Tuesday, December 09, 2025

Ki Dalang Muryanto: Wahyu Purba Sejati

 Lama sekali aku tidak nonton wayang secara langsung. Setelah kecanduan Ki Dalang Seno hampir di semua lakonnya setiap malam, sejak Ki Seno meninggal aku jarang sekali menonton wayang apalagi nonton wayang secara langsung. Kesempatan di Way Kandis Senin 8 Desember 2025 membuatku nonton Ki Dalang Muryanto secara penuh membawakan lakon Wahyu Purba Sejati.

Kesempatan yang menarik. Awalnya aku hanya ingin melihat bagian awal saja lalu pulang, mengingat sejak sore aku sudah menguap terus. Buttt... begitu dengar gending-gending dan juga suara suluk Ki Dalang, aku mancep di kursi. Tidak hanya sampai babak tertentu tapi sungguh-sungguh menontonnya sampai tancep kayon, sampai selesai seluruh lakon pukul empat lebih menjelang subuh.

Lakon Wahyu Purba Sejati diawali dengan kunjungan Prabu Baladewa, Raja Mandura ke Istana Kresna di Kerajaan Dwarawati. Obrolan di antara mereka yang hadir termasuk 'staf' kerajaan masing-masing. Mengemuka tentang impian Baladewa dan Kresna tentang wahyu purba sejati yang terdiri dari empat wahyu, dengan petunjuk lokasi tempat mereka bisa menemui wahyu itu, yaitu Pasarean Gondomadono (atau Gondowandono, aku tak terlalu dengar.). Wahyu Purba Sejati terdiri dari Wahyu Cahyaningrat, Wahyu Wimbaningrat, Wahyu Raksakaningrat dan Wahyu Wasesaningrat.

Paseban ini juga hangat dengan ajaran Kresna tentang paugeran hidup benar yang tak boleh jatuh pada tahu saja, tapi harus dilakukan, harus diamalkan. Dilampahi. Ini menyangkut dasar hidup secara vertikal antara manusia dengan Penciptanya, juga secara horisontal antara manusia dengan manusia. 

Di saat seperti itu, hadirlah utusan Gondoyatmo, titisan Rahwana yang meminta Wara Sembadra yang dianggap sebagai Banowati titisan Sinta. Utusan itu minta Sembadra untuk ikut bersama mereka. Tentu saja semua orang yang hadir marah terhadap utusan itu sehingga mereka terlibat dalam peperangan besar.

Dalam situasi kisruh itu, Permadi ya Arjuna didorong untuk menemukan petunjuk tentang Wahyu Purba Sejati. Arjuno menemukan Pasarean Gondomadono, di sana ada batu pangelmuan. Arjuno diijinkan oleh juru kunci pemakaman itu (seorang brahmana kera) untuk bertapa di situ.

Kresna, Baladewa dan Sembadra menyusul Arjuno tapi hanya menemukan batu pengelmuan itu. Permadi sedang dalam pertapaannya yang khusuk sehingga tidak kelihatan. Mereka bertiga melihat batu itu, memastikan mereka ingin mereguk sang wahyu. Ketika Baladewa mencoba duduk di sana, dia terlempar. Kresna yang juga merupakan titisan dewa tidak mau duduk di sana karena sebenarnya dia juga dewa sang Maha Tahu Segala. Sembadra langsung duduk di batu itu, dan dia merasakan kenyamanan. Saat itulah Sang Wahyu Wimbaningrat merasuk pada dirinya, dan menjadikannya sebagai ratu sumber para raja yang nantinya akan menguasai dunia. Dialah perempuan terberkati, untuk menurunkan para raja bijaksana di kemudian hari.

Seusai Permadi menyelesaikan tapanya, dia mendapatkan wahyu Cahyaningrat yang akan membuatnya menjadi penurun sejarah para raja. Klop dengan Sembodro. Sedangkan Kresna, dia berada dalam porsinya mendapatkan wahyu raksakaningrat yang menempatkan dirinya sebagai patih, seorang yang menjadi konsultan utama raja.

Baladewa menerima panggilan sebagai perengkuh wahyu wasesaningrat, wahyu wadat yang membuatnya jauh dari nafsu termasuk nafsu seks. Dia hidup selibat dan menghayatinya untuk kesejahteraan semua manusia.

Musuh masih ada. Gondoyatmo ya Sang Rahwana mencoba mengulang kisah penculikan. Namun Permadi dibantu dengan Anoman berhasil mengalahkan Gondoyatmo. Kematian Gondoyatmo membuat PR hidup Anoman selesai. Dia pun hidup dalam keheningan pertapaan, menunggu PR kehidupan selanjutnya yang mungkin akan datang. 

Gitu guys. Ini kuceritakan ulang berdasarkan penangkapanku yaaa. Beberapa bagian seperti menjadi potongan-potongan yang agak susah kupahami. Sepertinya Ki Dalang mengejar waktu untuk terpenuhinya lakon. Mulai telat dan ditambah banyaknya minat orang yang request lagu, perkiraanku membuat Ki Dalang memotong beberapa detil kisah.

Tapi Dalang tetap berhak menentukan kisahnya. Dan aku tetap menemukan benang merah dari kisah ini. Kerennn.
 

Sunday, December 07, 2025

SURAT CINTA UNTUK PITHAGIRAS YANG LUPA DITULIS

Buku ini menjadi buku yang paling lama menghuni ranselku di tahun ini. Setelah mendapatkannya dari Udo, dia ni ngikut ke Jakarta beberapa kali, ke Palembang dua kali, ke Kediri, Lumajang, Bandung, ... hadehhh... Kubawa kemana-mana tanpa kemajuan membaca yang berarti. Usai mendapatkannya, aku membaca cepat pada bab satu dan dua, lalu terbengkalai selama beberapa bulan. Pengantar yang ditulis Udo tak cukup membuatku bertahan membacanya. 
Banyak alasan yang kubuat sehingga tak membacanya entah kemudian terseret ke buku lain, aktifitas lain, pikiran lain, dst... lamaaa.... buku ini tak terpegang, hanya tersuruk saja di lapisan dalam ransel berdampingan dengan laptop. Laptop keluar masuk ransel, buku ini tetap bertapa di dalamnya. Kalau pun tercabut keluar, lalu tersuruk lagi di dalamnya. 
Aku melanjutkan membaca lagi dikit-dikit usai obrolan dengan Udo untuk urusan DKL, dan dua hari terakhir ini aku menyelesaikan membacanya secara cepat dan intens. Kesempatan yang hadir menjadi rahmat karena sungguh aku sedang tak mau mengerjakan hal-hal lain (padahal ada banyak PR deadline pekerjaan. Huft). Buku inilah tempat aku melampiaskan diri. Pelarian yang aku sungguh syukuri.
Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis bagiku malah menjadi surat cinta yang lupa dibaca. Ampun. Udooo, setelah membacanya, serius aku katakan novel ini bukan buku yang boleh diabaikan. Sudah ditulis dengan begitu 'wajar' mestinya dibaca dengan 'wajar' juga. Tapi memang aku sedang terpuruk dengan gerak yang terus berpindah secara raga maupun jiwa. Maafff yaaa...
Sooo, buku ini menjadi loncatan kenangan yang tepat sekali diberikan padaku menjelang akhir tahun  saat diriku dipenuhi dengan pikiran-pikiran reflektif. Novel yang ditulis Udo Z Karzi ini membawaku pada masa lalu secara mudah karena yang terjadi jadi kisah di dalamnya sangat mirip dengan situasi dan gerakan yang kulibati tahun 90an saat jadi mahasiswa di Brawijaya Malang.
Novel ini menuliskan sosok-sosok yang mudah kukenali kemiripannya. Atau, malah sosok di dalam novel ini merupakan diriku sendiri yang setiap kali beralih peran secara dinamis. Kadang aku bisa merasakan diri sebagai Kenut, kadang aku bisa mengakui bahwa akulah Pitha, atau Vita, atau juga Tamong, bahkan aku sebagai Emak Bapak yang kecewa. 
Setting situasi Unila, Lampung, Bandarlampung maupun Negarabatin, Gunung Pesagi, sangat dekat juga dengan perjalananku yang hidup di provinsi ini selama seperempat abad terakhir. Sekaligus menjalin kisah dan gambaran yang mirip dengan hidupku sebagai mahasiswa di Unibraw, maupun perempuan yang hidup di Jawa Timur, Malang maupun Kediri, Lumajang, Gunung Semeru, Kelud atau Panderman.
Nostalgia yang cocok untuk akhir tahun 2025 yang dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa sangat dinamis osial politik maupun alam murka menyemburkan bencana. Kemarahan yang dulu pernah kurasakan saat sok idealis dalam diskusi-diskusi gerakan mahasiswa, muncul lagi menjadi kemarahan dan kekecewaan yang ...'kok ya situasi ini masih sama dengan dulu'. Spontan juga mengobarkan semangat kepedulian dan solidaritas "Mari bersatu. Lawan!"
Hmmm... mungkin kobaran yang sekarang ini muncul karena Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis juga masih sama seperti kobaran sok idealis seorang mahasiswi masa lalu. Sekarang mewujud jadi percikan sok idealis seorang ibu yang lebih realistis karena sering terpuruk dalam akrobat finansial mental spiritual. Pun tetap ada 'idealisme'nya. Yakin.
Aku senang novel Udo menuliskan hal-hal yang mengobarkan 'sok' idealisme ini dalam bungkus romantisme. Dengan demikian rasa 'wajar' itu jadi lebih kuat, dan memang seperti itulah hidup manusia. Serba wajar walau pernah mengalami grafik naik turun menurut ukuran-ukuran tertentu. Tetap manusiawi.  

Monday, August 04, 2025

GANG CERIA GOES TO PALEMBANG: "Traveling and Healing

Stasiun Tanjungkarang
 Ide iseng bisa muncul dari moment yang tidak diduga. Usai melayat, makan bareng lalu beberapa ibu nyeletuk tentang kemungkin pergi ke Palembang naik kereta. Keesokan harinya, perjumpaan lanjut langsung mengentalkan ide itu, cek jadwal, cek ketersediaan tiket kereta, dan akhirnya disepakati: "Pergi ke Palembang pada 1 - 3 Agustus 2025 untuk travelling and healing."

Itulah yang muncul sekitar dua-tiga minggu yang lalu. Gercep cari tiket kereta pada hari yang sama, masih belum memikirkan hal-hal lain yang mungkin muncul, pokoke dapat tiket kereta api Tanjungkarang - Palembang PP pada tanggal yang dimaksud. Hari itu juga tiket untuk 10 orang didapatkan, dengan nasib tempat duduk terpencar tapi masih pada gerbong yang sama. Sedangkan untuk kepulangan, tempat duduk lumayan berdekatan.

Persiapan-persiapan dibuat serba cepat, dan inilah yang terjadi:

 

 Hari 1, Jumat 1 Agustus 2025

Stasiun Kertapati

Berangkat pukul 07.00 dari perumahan Polri Hajimena menggunakan 4 mobil yang tersedia. Ya, tentu saja berangkatnya dari perumahan Polri karena Gang Ceria yang dimaksud pada judul adalah gang paling depan di Blok C Perumahan Polri Hajimena. Sepuluh peserta adalah para ibu dari gang ini. Orang-orang yang sudah biasa berelasi bertetangga dalam hidup keseharian.

Kereta Api Rajabasa berangkat pukul 08.30, jadi cukup aman untuk mendapatkan posisi longgar untuk bagasi dan masih cukup santai juga jika ingin foto-foto di awal perjalanan. Target utama dalam perjalanan ini memang foto sebanyak-banyaknya di tiap perhentian.

Sampai di Palembang, Stasiun Kertapati, pukul 17.30, rombongan dijemput oleh keluarga Een dan mbak Maya. Dua mobil siap mengantar ke perhentian 1 yaitu di Masjid Agung untuk sholat Magrip. Lanjut ke Martabak Har Simpang Sekip untuk makan malam. Usai makan wajib menyempatkan diri untuk foto sebelum istirahat di rumah keluarga Een sekitar Jakabaring.

Hari 2, Sabtu 2 Agustus 2025

Taman Kota Kambang Iwak

Sesuai janji, semua siap untuk otw pukul 08.00. Tujuan pertama pagi ini adalah Kambang Iwak, untuk sarapan di Warkop Putra Agam dengan pilihan menu ketupek (lontong) gulai paku, atau picak atau bubur atau mie dan sebagainya. Kambang Iwak merupakan taman di tengah kota Palembang dengan kolam atau danau kecil yang seputarannya biasa digunakan oleh masyarakat untuk joging atau olahraga dan kuliner.

Dari sana, tujuan berikutnya adalah jalan ke Monumen Ampera dan Museum Mahmud Badaruddin II. Inget yaa, tujuan foto-foto kudu dibuat dengan apik dalam segala situasi. Cuaca panas membara malah membuat kami semangat untuk jalan, berpose dan foto. 

Sentra oleh-oleh di Pasar 26 Ilir, menjadi tujuan berikutnya: Pempek Lala. Nyemil pempek wajib yaaa, lalu mborong macam-macam krupuk kemplang dan pempek. Dibonusi makan siang bagi sebagian yang sudah kelaparan yaitu di RM Mbok Yah samping kantor Walikota. Dari sana barulah ke arah Pusri untuk menyeberang ke Pulau Kemaro menggunakan perahu. 


Perjalanan kembali ke pusat kota, mendung tiba-tiba menggantung di langit. Mesti mencari tempat berteduh dan yang dipilih Palembang Square. Untuk sholat, ngadem eh ngiyup dan shoping bagi yang minat. Sore masih akan berlanjut ke kompleks Benteng Kuto Besak berfoto dengan Tugu Ikan Belida dan jembatan Ampera. Makan malam kembali ke tujuan siang yaitu ke Mbok Yah samping kantor walikota.

Malam kembali dengan puas ke rumah Een untuk istirahat.

Hari 3, Minggu 3 Agustus 2025

Hari terakhir urusannya hanya kembali ke Lampung. Een yang baik hati sudah menyiapkan nasi ayam telur untuk makan siang dan gorengan untuk sarapan. Pukul 06.30 dijemput mbak Maya, mampir sebentar beli jajan pasar.  Siap kembali ke Lampung dengan kereta api Rajabasa dari stasiun Kertapati pukul 08.30. Sampai Lampung pukul 18.15.

Perjalanan yang asyik siap untuk diulang lagi. 

Bagian terakhir merupakan catatan pengeluaran kami:

1. Tiket kereta api PP @Rp 32.000 = Rp 64.000

2. Tiket museum, perahu, transport lokal Palembang, air mineral, makan untuk sopir, dll = Rp 230.000

Setiap orang mengeluarkan Rp 294.000 tidak termasuk makanan dan oleh-oleh yang dibeli masing-masing. 

Gerbang Masjid Agung Palembang

 
Monumen Ampera

Museum Mahmud Badaruddin II

Museum Mahmud Badaruddin II bagian dalam

Pulau Kemaro

Benteng Kuto Besak

Togetherness full of happiness


Monday, July 21, 2025

OBROLAN NGALOR NGIDUL DALAM HASH

Seputaran Batuputuk 20 Juli 2025.
 Lampung Hash House Harriers (LHHH) sudah kuikuti sejak masa pandemi lalu. Sekitar 6 tahunan, masih tergolong baru untuk komunitas yang sudah mulai bergerak di awal tahun 2000an. Yang utama dalam komunitas ini adalah olahraga alam bebas, di luar ruangan, dengan jalan atau lari. Hiking. Ada seratus lebih orang yang jadi membernya. Juga ada yang sering ikut tapi ndak mau jadi member. Suka-suka saja.

Suka-suka juga pada pilihan rutenya. Walau tim hare, yang kebagian membuat rute dengan menabur guntingan kertas, sudah membuat rute kisaran 6 - 12 km setiap minggunya, peserta tidak terpatok pada rute itu. Mereka bisa mengambil jalan pintas kapan pun, kesasar-kesasar secara sadar. Merek juga bisa setiap patuh hormat pada rute yang ada, seringkali diselingi keluhan atau makian karena tanjakan curam, keluar masuk sungai, dan seterusnya. Ada juga yang sama sekali tak mau mengikuti rute, ya jalan suka-suka saja di sekitar meet point, foto-foto, dan makan-makan. Tak ada larangan untuk ini. 

Perjumpaan dalam perjalanan yang suka-suka ini ternyata menciptakan ruang obrolan yang luar biasa. Bagiku, ruang obrolan ini tak hanya menjadi pengikat persaudaraan persahabatan, tapi menjadi ruang pembelajaran, menjadi kelas sekolah kehidupan yang lengkap.

Misal satu kali aku berjalan bersama seorang senior, seorang pengusaha, seorang bapak, lain waktu aku beririgan dengan para muda yang heboh dengan semangatnya pada medsos. Berikutnya lagi aku bisa saja berjalan bersama para ibu yang sedikit-sedikit bertanya kurang berapa km lagi.

Obrolan muncul dalam perjalanan beriringan itu. Ngalor ngidul lengkap dengan bermacam kisah. Bahkan kadang terkaget-kaget karena ada kisah-kisah yang seperti tak mungkin tapi toh terjadi juga.

Nah, apa saja obrolan yang sering muncul? Banyakkk... Ngrasani orang lain, perselingkuhan, dan sebagainya selalu menarik. Hehehe... Obrolan tentang usaha, lalu tersambung menjadi mitra kerja juga sangat mungkin. Ngobrolin diri sendiri, curhat tentang suami anak juga mungkin. Obrolan tentang spiritualitas juga sering lho. Komunitas ini diisi oleh beragam orang dari ragam agama, suku maupun jenis pekerjaan. Bahkan seringkali obrolan menjadi mendalam tentang perkawinan, kematian, hakikat kehidupan dan sebagainya. Obrolan itu menjadi bumbu dalam perjalanan seiring melewati rute yang sama.

Luar biasanya, obrolan ini ya benar-benar jadi bumbu saja khususnya bagiku.. Ndak mempengaruhi apa pun. Bahkan tidak menjadi bahan penilaian terhadap seseorang. Itu seperti kisah yang mengalir lalu ilang begitu perjalanan sampai finish kembali di meet point. Usai itu ya sudah. Tak ada hal apa pun yang mengganjal atau mengganggu.

Itulah salah satu asyiknya berada dalam komunitas ini. 

Sunday, June 29, 2025

Tips Umur Panjang 3: Robby Tulus, Antusias, Seimbang, Berpikir Positif

 

Tips 1 dan 2 bisa dilihat pada tulisan ini dan ini secara bebas. Sebenarnya aku sudah membuat satu bagian yang mengikat keduanya pada tulisan ini untuk memicu permenungan penting tidaknya umur panjang. Tapi aku juga tak mau menolak perjumpaan-perjumpaan asyik bersama orang-orang keren yang berumur panjang.

Kesempatan baru-baru ini kudapatkan dalam obrolan pendek bersama Robby Tulus, salah satu bapak dan guruku dalam pelajaran perkoperasian.  Ini merupakan obrolanku pertama secara langsung, pun baru kemarin ini di sela-sela Break Out Seminar dalam rangkaian Lokakarya Nasional (Loknas) dan Rapat Anggota Tahunan (Ratnas) Inkopdit di Grand Mercure, Bandarlampung, 26 - 27 Juni 2025.

Mendengarkan ceramah atau materi yang disampaikan beliau sudah kudapatkan beberapa kali. Mendengar namanya disebut sebagai referensi oleh orang-orang lain dalam konteks belajar koperasi sudah terlalu sering. Membaca beberapa tulisannya juga pernah. Nah, karena kemarin saat Loknas aku dapat tugas menjadi notulis, ada jarak yang lebih pendek kudapatkan. Di sela kegiatan, aku pura-pura minta foto selfie bersama beliau, tapi satu pertanyaan sudah kusiapkan:"Apa resepnya hingga pada umur 85 tahun Pak Robby masih begitu segar, lincah dan runtut?"

Pada kesempatan di Lampung ini, Robby Tulus mengisi banyak sesi dalam Loknas. Panitia begitu kurang ajarnya menempatkan beliau sebagai narasumber, moderator maupun penerjemah dalam banyak sesi. Astaggaaa. Awalnya aku berpikir kok ya kebangeten mereka ini. Itu butuh waktu, tenaga, posisi duduk lama, konsentrasi dan seterusnya dalam waktu yang panjang, lama. Kenapa tidak cari penerjemah lain, misalnya. 

Tapi kekuatiranku sama sekali tak beralasan. Robby Tulus tetap pada vitalitasnya yang prima bukan hanya saat di panggung, tapi juga pada jam rehat. Beliau masih melayani orang yang minta foto, minta diskusi lanjut tentang ini itu yang belum terpuaskan saat sesi, juga masih melayani wawancara wartawan.

"Ah, tidak selalu baik-baik saja. Saya pernah sakit beberapa kali," ungkapnya jujur. Yeahhh, itu sangat wajar. Aku pun begitu, bahkan di usia yang harusnya sangat produktif. Lalu apa yang istimewa? Robby masih melakukan perjalanan sendiri ke mana-mana. Tinggal di Kanada tapi sering ke Indonesia, ke banyak negara, banyak kota.

"Antusias. Kita harus antusias." Hmmm... aku berpikir tentang yang sudah kupikirkan dan kutuangkan dalam tulisan-tulisan lalu. Antusias merupakan istilah yang tepat untuk merangkum tentang 'punya keinginan dan gairah mewujudkannya'. Antusias menjadi satu  kunci yang terus diproses oleh Robby. Secara kasat mata pun kita dapat melihat antusiasnya saat bercerita tentang sesuatu yang disukai.

"Kedua adalah moderate, moderasi." Sedang saja, seimbang, tidak berlebihan, tidak kurang. Robby masih menjalankan hobinya, beberapa jenis olah raga, jalan, makan, relasi sosial, dan seterusnya. "Kecuali saat di Indonesia. Saya bisa makan berlebihan saat di Indonesia." Katanya sambil tertawa. Iyalah, siapa yang bisa mengabaikan menu-menu Indonesia yang aneka rupa, full rempah full rasa. "Tapi nanti saya  akan jalan dan kembali ke ritme biasa di Kanada. Jadi aman."

"Ketiga adalah positive thinking." Nahhhh... ini nih. Kalau aku menerjemahkan pada ukuran imanku, kata ini seperti gabungan antara iman, pengharapan dan kasih. Tak usah kuatir orang ngomong apa, terserah mau njelekin atau mau membenci. Tak usah kuatir esok hari aku bersama siapa di mana. Kesulitan hari ini selesai pada hari ini. Besok ada nikmat yang lain. 

Aku mengangguk-angguk mendengarkan beberapa kisahnya, termasuk satu kisah lucu yang dia alami dalam proses berhenti merokok yang membuatku ngakak tak terbendung. Hmmm... aku ceritakan bagian ini nanti di judul yang berbeda. Tawa Robby pada kisah lucu yang memalukan pada dirinya sendiri merupakan bentuk penerimaan diri yang luar biasa. Aku masih belum bisa banyak bercerita tentang kisah-kisah memalukan yang pernah kualami. Kalau bisa ditutup rapet pet pet... jangan kebuka lagi. Ini, Robby bisa mengajak orang lain tertawa bersamanya atas peristiwa memalukan yang menimpanya. Robby sudah selesai dengan dirinya sendiri dan sampai pada kemerdekaannya. Pelajaran luar biasa. 

Wednesday, June 25, 2025

GOWOK

 Kata gowok itu terlalu kasar kayaknya di telinga orang yang lemah lembut seperti aku. Hehehe. Aku bertanya pada 10 orang: "Menurutmu film Gowok itu film romantis, sejarah, horor, komedi atau kriminal?" Tujuh orang diantaranya mengatakan itu film horor. Selebihnya ragu-ragu tapi akhirnya menyebut bahwa itu film kriminal atau komedi.

 Jadwal dan Harga Tiket Film Gowok Kamasutra Jawa di Bioskop Surabaya

Dalam ingatanku, kata gowok kukenal pertama kali dalam novel Ahmad Tohari: Ronggeng Dukuh Paruk. Kesan utamaku terhadap kata ini adalah romantisme. Atau sesuatu yang membawa pada khayalan tentang berhubungan seksual secara indah. Gowok dalam Ronggeng Dukuh Paruk juga dituangkan secara komedi, lucu, dalam pembacaanku.

Nah, lalu bagaimana dengan Film Gowok Javanese Kamasutra yang disutradarai Hanung Bramantyo tayang di bioskop tahun 2025 ini? Aku tidak puas dengan film ini. Hmmm...

1. Judul yang ditampilkan itu berlebihan Gowok Javanese Kamasutra. Menurutku Gowok tak bisa disebut sebagai Javanese Kamasutra. Gowok pernah dilakukan pada suatu masa oleh kelompok tertentu saja di Jawa Tengah. Dalam tradisi Jawa secara umum, Gowok bertentangan dengan nilai-nilai kejawen. 

2. Film ini membuyarkan kesan pertamaku terhadap kata gowok yang kudapat dari Ronggeng Dukuh Paruk. Lewat novel itu, aku merasakan romantisme komedi karena memang tokoh yang ditampilkan dalam novel membawaku tersenyum sedikit miris. Dalam film ini, aku melihatnya sebagai tragis. Terlalu banyak kekerasan kesadisan ditampilin.

3. Harusnya ada pesan indah yang bisa disampaikan lewat film ini tapi tidak muncul. Kayaknya aku tidak pas menonton film model gini. Capek. Padahal ada banyak nilai yang sangat mungkin bisa disajikan apalagi kalau ini mau disandingkan dengan Kamasutra.

Tentang pemain, hmmm, awalnya aku kira Reza Rahardian yang akan jadi tokoh utamanya. Si Reza ini yang menjadi alasan utamaku nonton film ini. Ternyata Reza tampil sangat sedikit di bagian akhir film, tapi justru membuatku lega. Dia tampak tua memang cocok untuk dipasang sebagai tokoh utama di bagian akhir. Porsi yang tepat untuk dia. 

Sunday, June 22, 2025

BATAS DAN BEBAS PADA TORSO AYU PERMATA SARI

Pentas TORSO kunikmati dari awal sampai akhir dengan beberapa pikiran dan perasaan yang berubah-ubah. Saat memasuki gedung pentas Dewan Kesenian Lampung (DKL), Sabtu 21 Juni 2025, tanpa tahu apa yang sedang dipersiapkan untuk dipentaskan, ekspektasi memenuhi kepalaku. Tentu ekspektasi itu adalah gambaran ideal sebuah pementasan tari oleh Ayu. Aku mengenali beberapa tarian Ayu dan spontan gambaran semacam itulah yang menancap, disertai: "Tarian Ayu yang terakhir kulihat sudah beberapa tahun lalu, pasti ada yang meningkat kali ini." Mungkin saja ini sambungan dari X yang pernah kutulis di sini dan di sini pada November 2020.

Lingkaran putih di panggung sebelah kiri, statis dengan sosok Ayu yang samar-samar terlihat berbaju merah. Di sisi kanan, torso berbalut putih bergerak, meliuk dan bergetar. Lingkaran diam lebih menarik perhatian karena aku penasaran, apa yang bisa dimunculkan dari sana. Sedang gambar torso bergerak menayangkan citra yang sangat biasa, lenggok tubuh bagian dada, pinggang, perut, pinggul dan pantat.

 Gerak Ayu dalam lingkaran mengalir secara wajar serupa pengenalan pada gerakku sendiri, yang terus berkembang, bertumbuh seturut pertambahan umur, pertambahan pengalaman, pertambahan perjumpaan. Saat masih bayi aku bisa meringkuk atau kemudian berbaring menggerakkan kaki tangan hanya di tempat aku diletakkan, saat ini aku yang sudah sudah 50 tahun lebih mampu berpindah tempat bergerak lebih jauh. Dari bayi sampai saat ini, ada proses bertahap yang kulalui.

Tahapan gerak itulah yang muncul di babak awal. Dari gerak sederhana monoton, gerak menjadi semakin rumit, tapi sebagian gerak itu tampak canggung eh apa ya kata yang tepat, hmmm tampak pada wajah murung, kaku, mungkin karena tertahan oleh ketidaksukaan, oleh dorongan supaya tetap dalam kepantasan, keraguan, kesedihan, kemarahan terpendam, juga tertahan oleh lingkaran batas yang dipasang entah oleh siapa. Mungkin oleh orang lain, banyak orang, atau oleh tak siapa pun, alias Ayu sendiri.

Keberanian untuk melintas atau menerjang, ah tidak, bahkan menghancurkan batas lingkaran mengawali babak selanjutnya dalam perkembangan gerakan tubuh. Gerakan ini mewakili banyak kisah perempuan yang berjuang untuk mendapatkan haknya, bahkan perjuangan untuk mendapatkan perlindungan. Yap. Lingkaran batas ternyata bukan tempat aman bagi perempuan. Lingkaran batas bisa merupa ancaman, pengekangan, pelabelan dan penghentian langkah perempuan. 

Mungkin aku berlebihan, tapi simbol itu yang tampak dalam tendangan dan ayunan kaki Ayu. Semerta ekspresi wajah menjadi lebih kaya. Ada senyum, ada tawa, ada tangis, ada tekat bulat. Lingkaran yang terbongkar membuat gerak tubuh menjadi lebih bebas. Cercaan pasti muncul karena runtuhnya batas selalu menyisakan bekas. Gerak tak lagi rapi. Tubuh yang biasanya tegak dipaksa untuk tetap elegan dalam tatapan mata banyak orang, menjadi kotor penuh debu, sanggul terlepas, baju pembungkus tak lagi penting dipertentangkan. Tapi:"Tanpa batas lingkaran, panggung kukuasai." Dan Ayu bergerak bebas menguasai panggungnya.

Perempuan seperti semua manusia yang lain akan terus dalam proses pencarian selama nafas masih terhembus dalam tubuhnya. Pencarian itu akan membawanya menghadapi banyak hal. Ayu dalam Torso dihadapkan pada kultur perempuan Lampung yang mesti tegak menjunjung sigernya yang berat serta menjaga penghias tubuh bahkan hingga ujung-ujung jari. Khalayak memakainya sebagai ukuran keindahan/kecantikan perempuan. 

Gerak bebas tanpa batas pasti melemparkan siger itu dari kepala dan akan merontokkan seluruh perhiasan-perhiasan yang dilekatkan pada tubuhnya oleh siapa entah, mungkin orang lain, banyak orang, atau oleh tak siapa pun, alias Ayu sendiri. Masih cantikkah dia tanpa penghias tubuh itu? Hinaan apa yang dilontarkan padanya ketika seluruh hiasan itu lepas? Haruskah kecantikan dari tembaga dan gemerincing buatan itu terus disematkan pada perempuan? Bukankah dia sejatinya diciptakan cantik dengan mahkota martabat dan hiasan ketulusan hasil pengolahan pengalaman hidupnya?

Kata kunci yang tak kutemukan pralambangnya dalam Torso atau mungkin kulewatkan karena ketidakpekaanku adalah kata negosiasi. Negosiasi muncul dalam perbincangan usai pentas, dimunculkan oleh Ayu, Rio, Gelar, Nia dan Nabila, tim utama pementasan ini. Negosiasi bisa muncul saat ada banyak pihak berada dalam satu perjumpaan perbincangan, diwakili oleh 5 orang yang berbeda ini dalam proses penggarapan karya. Sedang dalam pentas, Ayu sendirian di atas panggung dalam wadag dan bayangan. Atau, mungkin aku bisa memilah Ayu menjadi beberapa pihak yang sedang melakukan negosiasi lewat eh dalam tubuhnya. Perjumpaan perbincangan itu harus diperkuat oleh organ-organ tubuh supaya negosiasi itu benar-benar tergambar, sehingga tak dijelaskan pun kata kunci itu bisa ditangkap.

Musik yang dirancang oleh Rio tak bisa kupilah bagian per bagian. Di sana ada perpaduan gambus dan suara dari benda-benda yang ada di dalam rumah. Juga ada suara kereta api, printer, suara bising entah. Mungkinkah pada beberapa bagian suara 'domestik' dari rumah masyarakat Lampung disajikan di sini secara jernih walau tak harus menampilkan alat musik tradisional? Jika berhasil, pasti bisa membantu penonton penuh daya khayal seperti aku untuk memuaikan pikiran. Mungkin juga bisa membantu Ayu menggerakkan tubuhnya yang sejati serupa ciptaan penuh talenta, menggali dasar, sekaligus membentangkan batas lingkaran semakin tanpa batas.

Visual yang dibuat Gelar membantuku. Bayangan yang bergerak di sana menjadi bandingan yang mengikuti sepanjang pementasan. Saat Rebeka dari Kelola mengungkapkan saat pentas di Kotabumi visual itu ditembakkan pada batang pohon kelapa, aku langsung membayangkan itu bakal menguatkan perbandingan antara wadag dan bayangan. Mungkinkah memindahkan batang-batang pohon Kotabumi itu ke atas panggung? Atau mungkin perlukah dipasang lembaran-lembaran layar yang bertindak sebagai pohon?

Usai pertunjukan, aku merenung-renung soal gerak tubuh Ayu yang 'biasa'. Kenapa tidak memilih gerakan yang 'luar biasa'? Hmmm... memang sih, sekali pun lingkaran pembatas perempuan sudah hancur, pun dia tetap ada dalam batas tubuhnya. Sebebas apa pun dia ingin bergerak, tubuhnya yang terbatas tetaplah membatasi jiwa. Kehendak bebas sang jiwa, tetaplah dia dalam ikatan tubuh yang terbatas.