Sunday, June 22, 2025

BATAS DAN BEBAS PADA TORSO AYU PERMATA SARI

Pentas TORSO kunikmati dari awal sampai akhir dengan beberapa pikiran dan perasaan yang berubah-ubah. Saat memasuki gedung pentas Dewan Kesenian Lampung (DKL), Sabtu 21 Juni 2025, tanpa tahu apa yang sedang dipersiapkan untuk dipentaskan, ekspektasi memenuhi kepalaku. Tentu ekspektasi itu adalah gambaran ideal sebuah pementasan tari oleh Ayu. Aku mengenali beberapa tarian Ayu dan spontan gambaran semacam itulah yang menancap, disertai: "Tarian Ayu yang terakhir kulihat sudah beberapa tahun lalu, pasti ada yang meningkat kali ini." Mungkin saja ini sambungan dari X yang pernah kutulis di sini dan di sini pada November 2020.

Lingkaran putih di panggung sebelah kiri, statis dengan sosok Ayu yang samar-samar terlihat berbaju merah. Di sisi kanan, torso berbalut putih bergerak, meliuk dan bergetar. Lingkaran diam lebih menarik perhatian karena aku penasaran, apa yang bisa dimunculkan dari sana. Sedang gambar torso bergerak menayangkan citra yang sangat biasa, lenggok tubuh bagian dada, pinggang, perut, pinggul dan pantat.

 Gerak Ayu dalam lingkaran mengalir secara wajar serupa pengenalan pada gerakku sendiri, yang terus berkembang, bertumbuh seturut pertambahan umur, pertambahan pengalaman, pertambahan perjumpaan. Saat masih bayi aku bisa meringkuk atau kemudian berbaring menggerakkan kaki tangan hanya di tempat aku diletakkan, saat ini aku yang sudah sudah 50 tahun lebih mampu berpindah tempat bergerak lebih jauh. Dari bayi sampai saat ini, ada proses bertahap yang kulalui.

Tahapan gerak itulah yang muncul di babak awal. Dari gerak sederhana monoton, gerak menjadi semakin rumit, tapi sebagian gerak itu tampak canggung eh apa ya kata yang tepat, hmmm tampak pada wajah murung, kaku, mungkin karena tertahan oleh ketidaksukaan, oleh dorongan supaya tetap dalam kepantasan, keraguan, kesedihan, kemarahan terpendam, juga tertahan oleh lingkaran batas yang dipasang entah oleh siapa. Mungkin oleh orang lain, banyak orang, atau oleh tak siapa pun, alias Ayu sendiri.

Keberanian untuk melintas atau menerjang, ah tidak, bahkan menghancurkan batas lingkaran mengawali babak selanjutnya dalam perkembangan gerakan tubuh. Gerakan ini mewakili banyak kisah perempuan yang berjuang untuk mendapatkan haknya, bahkan perjuangan untuk mendapatkan perlindungan. Yap. Lingkaran batas ternyata bukan tempat aman bagi perempuan. Lingkaran batas bisa merupa ancaman, pengekangan, pelabelan dan penghentian langkah perempuan. 

Mungkin aku berlebihan, tapi simbol itu yang tampak dalam tendangan dan ayunan kaki Ayu. Semerta ekspresi wajah menjadi lebih kaya. Ada senyum, ada tawa, ada tangis, ada tekat bulat. Lingkaran yang terbongkar membuat gerak tubuh menjadi lebih bebas. Cercaan pasti muncul karena runtuhnya batas selalu menyisakan bekas. Gerak tak lagi rapi. Tubuh yang biasanya tegak dipaksa untuk tetap elegan dalam tatapan mata banyak orang, menjadi kotor penuh debu, sanggul terlepas, baju pembungkus tak lagi penting dipertentangkan. Tapi:"Tanpa batas lingkaran, panggung kukuasai." Dan Ayu bergerak bebas menguasai panggungnya.

Perempuan seperti semua manusia yang lain akan terus dalam proses pencarian selama nafas masih terhembus dalam tubuhnya. Pencarian itu akan membawanya menghadapi banyak hal. Ayu dalam Torso dihadapkan pada kultur perempuan Lampung yang mesti tegak menjunjung sigernya yang berat serta menjaga penghias tubuh bahkan hingga ujung-ujung jari. Khalayak memakainya sebagai ukuran keindahan/kecantikan perempuan. 

Gerak bebas tanpa batas pasti melemparkan siger itu dari kepala dan akan merontokkan seluruh perhiasan-perhiasan yang dilekatkan pada tubuhnya oleh siapa entah, mungkin orang lain, banyak orang, atau oleh tak siapa pun, alias Ayu sendiri. Masih cantikkah dia tanpa penghias tubuh itu? Hinaan apa yang dilontarkan padanya ketika seluruh hiasan itu lepas? Haruskah kecantikan dari tembaga dan gemerincing buatan itu terus disematkan pada perempuan? Bukankah dia sejatinya diciptakan cantik dengan mahkota martabat dan hiasan ketulusan hasil pengolahan pengalaman hidupnya?

Kata kunci yang tak kutemukan pralambangnya dalam Torso atau mungkin kulewatkan karena ketidakpekaanku adalah kata negosiasi. Negosiasi muncul dalam perbincangan usai pentas, dimunculkan oleh Ayu, Rio, Gelar, Nia dan Nabila, tim utama pementasan ini. Negosiasi bisa muncul saat ada banyak pihak berada dalam satu perjumpaan perbincangan, diwakili oleh 5 orang yang berbeda ini dalam proses penggarapan karya. Sedang dalam pentas, Ayu sendirian di atas panggung dalam wadag dan bayangan. Atau, mungkin aku bisa memilah Ayu menjadi beberapa pihak yang sedang melakukan negosiasi lewat eh dalam tubuhnya. Perjumpaan perbincangan itu harus diperkuat oleh organ-organ tubuh supaya negosiasi itu benar-benar tergambar, sehingga tak dijelaskan pun kata kunci itu bisa ditangkap.

Musik yang dirancang oleh Rio tak bisa kupilah bagian per bagian. Di sana ada perpaduan gambus dan suara dari benda-benda yang ada di dalam rumah. Juga ada suara kereta api, printer, suara bising entah. Mungkinkah pada beberapa bagian suara 'domestik' dari rumah masyarakat Lampung disajikan di sini secara jernih walau tak harus menampilkan alat musik tradisional? Jika berhasil, pasti bisa membantu penonton penuh daya khayal seperti aku untuk memuaikan pikiran. Mungkin juga bisa membantu Ayu menggerakkan tubuhnya yang sejati serupa ciptaan penuh talenta, menggali dasar, sekaligus membentangkan batas lingkaran semakin tanpa batas.

Visual yang dibuat Gelar membantuku. Bayangan yang bergerak di sana menjadi bandingan yang mengikuti sepanjang pementasan. Saat Rebeka dari Kelola mengungkapkan saat pentas di Kotabumi visual itu ditembakkan pada batang pohon kelapa, aku langsung membayangkan itu bakal menguatkan perbandingan antara wadag dan bayangan. Mungkinkah memindahkan batang-batang pohon Kotabumi itu ke atas panggung? Atau mungkin perlukah dipasang lembaran-lembaran layar yang bertindak sebagai pohon?

Usai pertunjukan, aku merenung-renung soal gerak tubuh Ayu yang 'biasa'. Kenapa tidak memilih gerakan yang 'luar biasa'? Hmmm... memang sih, sekali pun lingkaran pembatas perempuan sudah hancur, pun dia tetap ada dalam batas tubuhnya. Sebebas apa pun dia ingin bergerak, tubuhnya yang terbatas tetaplah membatasi jiwa. Kehendak bebas sang jiwa, tetaplah dia dalam ikatan tubuh yang terbatas. 

 

 


No comments:

Post a Comment