpan dengan tenang setiap penggal kenangan." Dan Tentang Hidup... Ahaiii... Dhoni mengambilnya dari Gie: "Nasib terbaik adalaht idak pernah dilahirkan."
Dhoni tidak mampu menggambarkan seluruhnya tentang leluhur dan hidupnya, tapi tulisan-tulisan yang dia sebut sebagai puisi dalam buku ini menjadi upayanya untuk menghormati kehidupan, generasi sebelum dirinya, leluhurnya, peziarahannya dan juga cintanya pada 'manusia', yang diawali dengan cintanya pada 'diri sendiri'. Maka tepat sekali kalau di halaman awal buku ini dia menulis: untuk saya, sakala baka dan surakarta hadiningrat.
Aku senang mendapat buku ini, Dhon. Aku akan meneruskan membaca puisi-puisi yang lain dalam buku ini. Dan tentu saja, nunggu buku yang lain darimu. Selamat ya.