Tuesday, December 09, 2025

Ki Dalang Muryanto: Wahyu Purba Sejati

 Lama sekali aku tidak nonton wayang secara langsung. Setelah kecanduan Ki Dalang Seno hampir di semua lakonnya setiap malam, sejak Ki Seno meninggal aku jarang sekali menonton wayang apalagi nonton wayang secara langsung. Kesempatan di Way Kandis Senin 8 Desember 2025 membuatku nonton Ki Dalang Muryanto secara penuh membawakan lakon Wahyu Purba Sejati.

Kesempatan yang menarik. Awalnya aku hanya ingin melihat bagian awal saja lalu pulang, mengingat sejak sore aku sudah menguap terus. Buttt... begitu dengar gending-gending dan juga suara suluk Ki Dalang, aku mancep di kursi. Tidak hanya sampai babak tertentu tapi sungguh-sungguh menontonnya sampai tancep kayon, sampai selesai seluruh lakon pukul empat lebih menjelang subuh.

Lakon Wahyu Purba Sejati diawali dengan kunjungan Prabu Baladewa, Raja Mandura ke Istana Kresna di Kerajaan Dwarawati. Obrolan di antara mereka yang hadir termasuk 'staf' kerajaan masing-masing. Mengemuka tentang impian Baladewa dan Kresna tentang wahyu purba sejati yang terdiri dari empat wahyu, dengan petunjuk lokasi tempat mereka bisa menemui wahyu itu, yaitu Pasarean Gondomadono (atau Gondowandono, aku tak terlalu dengar.). Wahyu Purba Sejati terdiri dari Wahyu Cahyaningrat, Wahyu Wimbaningrat, Wahyu Raksakaningrat dan Wahyu Wasesaningrat.

Paseban ini juga hangat dengan ajaran Kresna tentang paugeran hidup benar yang tak boleh jatuh pada tahu saja, tapi harus dilakukan, harus diamalkan. Dilampahi. Ini menyangkut dasar hidup secara vertikal antara manusia dengan Penciptanya, juga secara horisontal antara manusia dengan manusia. 

Di saat seperti itu, hadirlah utusan Gondoyatmo, titisan Rahwana yang meminta Wara Sembadra yang dianggap sebagai Banowati titisan Sinta. Utusan itu minta Sembadra untuk ikut bersama mereka. Tentu saja semua orang yang hadir marah terhadap utusan itu sehingga mereka terlibat dalam peperangan besar.

Dalam situasi kisruh itu, Permadi ya Arjuna didorong untuk menemukan petunjuk tentang Wahyu Purba Sejati. Arjuno menemukan Pasarean Gondomadono, di sana ada batu pangelmuan. Arjuno diijinkan oleh juru kunci pemakaman itu (seorang brahmana kera) untuk bertapa di situ.

Kresna, Baladewa dan Sembadra menyusul Arjuno tapi hanya menemukan batu pengelmuan itu. Permadi sedang dalam pertapaannya yang khusuk sehingga tidak kelihatan. Mereka bertiga melihat batu itu, memastikan mereka ingin mereguk sang wahyu. Ketika Baladewa mencoba duduk di sana, dia terlempar. Kresna yang juga merupakan titisan dewa tidak mau duduk di sana karena sebenarnya dia juga dewa sang Maha Tahu Segala. Sembadra langsung duduk di batu itu, dan dia merasakan kenyamanan. Saat itulah Sang Wahyu Wimbaningrat merasuk pada dirinya, dan menjadikannya sebagai ratu sumber para raja yang nantinya akan menguasai dunia. Dialah perempuan terberkati, untuk menurunkan para raja bijaksana di kemudian hari.

Seusai Permadi menyelesaikan tapanya, dia mendapatkan wahyu Cahyaningrat yang akan membuatnya menjadi penurun sejarah para raja. Klop dengan Sembodro. Sedangkan Kresna, dia berada dalam porsinya mendapatkan wahyu raksakaningrat yang menempatkan dirinya sebagai patih, seorang yang menjadi konsultan utama raja.

Baladewa menerima panggilan sebagai perengkuh wahyu wasesaningrat, wahyu wadat yang membuatnya jauh dari nafsu termasuk nafsu seks. Dia hidup selibat dan menghayatinya untuk kesejahteraan semua manusia.

Musuh masih ada. Gondoyatmo ya Sang Rahwana mencoba mengulang kisah penculikan. Namun Permadi dibantu dengan Anoman berhasil mengalahkan Gondoyatmo. Kematian Gondoyatmo membuat PR hidup Anoman selesai. Dia pun hidup dalam keheningan pertapaan, menunggu PR kehidupan selanjutnya yang mungkin akan datang. 

Gitu guys. Ini kuceritakan ulang berdasarkan penangkapanku yaaa. Beberapa bagian seperti menjadi potongan-potongan yang agak susah kupahami. Sepertinya Ki Dalang mengejar waktu untuk terpenuhinya lakon. Mulai telat dan ditambah banyaknya minat orang yang request lagu, perkiraanku membuat Ki Dalang memotong beberapa detil kisah.

Tapi Dalang tetap berhak menentukan kisahnya. Dan aku tetap menemukan benang merah dari kisah ini. Kerennn.
 

Sunday, December 07, 2025

SURAT CINTA UNTUK PITHAGIRAS YANG LUPA DITULIS

Buku ini menjadi buku yang paling lama menghuni ranselku di tahun ini. Setelah mendapatkannya dari Udo, dia ni ngikut ke Jakarta beberapa kali, ke Palembang dua kali, ke Kediri, Lumajang, Bandung, ... hadehhh... Kubawa kemana-mana tanpa kemajuan membaca yang berarti. Usai mendapatkannya, aku membaca cepat pada bab satu dan dua, lalu terbengkalai selama beberapa bulan. Pengantar yang ditulis Udo tak cukup membuatku bertahan membacanya. 
Banyak alasan yang kubuat sehingga tak membacanya entah kemudian terseret ke buku lain, aktifitas lain, pikiran lain, dst... lamaaa.... buku ini tak terpegang, hanya tersuruk saja di lapisan dalam ransel berdampingan dengan laptop. Laptop keluar masuk ransel, buku ini tetap bertapa di dalamnya. Kalau pun tercabut keluar, lalu tersuruk lagi di dalamnya. 
Aku melanjutkan membaca lagi dikit-dikit usai obrolan dengan Udo untuk urusan DKL, dan dua hari terakhir ini aku menyelesaikan membacanya secara cepat dan intens. Kesempatan yang hadir menjadi rahmat karena sungguh aku sedang tak mau mengerjakan hal-hal lain (padahal ada banyak PR deadline pekerjaan. Huft). Buku inilah tempat aku melampiaskan diri. Pelarian yang aku sungguh syukuri.
Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis bagiku malah menjadi surat cinta yang lupa dibaca. Ampun. Udooo, setelah membacanya, serius aku katakan novel ini bukan buku yang boleh diabaikan. Sudah ditulis dengan begitu 'wajar' mestinya dibaca dengan 'wajar' juga. Tapi memang aku sedang terpuruk dengan gerak yang terus berpindah secara raga maupun jiwa. Maafff yaaa...
Sooo, buku ini menjadi loncatan kenangan yang tepat sekali diberikan padaku menjelang akhir tahun  saat diriku dipenuhi dengan pikiran-pikiran reflektif. Novel yang ditulis Udo Z Karzi ini membawaku pada masa lalu secara mudah karena yang terjadi jadi kisah di dalamnya sangat mirip dengan situasi dan gerakan yang kulibati tahun 90an saat jadi mahasiswa di Brawijaya Malang.
Novel ini menuliskan sosok-sosok yang mudah kukenali kemiripannya. Atau, malah sosok di dalam novel ini merupakan diriku sendiri yang setiap kali beralih peran secara dinamis. Kadang aku bisa merasakan diri sebagai Kenut, kadang aku bisa mengakui bahwa akulah Pitha, atau Vita, atau juga Tamong, bahkan aku sebagai Emak Bapak yang kecewa. 
Setting situasi Unila, Lampung, Bandarlampung maupun Negarabatin, Gunung Pesagi, sangat dekat juga dengan perjalananku yang hidup di provinsi ini selama seperempat abad terakhir. Sekaligus menjalin kisah dan gambaran yang mirip dengan hidupku sebagai mahasiswa di Unibraw, maupun perempuan yang hidup di Jawa Timur, Malang maupun Kediri, Lumajang, Gunung Semeru, Kelud atau Panderman.
Nostalgia yang cocok untuk akhir tahun 2025 yang dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa sangat dinamis osial politik maupun alam murka menyemburkan bencana. Kemarahan yang dulu pernah kurasakan saat sok idealis dalam diskusi-diskusi gerakan mahasiswa, muncul lagi menjadi kemarahan dan kekecewaan yang ...'kok ya situasi ini masih sama dengan dulu'. Spontan juga mengobarkan semangat kepedulian dan solidaritas "Mari bersatu. Lawan!"
Hmmm... mungkin kobaran yang sekarang ini muncul karena Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis juga masih sama seperti kobaran sok idealis seorang mahasiswi masa lalu. Sekarang mewujud jadi percikan sok idealis seorang ibu yang lebih realistis karena sering terpuruk dalam akrobat finansial mental spiritual. Pun tetap ada 'idealisme'nya. Yakin.
Aku senang novel Udo menuliskan hal-hal yang mengobarkan 'sok' idealisme ini dalam bungkus romantisme. Dengan demikian rasa 'wajar' itu jadi lebih kuat, dan memang seperti itulah hidup manusia. Serba wajar walau pernah mengalami grafik naik turun menurut ukuran-ukuran tertentu. Tetap manusiawi.