Wednesday, June 25, 2025

GOWOK

 Kata gowok itu terlalu kasar kayaknya di telinga orang yang lemah lembut seperti aku. Hehehe. Aku bertanya pada 10 orang: "Menurutmu film Gowok itu film romantis, sejarah, horor, komedi atau kriminal?" Tujuh orang diantaranya mengatakan itu film horor. Selebihnya ragu-ragu tapi akhirnya menyebut bahwa itu film kriminal atau komedi.

 Jadwal dan Harga Tiket Film Gowok Kamasutra Jawa di Bioskop Surabaya

Dalam ingatanku, kata gowok kukenal pertama kali dalam novel Ahmad Tohari: Ronggeng Dukuh Paruk. Kesan utamaku terhadap kata ini adalah romantisme. Atau sesuatu yang membawa pada khayalan tentang berhubungan seksual secara indah. Gowok dalam Ronggeng Dukuh Paruk juga dituangkan secara komedi, lucu, dalam pembacaanku.

Nah, lalu bagaimana dengan Film Gowok Javanese Kamasutra yang disutradarai Hanung Bramantyo tayang di bioskop tahun 2025 ini? Aku tidak puas dengan film ini. Hmmm...

1. Judul yang ditampilkan itu berlebihan Gowok Javanese Kamasutra. Menurutku Gowok tak bisa disebut sebagai Javanese Kamasutra. Gowok pernah dilakukan pada suatu masa oleh kelompok tertentu saja di Jawa Tengah. Dalam tradisi Jawa secara umum, Gowok bertentangan dengan nilai-nilai kejawen. 

2. Film ini membuyarkan kesan pertamaku terhadap kata gowok yang kudapat dari Ronggeng Dukuh Paruk. Lewat novel itu, aku merasakan romantisme komedi karena memang tokoh yang ditampilkan dalam novel membawaku tersenyum sedikit miris. Dalam film ini, aku melihatnya sebagai tragis. Terlalu banyak kekerasan kesadisan ditampilin.

3. Harusnya ada pesan indah yang bisa disampaikan lewat film ini tapi tidak muncul. Kayaknya aku tidak pas menonton film model gini. Capek. Padahal ada banyak nilai yang sangat mungkin bisa disajikan apalagi kalau ini mau disandingkan dengan Kamasutra.

Tentang pemain, hmmm, awalnya aku kira Reza Rahardian yang akan jadi tokoh utamanya. Si Reza ini yang menjadi alasan utamaku nonton film ini. Ternyata Reza tampil sangat sedikit di bagian akhir film, tapi justru membuatku lega. Dia tampak tua memang cocok untuk dipasang sebagai tokoh utama di bagian akhir. Porsi yang tepat untuk dia. 

Sunday, June 22, 2025

BATAS DAN BEBAS PADA TORSO AYU PERMATA SARI

Pentas TORSO kunikmati dari awal sampai akhir dengan beberapa pikiran dan perasaan yang berubah-ubah. Saat memasuki gedung pentas Dewan Kesenian Lampung (DKL), Sabtu 21 Juni 2025, tanpa tahu apa yang sedang dipersiapkan untuk dipentaskan, ekspektasi memenuhi kepalaku. Tentu ekspektasi itu adalah gambaran ideal sebuah pementasan tari oleh Ayu. Aku mengenali beberapa tarian Ayu dan spontan gambaran semacam itulah yang menancap, disertai: "Tarian Ayu yang terakhir kulihat sudah beberapa tahun lalu, pasti ada yang meningkat kali ini." Mungkin saja ini sambungan dari X yang pernah kutulis di sini dan di sini pada November 2020.

Lingkaran putih di panggung sebelah kiri, statis dengan sosok Ayu yang samar-samar terlihat berbaju merah. Di sisi kanan, torso berbalut putih bergerak, meliuk dan bergetar. Lingkaran diam lebih menarik perhatian karena aku penasaran, apa yang bisa dimunculkan dari sana. Sedang gambar torso bergerak menayangkan citra yang sangat biasa, lenggok tubuh bagian dada, pinggang, perut, pinggul dan pantat.

 Gerak Ayu dalam lingkaran mengalir secara wajar serupa pengenalan pada gerakku sendiri, yang terus berkembang, bertumbuh seturut pertambahan umur, pertambahan pengalaman, pertambahan perjumpaan. Saat masih bayi aku bisa meringkuk atau kemudian berbaring menggerakkan kaki tangan hanya di tempat aku diletakkan, saat ini aku yang sudah sudah 50 tahun lebih mampu berpindah tempat bergerak lebih jauh. Dari bayi sampai saat ini, ada proses bertahap yang kulalui.

Tahapan gerak itulah yang muncul di babak awal. Dari gerak sederhana monoton, gerak menjadi semakin rumit, tapi sebagian gerak itu tampak canggung eh apa ya kata yang tepat, hmmm tampak pada wajah murung, kaku, mungkin karena tertahan oleh ketidaksukaan, oleh dorongan supaya tetap dalam kepantasan, keraguan, kesedihan, kemarahan terpendam, juga tertahan oleh lingkaran batas yang dipasang entah oleh siapa. Mungkin oleh orang lain, banyak orang, atau oleh tak siapa pun, alias Ayu sendiri.

Keberanian untuk melintas atau menerjang, ah tidak, bahkan menghancurkan batas lingkaran mengawali babak selanjutnya dalam perkembangan gerakan tubuh. Gerakan ini mewakili banyak kisah perempuan yang berjuang untuk mendapatkan haknya, bahkan perjuangan untuk mendapatkan perlindungan. Yap. Lingkaran batas ternyata bukan tempat aman bagi perempuan. Lingkaran batas bisa merupa ancaman, pengekangan, pelabelan dan penghentian langkah perempuan. 

Mungkin aku berlebihan, tapi simbol itu yang tampak dalam tendangan dan ayunan kaki Ayu. Semerta ekspresi wajah menjadi lebih kaya. Ada senyum, ada tawa, ada tangis, ada tekat bulat. Lingkaran yang terbongkar membuat gerak tubuh menjadi lebih bebas. Cercaan pasti muncul karena runtuhnya batas selalu menyisakan bekas. Gerak tak lagi rapi. Tubuh yang biasanya tegak dipaksa untuk tetap elegan dalam tatapan mata banyak orang, menjadi kotor penuh debu, sanggul terlepas, baju pembungkus tak lagi penting dipertentangkan. Tapi:"Tanpa batas lingkaran, panggung kukuasai." Dan Ayu bergerak bebas menguasai panggungnya.

Perempuan seperti semua manusia yang lain akan terus dalam proses pencarian selama nafas masih terhembus dalam tubuhnya. Pencarian itu akan membawanya menghadapi banyak hal. Ayu dalam Torso dihadapkan pada kultur perempuan Lampung yang mesti tegak menjunjung sigernya yang berat serta menjaga penghias tubuh bahkan hingga ujung-ujung jari. Khalayak memakainya sebagai ukuran keindahan/kecantikan perempuan. 

Gerak bebas tanpa batas pasti melemparkan siger itu dari kepala dan akan merontokkan seluruh perhiasan-perhiasan yang dilekatkan pada tubuhnya oleh siapa entah, mungkin orang lain, banyak orang, atau oleh tak siapa pun, alias Ayu sendiri. Masih cantikkah dia tanpa penghias tubuh itu? Hinaan apa yang dilontarkan padanya ketika seluruh hiasan itu lepas? Haruskah kecantikan dari tembaga dan gemerincing buatan itu terus disematkan pada perempuan? Bukankah dia sejatinya diciptakan cantik dengan mahkota martabat dan hiasan ketulusan hasil pengolahan pengalaman hidupnya?

Kata kunci yang tak kutemukan pralambangnya dalam Torso atau mungkin kulewatkan karena ketidakpekaanku adalah kata negosiasi. Negosiasi muncul dalam perbincangan usai pentas, dimunculkan oleh Ayu, Rio, Gelar, Nia dan Nabila, tim utama pementasan ini. Negosiasi bisa muncul saat ada banyak pihak berada dalam satu perjumpaan perbincangan, diwakili oleh 5 orang yang berbeda ini dalam proses penggarapan karya. Sedang dalam pentas, Ayu sendirian di atas panggung dalam wadag dan bayangan. Atau, mungkin aku bisa memilah Ayu menjadi beberapa pihak yang sedang melakukan negosiasi lewat eh dalam tubuhnya. Perjumpaan perbincangan itu harus diperkuat oleh organ-organ tubuh supaya negosiasi itu benar-benar tergambar, sehingga tak dijelaskan pun kata kunci itu bisa ditangkap.

Musik yang dirancang oleh Rio tak bisa kupilah bagian per bagian. Di sana ada perpaduan gambus dan suara dari benda-benda yang ada di dalam rumah. Juga ada suara kereta api, printer, suara bising entah. Mungkinkah pada beberapa bagian suara 'domestik' dari rumah masyarakat Lampung disajikan di sini secara jernih walau tak harus menampilkan alat musik tradisional? Jika berhasil, pasti bisa membantu penonton penuh daya khayal seperti aku untuk memuaikan pikiran. Mungkin juga bisa membantu Ayu menggerakkan tubuhnya yang sejati serupa ciptaan penuh talenta, menggali dasar, sekaligus membentangkan batas lingkaran semakin tanpa batas.

Visual yang dibuat Gelar membantuku. Bayangan yang bergerak di sana menjadi bandingan yang mengikuti sepanjang pementasan. Saat Rebeka dari Kelola mengungkapkan saat pentas di Kotabumi visual itu ditembakkan pada batang pohon kelapa, aku langsung membayangkan itu bakal menguatkan perbandingan antara wadag dan bayangan. Mungkinkah memindahkan batang-batang pohon Kotabumi itu ke atas panggung? Atau mungkin perlukah dipasang lembaran-lembaran layar yang bertindak sebagai pohon?

Usai pertunjukan, aku merenung-renung soal gerak tubuh Ayu yang 'biasa'. Kenapa tidak memilih gerakan yang 'luar biasa'? Hmmm... memang sih, sekali pun lingkaran pembatas perempuan sudah hancur, pun dia tetap ada dalam batas tubuhnya. Sebebas apa pun dia ingin bergerak, tubuhnya yang terbatas tetaplah membatasi jiwa. Kehendak bebas sang jiwa, tetaplah dia dalam ikatan tubuh yang terbatas. 

 

 


Tuesday, June 10, 2025

UMUR PANJANG PENTINGKAH?

 Setiap kali ulang tahun, ucapan yang familier adalah: "Selamat ulang tahun, semoga panjang umur." Benarkah panjang umur adalah pilihan yang terbaik? Begitu pentingkah umur panjang itu? 

Bertemu Bu Lian yang masih begitu lincah pada usia 90, aku spontan bercita-cita ingin seperti beliau. Tapi tentu saja seluruh hidupnya berbeda denganku. Gaya dan pola hidup pasti beda blas. Misal, beliau protes ketika mencium aroma asap rokok di gedung DKL. Beliau tak bisa kena asap rokok. Bisa menjadi sesak. Sedangkan aku, aku masih bisa menerima asap rokok walau aku tidak sedang merokok. Juga ketika sedang tidak fit, aku malah bisa merokok kretek rempah. Membuatku eh mungkin menyugestiku menjadi lebih segar. Tidak menjadi sesak.

Namun aku juga pernah bertemu banyak orang pada usia muda yang sungguh membuat prihatin karena terbelit masalah pada tubuhnya. Bukan hanya karena penyakit bawaan, tapi penyakit yang muncul karena gaya atau pola hidupnya. Bagaimana bisa mengalami hidup panjang dalam deraan sakit yang tak mungkin disembuhkan?

Gie, Soe Hok Gie pernah menulis: “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” Dia mati muda di Gunung Semeru pada puncak produktifitasnya. Dia pasti bahagia karena memang itulah yang dipikirkannya sejak mula.

Aku pernah tahu seorang nenek yang sudah berumur lebih dari 80 tahun, tak mampu lagi beraktifitas bertahun-tahun, hidup mengandalkan bantuan orang lain. Masih hidup, tapi tak mampu lagi bahkan untuk memilih akan yang akan dimakan atau diminum, tak bisa lagi bicara dengan baik atau tepat, tak bisa lagi mendengar suara-suara... 

Jadi, piye? Pentingkah panjang umur? Andai hidup ini sarana untuk mendapatkan pengalaman ragawi untuk jiwa yang sudah diciptakan, kupikir rentang waktu hidup tak lagi penting. Lebih penting bagaimana memilih menggunakan pengalaman hidup ini sebaik-baiknya.


Sunday, June 08, 2025

Tips Umur Panjang 2: SIBUK

 Dalam postingan beberapa minggu yang lalu klik sini aku menulis sebuah judul "Takut Mati?", tapi di dalamnya ada tips pertama untuk umur panjang. Tips berikutnya aku dapatkan dengan segera saat kesempatan emas bertemu perempuan luar biasa, Lian Gouw, seorang novelis yang lama tinggal di Amerika. Salah satu hal luar biasa dari perempuan ini adalah umurnya 90 tahun, dengan vitalitas yang sangat luar biasa. Sehat, lincah, penuh semangat. Cara bicara yang sangat rutin. Lembut tapi sangat jelas. Bisa menangkap suara dengan sangat baik. Tubuh yang tegak, cantik. Melakukan perjalanan sangat jauh dari Amerika ke banyak kota di Indonesia sendirian, dan melewati beberapa post perhentian, masih ceriaaa broooo...

Pertemuan terjadi di kantor Ketua Dewan Kesenian Lampung (DKL), di kompleks PKOR Way Halim, Bandarlampung. Beliau baru saja mengunjungi Musium Lampung, Perpusda Lampung, dan usai perbincangan masih akan lanjut melakukan siniar tentang buku, penulisan dan sebagainya.

Salah satu yang semua orang ingin tahu adalah bagaimana beliau masih segitu sehat lincah di umur 90 tahun? Aku yang baru lewat dikit dari 50 tahun serasa malu ati. Gimana tidak? Aku masih segini aja udah mengeluh ini itu, sakit pingganglah, capeklah, sakit tumit lah, dst.

Beliau menjawab singkat atas pertanyaan itu:"Sibuk." 

Bu Lian tidak memberikan jawaban rinci lebih lanjut. Namun kami kemudian membahasnya tanpa panduan. Aku memikirkannya lanjut sebagai bagian dari yang pernah kupikirkan sebelumnya, bahwa kata sibuk itu bisa diartikan melakukan banyak hal, termasuk bicara, berpikir, melakukan perjalanan, terlibat dalam kegiatan-kegiatan. 

Sibuk bisa saja memasukkan di dalamnya melakukan kegiatan-kegiatan yang disukai, yang sesuai passion, dan ini bermakna hati pasti gembira, berkobar-kobar penuh semangat. Melakukan sesuatu lalu ada ide lain terkait dengan hal itu, terus begitu, terus, terus dan terus. Aku jadi ingat bang Isbedy, yang sekarang ini sudah usia lanjut juga pernah mengatakan hal serupa dengan istilah sedikit berbeda: "Aku tak mau jadi pernah, Yul." Artinya juga terus, terus, terus,... Melakukan sesuai yang disukai dan dimaui untuk dilakukan.

Sibuk bisa juga memasukkan di dalamnya kegiatan yang menunjang harmoninya. Misalnya terus bekerja, berolahraga, makan, berdoa, bertemu banyak orang  dan seterusnya. Tentu saja semuanya dilakukan secara seimbang sesuai kebutuhan tubuh.

Nah, sibuk juga harus memasukkan kegiatan yang menjadi wujud pertanggungjawaban kewajiban-kewajiban. Misalnya aku seorang istri, ya aku menjalankan kewajiban-kewajiban itu, suka tidak suka. Sebagai ibu, sebagai nenek, sebagai tetangga, sebagai warganegara dan sebagainya.

Dalam pikiranku, sibuk menjadi tanda bahwa masih ada urusan yang harus dikerjakan sebagai manusia yang bertubuh. Masih ada banyak hal yang harus dilakukan untuk memenuhi banyak hal. Artinya ya jika tak ada lagi yang perlu dilakukan tak perlu diurus maka sudah selesailah kehidupan manusia itu. Cukup sudah waktu hidupnya. Hmmm...