Bernard duduk di sebelahku. Melihat ke atas dan bertanya,"Bu, bagaimana
cara menyambung kabel-kabel lampu seperti itu ya?" Aku melihat arah
pandangnya. Kabel yang menghubungkan lampu belakang rumah dengan listrik
tampak menjuntai. "Ibu tidak tahu. Tapi pasti ada caranya. Bernard
tanya bapak saja nanti. Bapak kan ahlinya."
Bernard diam sebentar
lalu berkata,"Nanti kalau aku sudah besar, aku akan jadi bapak juga.
Jadi harus tahu cara menyambung kabel."
Oh. Aku melihat wajahnya
tampak serius, jadi aku tak berani tertawa. "Ya, nanti kalau bapak
pulang, tanyalah. Tapi ndak usah buru-buru lah jadi bapaknya. Jadi anak
saja sekarang."
"Iya." Wajahnya begitu serius. Lalu dia diam lagi,
sebelum kemudian nyeletuk,"Belajar pada masa anak-anak itu seperti
mengukir batu, sedang belajar pada saat sudah tua itu sama seperti
mengukir air."
Eits. "Mengukir air kan ndak bisa, Nard." Protesku sambil mikir, nih anak sedang berpikir apa ya?
"Karena itulah, bu. Makanya belajar pada saat masih anak-anak. Seperti aku. Jadi seperti ukiran di batu. Tidak akan hilang."
"Ah, iya juga. Tapi setua ibu juga masih belajar."
"Tapi susah kan, bu? Buktinya ibu sering lupa."
"Hmmm.... ya. Mungkin sebenarnya itu bukan mengukir air, tapi pasir. Bisa, tapi mudah hilang."
Bernard manggut-manggut. "Iya kali. Pasir. Kena hujan, hilang deh."
Dia
berdiri. Memutar badan menuju sepedanya. Sebelum dia pergi aku tanya
dengan sedikit berteriak,"Nard, memang tahu dari mana itu soal mengukir
batu dan air."
"Ada ditulis di kelasku. Aku sudah membacanya di dinding sejak naik kelas 5."
Ohhh.... baiklah. Dia hilang dengan sepedanya. Aku melanjutkan merenung, berpikir soal otak airku... eh... otak pasirku. Duh.
Thursday, May 21, 2015
Wednesday, May 20, 2015
Kireji pada Haiku Denok Indriyati
Selain syarat 5 – 7 – 5 ketukan pada baitnya, adanya
kigo/penanda musim, dan syarat-syarat lain, salah satu syarat yang penting dalam haiku Jepang adalah keberadaan
kireji. Kireji dalam bahasa Inggris adalah cutting word atau diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia sebagai kata pemotong. Menurutku ini adalah bagian yang sulit
dipahami. Aku tak tahu kata pemotong dalam bahasa Indonesia itu yang seperti apa ya?
Dalam satu tulisanku tentang hal ini lewat haiku
Hikmat Gumelar aku menuliskan “Syarat berikutnya adalah adanya kireji, atau
pemotongan. Ini agak susah dibayangkan. Di banyak contoh haiku, misalnya haiku
Basho, dimanakah kirejinya? Pemotongan ini kalau kubayangkan dalam pantun
seperti pemotongan antara sampiran dan isi. Sesuatu yang tak ada hubungannya
tapi toh terkait juga.”
Rupanya hal itu tidak sesuai betul dengan arti yang
sebenarnya tentang kireji. Dalam bahasa Jepang memang ada kata-kata pemotong
yang kemudian dipakai dalam haiku untuk memberikan ruang keterlibatan bagi para
pembaca. Kata pemotong itu menjadi pemisah ada dua tema yang disandingkan
(jukstaposisi) dan pada gilirannya saat dibaca akan menjadi ruang bagi pembaca
untuk bertanya, merenung dan mengambil inspirasi yang lebih dari haiku yang
sudah dibuat.
Dari banyak sumber, dalam bahasa Inggris tidak ada
padanan yang tepat untuk hal ini. Dan karena aku tak bisa memahami bahasa
Jepang, aku juga tidak tahu apa padanan yang sesuai untuk hal ini dalam bahasa
Indonesia. Jika dalam tulisan atau pemahamanku dahulu membandingkan keberadaan ‘pemotong’
atau pemotongan ini seperti antara sampiran dan isi dalam pantun, aku masih
akan tetap menggunakannya dalam pemahaman yang tidak persis seperti itu. Aku akan
memahaminya seperti ini :
Pertama, pemotongan ini aku setarakan dengan
penyandingan dua tema yang berlainan itu dapat terlihat dalam haiku Denok
Indriyati ini.
Malam yang
redup
bulan dililit
mega
angin gelisah.
(Diposting di Haiku Nusantara pada 20 Mei 2015)
Pada baris pertama dan kedua, kita bisa melihat adanya
satu tema/ide, malam yang redup karena bulan dililit mega. Tak ada cahaya yang
tampak karena mega menutupi bulan. Itu jelasnya. Lalu masuk tema kedua pada
baris ketiga, angin gelisah. Andai tidak dipotong, antara dua baris pertama dan
baris ketiga, seharusnya ada keterangan yang panjang sebagai penghubung
keduanya. Inilah ruang yang disediakan bagi pembaca haiku Denok. Apakah yang
terjadi sehingga pada malam yang redup bulan dililit mega, membuat angin
menjadi gelisah. Mengapa terjadi begitu? Hal itu menimbulkan banyak imajinasi
tergantung dari pembacanya pernah mengalami apa, sedang mengalami apa atau
tengah membayangkan apa. Karena itulah, baris-baris dalam haiku tidak bisa
dijadikan satu kalimat, tapi selalu berupa penggalan-penggalan.
Kedua, ini tidak lepas dari keberadaan haiku sendiri
yang sangat singkat. Ruangnya yang terbatas hanya 5 – 7 – 5 ketukan, tidak
memberi keleluasaan bagi penulisnya untuk berboros kata menjelaskan secara
rinci tentang segala idenya. Pada akhirnya, justru di sinilah kekuatan haiku
itu muncul. Lukisan yang tak terbatas bisa tersampaikan dari deretan kata yang
sangat minim.
Jika kembali melihat haiku Denok, aku akan langsung
ditarik oleh kata-kata yang disusunnya dalam imajinasi yang begitu luas. Di
mana? Pada malam yang redup. Apa? Bulan dililit mega. Kapan? Saat angin
gelisah. Ketiganya adalah sumber imajinasi yang tak terhingga.
Ketiga, dugaanku ini juga ada kaitannya dengan sejarah
haiku. Konon haiku (klasik disebut hokku) awalnya dipakai sebagai pembuka atau pengantar
rangkaian sajak panjang. Sebagai pembuka atau pengantar, kubayangkan ini
sesuatu yang pendek, semacam lead dalam
tulisan jurnalistik, yang memberi ‘senyuman’ selamat datang untuk menarik
pembaca meneruskan membaca seluruh sajak.
Kalau dihubungkan dengan hal ini, kubayangkan haiku
Denok ini akan membawa kita pada pada kisah yang sangat panjang. Segala kisah
yang mungkin terjadi pada sebuah malam yang redup, bulan dililit mega, angin
gelisah. Ini adalah imajinasiku. *** (Yuli Nugrahani)
Subscribe to:
Posts (Atom)