AWAL
Ada tubuh yang
dipinjamkan pada kita.
Dari debu, dihembusi nafas.
Bergerak oleh air, darah dan rahmat semata.
Tubuh sempurna seturut citra Sang Pencipta.
Karenanya, kita mendapatkan pengalaman-pengalaman dunia,
Karenanya, jiwa mistis kita mendapatkan wadag,
mendapatkan rangka penahan sekaligus kebebasan berkehendak.
Karena tubuh, kita mengalami gembira, mengalami duka,
mengalami hampa sekaligus mengalami kepenuhan.
Ada tubuh yang dipinjamkan pada kita.
Karenanya, kita dapat melihat, mendengar
Merasa, mencium aroma, mendekap.
Karenanya, kita dapat mewujudkan diri,
lewat gerak, lewat suara, lewat ekspresi, lewat cinta.
Bukan hanya itu… Bahkan bisa berteriak, menjadi tamak
serupa raja lalim berkuasa dengan ego buas
mengambil tanpa puas, merusak tanpa otak.
Ada tubuh yang dipinjamkan pada kita
sebagai tahta bagi jiwa spiritual.
Berhasilkah kita? Selalu berhasilkah? Selalu gagalkah?
Tidak! Kita sudah merendahkan citra Sang Maha Cinta
dengan tangan-tangan begundal mencabik kesucian ciptaan.
Tidak! Kita sudah melecehkan diri
dengan memilih pengalaman ragawi tanpa batas, tanpa tahu diri.
Tidak! Kita sudah melanggar kesejatian
dengan memperlakukan tubuh pinjaman ini secara semena-mena,
tanpa hormat, tanpa kidmat.
AKHIR
Akan ada,
harus ada saat bagi tubuh utuh dipersembahkan pada altar Batu Kepampang
Bibir kelu menyerah pada jalan setapak menuju puncak bukit pengorbanan
Memaku kaki dan tangan pada punggung kesengsaraan,
melepas tiap keinginan yang menentang langkah pulang,
Memeram lalu menyiramkan peluh tanpa keluh berkepanjangan
Algojo-algojo tak kasat mata akan melecutkan deraan
Menyeret tubuh pada tanah berkerikil
Menggilingnya hingga berderak berdarah
Membekaskan bilur derita tiada sanggup dipandang.
Terus begitu tanpa jeda, hingga hati meratap:
"Tuhan! PadaMu kuingin pulang!
Lepaskan aku dari raga dan rengkuhlah aku."
Ada tubuh yang dipinjamkan pada kita.
Semakin renta mengikuti waktu.
Lima kali berbilas dalam arus hari,
lewat pori-pori menyatukan air dengan air
aliran tubuh bergerak dalam wudhu yang terulang…
seluruhnya… suci… suci … suci…
Menyujudkan tubuh penuh takzim pada Yang Maha
Saatnya, selalu kini saatnya
Di sini kita belajar mati tetap dalam nafas
Dengan cara demikian kita mampu menjadi ikhlas.
Jika lontar-lontar sastra adalah kitab kering
Maka tubuh manusia adalah kitab basah, yang hidup
terus memberi pembelajaran dengan batas takdir usia.
Yuli Nugrahani, September 2024
No comments:
Post a Comment