Buku ini menjadi buku yang paling lama menghuni ranselku di tahun ini. Setelah mendapatkannya dari Udo, dia ni ngikut ke Jakarta beberapa kali, ke Palembang dua kali, ke Kediri, Lumajang, Bandung, ... hadehhh... Kubawa kemana-mana tanpa kemajuan membaca yang berarti. Usai mendapatkannya, aku membaca cepat pada bab satu dan dua, lalu terbengkalai selama beberapa bulan. Pengantar yang ditulis Udo tak cukup membuatku bertahan membacanya.
Banyak alasan yang kubuat sehingga tak membacanya entah kemudian terseret ke buku lain, aktifitas lain, pikiran lain, dst... lamaaa.... buku ini tak terpegang, hanya tersuruk saja di lapisan dalam ransel berdampingan dengan laptop. Laptop keluar masuk ransel, buku ini tetap bertapa di dalamnya. Kalau pun tercabut keluar, lalu tersuruk lagi di dalamnya.
Aku melanjutkan membaca lagi dikit-dikit usai obrolan dengan Udo untuk urusan DKL, dan dua hari terakhir ini aku menyelesaikan membacanya secara cepat dan intens. Kesempatan yang hadir menjadi rahmat karena sungguh aku sedang tak mau mengerjakan hal-hal lain (padahal ada banyak PR deadline pekerjaan. Huft). Buku inilah tempat aku melampiaskan diri. Pelarian yang aku sungguh syukuri.
Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis bagiku malah menjadi surat cinta yang lupa dibaca. Ampun. Udooo, setelah membacanya, serius aku katakan novel ini bukan buku yang boleh diabaikan. Sudah ditulis dengan begitu 'wajar' mestinya dibaca dengan 'wajar' juga. Tapi memang aku sedang terpuruk dengan gerak yang terus berpindah secara raga maupun jiwa. Maafff yaaa...
Sooo, buku ini menjadi loncatan kenangan yang tepat sekali diberikan padaku menjelang akhir tahun saat diriku dipenuhi dengan pikiran-pikiran reflektif. Novel yang ditulis Udo Z Karzi ini membawaku pada masa lalu secara mudah karena yang terjadi jadi kisah di dalamnya sangat mirip dengan situasi dan gerakan yang kulibati tahun 90an saat jadi mahasiswa di Brawijaya Malang.
Novel ini menuliskan sosok-sosok yang mudah kukenali kemiripannya. Atau, malah sosok di dalam novel ini merupakan diriku sendiri yang setiap kali beralih peran secara dinamis. Kadang aku bisa merasakan diri sebagai Kenut, kadang aku bisa mengakui bahwa akulah Pitha, atau Vita, atau juga Tamong, bahkan aku sebagai Emak Bapak yang kecewa.
Setting situasi Unila, Lampung, Bandarlampung maupun Negarabatin, Gunung Pesagi, sangat dekat juga dengan perjalananku yang hidup di provinsi ini selama seperempat abad terakhir. Sekaligus menjalin kisah dan gambaran yang mirip dengan hidupku sebagai mahasiswa di Unibraw, maupun perempuan yang hidup di Jawa Timur, Malang maupun Kediri, Lumajang, Gunung Semeru, Kelud atau Panderman.
Nostalgia yang cocok untuk akhir tahun 2025 yang dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa sangat dinamis osial politik maupun alam murka menyemburkan bencana. Kemarahan yang dulu pernah kurasakan saat sok idealis dalam diskusi-diskusi gerakan mahasiswa, muncul lagi menjadi kemarahan dan kekecewaan yang ...'kok ya situasi ini masih sama dengan dulu'. Spontan juga mengobarkan semangat kepedulian dan solidaritas "Mari bersatu. Lawan!"
Hmmm... mungkin kobaran yang sekarang ini muncul karena Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis juga masih sama seperti kobaran sok idealis seorang mahasiswi masa lalu. Sekarang mewujud jadi percikan sok idealis seorang ibu yang lebih realistis karena sering terpuruk dalam akrobat finansial mental spiritual. Pun tetap ada 'idealisme'nya. Yakin.
Aku senang novel Udo menuliskan hal-hal yang mengobarkan 'sok' idealisme ini dalam bungkus romantisme. Dengan demikian rasa 'wajar' itu jadi lebih kuat, dan memang seperti itulah hidup manusia. Serba wajar walau pernah mengalami grafik naik turun menurut ukuran-ukuran tertentu. Tetap manusiawi.

No comments:
Post a Comment