Ada seorang pengemis yang aku temui saat aku beli nasi pecel di pasar Pasir Gintung hari ini. Tidak kulihat sama sekali wajahnya. Hanya telapak tangannya yang mengatung di depan badanku entah diangsurkan untuk siapa karena banyak orang di sekitarku. Aku tidak berniat memberi bahkan berniat mengusirnya. Tapi tidak ada kata-kata dari mulutku. Aku hanya melihat telapak tangan yang sudah keriput menghitam. Tidak ada suara juga darinya. Tapi dia pasti sudah usur dan lama menyusuri jalan-jalan di belahan dunia ini. Aku membeli nasi pecel 7000 rupiah dan sisa kembalian 13 ribu langsung masuk ke kantong jaketku. Aku tidak ingin memberinya.
Aku lalu buru-buru mengambil Mio-ku yang aku parkir di sekolah Albert. Pergi dengan cepat hanya sempat senyum dengan bapak-bapak teman Albert yang nongkrong di parkiran. Mampir ke Indri karena dia ada cabe dan rampai banyak. Separo diberikan untukku.
Ketika lewat jalan dekat kantorku, seorang pengemis tua (apakah sama dengan yang di pasar? Tidak mungkin!)sedang duduk di pinggir jalan. Tangannya menopang punggungnya yang renta sehingga dia bisa menyender di pagar orang. Aku hanya berpikir, aku akan tunggu kesempatan ketiga! Coba bebalnya hatiku! Padahal di seluruh tubuhku semua hasil pemberian orang, dan aku tidak mau memberi orang lain.
Dan kini sambil duduk depan komputer aku ngetik dengan kekenyangan karena sebungkus nasi pecel nikmat seharga 3000 rupiah dengan pikiran tak mau berhenti dari pengemis tua renta yang mungkin belum makan sejak kemarin!