Pagi ini aku kelimpungan terbengong di Pasar Pasir Gintung. Aku tahu lapak-lapak sekitar jalan pasar ini 'dibereskan' oleh dinas terkait. Digusur, diusir,...lalu ditendang, dirampok! Waktu itu aku ikut marah melihat kesemenaan pemerintah yang 'gagah' mengendalikan kota dengan cara 'mengusir'.
Hari ini aku merasakan akibat langsung. Jika kemarin-kemarin rasa marah itu menjadi diskusi sosial panjang lebar dengan siapa saja kelompok apa saja, sekarang rasa marah itu menyentil ruang hati yang mengendap paling bawah. Ruang yang menyimpan seluruh memori masa kecil.
Pasalnya, penjual nasi pecel dari Madiun, yang menjadi langgananku saat kangen rumah Gringging, yang menyediakan nasi pecel di pincuk dengan peyek kacang kedelai dan irisan tipis tempe, dengan bumbu pecel khas Jawa Timur, dengan sayuran hijau ditambah cambah mentah dan daun kemangi, hilang!!! Lapaknya rata tidak ada lagi. Yang ada hamparan tikar dan plastik penjual lombok, tempe dan bumbu dapur di lokasi itu. Aku berputar-putar sepanjang pasar dan tidak kutemukan ibu itu.
Laparku hilang keluar lewat keringat dan baju yang basah kuyup di pagi belum ada jam 7. Aku kebingungan di tengah pasar. Sedih dan marah.
Ya ampun. Aku keluar pasar dengan rasa kehilangan. Kehilangan sarana penghubung. Dimana aku bisa mencari nasi pecel yang bisa membawa aku ke ruang waktu di Gringging, Sembak, waktu aku masih kanak-kanak tanpa mikir masalah apapun? Entahlah, aku rupanya tetap akan butuh memory kanak-kanakku seperti itu.
Friday, November 30, 2007
Monday, November 26, 2007
Surat Cinta
Pagi ini aku dapat surat cinta dari kayu cemara. Setetes embunnya cemerlang mengenai ujung bulu mataku. Ada keindahan yang tiba-tiba membayang di bukitku yang ramai. Ya, pagiku selalu ramai dengan anak-anak sehingga kadang-kadang aku lupa bagaimana rasa hening di sudut bukit, di bawah pohon cemara, di ujung kerling matahari pagi.
Saat aku mengedip, embun itu jatuh di pipi. Berkas pagi yang selalu gatal mengganggu orang menyapa riang,"Hei, mengapa menangis?" Padahal dia tahu persis aku tidak sedang menangis. Toh embun itu juga sahabatnya.
Gerakan tanganku malah membasuhkan seluruh embun di wajahku. Basah seluruhnya oleh embun. Dan berkas pagi tertawa terbahak-bahak. Aku ikut tertawa. "Hening dalam tawa. Hahaha... ini lucu!" ujarku sambil menepuk pundak berkas pagi yang tak jemu bermuka riang. Saat berkas pagi harus pergi, hening dalam tawa di masukkan kantong di dekat jendela. "Bisa kau ambil sewaktu-waktu," katanya.
Aku lambaikan tanganku lewat jendela, memandangnya melintasi bukit dan ujung-ujung cemara. Aku mendesis di antara jemariku,"Terimakasih..."
Saat aku mengedip, embun itu jatuh di pipi. Berkas pagi yang selalu gatal mengganggu orang menyapa riang,"Hei, mengapa menangis?" Padahal dia tahu persis aku tidak sedang menangis. Toh embun itu juga sahabatnya.
Gerakan tanganku malah membasuhkan seluruh embun di wajahku. Basah seluruhnya oleh embun. Dan berkas pagi tertawa terbahak-bahak. Aku ikut tertawa. "Hening dalam tawa. Hahaha... ini lucu!" ujarku sambil menepuk pundak berkas pagi yang tak jemu bermuka riang. Saat berkas pagi harus pergi, hening dalam tawa di masukkan kantong di dekat jendela. "Bisa kau ambil sewaktu-waktu," katanya.
Aku lambaikan tanganku lewat jendela, memandangnya melintasi bukit dan ujung-ujung cemara. Aku mendesis di antara jemariku,"Terimakasih..."
Benang Kusut
Tiap bulan selalu ada saat dimana benang kusut yang besar ada di depan hidungku. Baunya bisa bermacam-macam. Yang jelas akan mengentak adrenalin dan mencipta mimpi-mimpi yang melelahkan. Dari pengalaman, selalu benang kusut itu akan dapat terurai. Dengan syarat mau mengurainya sedikit demi sedikit dengan telaten. Dan akan selalu ada benang kusut baru ketika benang yang lama sudah indah tergulung.
Akhir-akhir ini aku justru menikmati adanya benang kusut. Bahkan jika tidak kutemukan di ruang-ruang yang biasa aku tandangi, aku akan menyempatkan diri mengembara di ruang-ruang lain yang belum terjamah sehingga aku menemukan benang-benang aneka rupa yang bisa aku urai.
Kepuasan bukan hanya pada saat gulungan-gulungan tercipta. Kepuasan muncul saat tanganku menarik atau mengulur benang. Kadang-kadang ada simpul yang membutuhkan waktu lama untuk mengurainya. Biasanya akan ada seseorang yang ikut membantu dengan sukarela atau terpaksa, menyumbangkan tangan atau jarumnya. Kadang hanya sendirian aku bersimbahpeluh, karena bagi orang lain benang kusut yang sedang aku urai ini hanya buang-buang waktu.
Sesekali memang aku akan ambil jalan pintas. Memotong simpul dengan gunting yang ada di laci hatiku, lalu membuat simpul baru untuk menyambung benang. Harus dilakukan dengan hati-hati, supaya darah tidak menyembur dari benang maupun dari jariku. (Ini rahasia kita, kadang benang-benang punya darah di dalam selnya.) Memotong simpul lalu menyambung lagi selalu menimbulkan bekas, jadi ini langkah yang paling terpaksa.
Tentu saja akan sangat puas jika gulungan benang warna-warni bisa terbuat. Aku tersenyum lega di akhir tugas itu. Biasanya aku juga selalu tertarik memainkannya di tanganku, melempar dan mengelindingkannya ke mana aku ingin. Akan ada benang kusut lagi pada gulungan yang sama.
Ini biasa terjadi.
Akhir-akhir ini aku justru menikmati adanya benang kusut. Bahkan jika tidak kutemukan di ruang-ruang yang biasa aku tandangi, aku akan menyempatkan diri mengembara di ruang-ruang lain yang belum terjamah sehingga aku menemukan benang-benang aneka rupa yang bisa aku urai.
Kepuasan bukan hanya pada saat gulungan-gulungan tercipta. Kepuasan muncul saat tanganku menarik atau mengulur benang. Kadang-kadang ada simpul yang membutuhkan waktu lama untuk mengurainya. Biasanya akan ada seseorang yang ikut membantu dengan sukarela atau terpaksa, menyumbangkan tangan atau jarumnya. Kadang hanya sendirian aku bersimbahpeluh, karena bagi orang lain benang kusut yang sedang aku urai ini hanya buang-buang waktu.
Sesekali memang aku akan ambil jalan pintas. Memotong simpul dengan gunting yang ada di laci hatiku, lalu membuat simpul baru untuk menyambung benang. Harus dilakukan dengan hati-hati, supaya darah tidak menyembur dari benang maupun dari jariku. (Ini rahasia kita, kadang benang-benang punya darah di dalam selnya.) Memotong simpul lalu menyambung lagi selalu menimbulkan bekas, jadi ini langkah yang paling terpaksa.
Tentu saja akan sangat puas jika gulungan benang warna-warni bisa terbuat. Aku tersenyum lega di akhir tugas itu. Biasanya aku juga selalu tertarik memainkannya di tanganku, melempar dan mengelindingkannya ke mana aku ingin. Akan ada benang kusut lagi pada gulungan yang sama.
Ini biasa terjadi.
Monday, November 19, 2007
Bangun Kesiangan
Jaman hidup masih sendiri, di kamar kost, di kamar rumah Gringging atau dimana saja, bangun siang adalah kenikmatan. Molet panjang sambil tetap berbaring bermalasan. Jam 8, 9, 10 atau bahkan lebih tetaplah jam bangun pagi. Walau matahari sudah penuh panas di atas kepala. Selebihnya lapar dominan akan mengusik untuk jalan ke dapur, kamar mandi lalu bergegas ke warung, atau justru duduk ngelosor di ruang tamu membaca koran. Yang terakhir ini pasti terjadi jika rupanya isi dompet tidak memungkinkan. Baca koran kan bisa kenyang perut (atau mual hingga gak nafsu makan), khususe halaman 3 dan seterusnya (yang isi kriminal!)
Nah ketika sekarang ini bangun kesiangan, amboi! Mesti cepat meloncat, mandi (jika suami tersayang sudah masak nasi. Jika belum ya masak nasi secepat kilat, baru mandi), teriak sana-sini supaya Abet bangun. (Bapake yang mandiin dan nyiapin baju) Cepat membuat susu untuk anak-anak, sesegera mungkin menyiapkan semua untuk berangkat. Lalu ngebut nganter Abet ke sekolah. Pasti macet. Usai cium pipi kanan kiri, salaman, dan Abet lari ke halaman dalam sekolah, aku langsung memutar motor. Terlambat dikit, satpam akan menutup gerbang depan sehingga motor harus lewat jalan di samping gerbang, yang susah bagiku karena naik, berbelok dan sempit. Akan kena macet lagi, tapi begitu sampe di kantor, jam 7, semua akan luruh. Akan lapar tapi akan sangat tenang. Dan di depan komputer aku bisa sarapan. Sarapan sungguhan sambil makan lontong sayur, uduk atau apa saja yang bisa dimakan. Bisa juga sarapan tidak sungguhan melalap segala surat email dan berita di mirifica, detik, kompas atau mana saja. Sambil nunggu jam minum 10.00 untuk nebeng nyomot snack di sekretariat keuskupan.
Nah ketika sekarang ini bangun kesiangan, amboi! Mesti cepat meloncat, mandi (jika suami tersayang sudah masak nasi. Jika belum ya masak nasi secepat kilat, baru mandi), teriak sana-sini supaya Abet bangun. (Bapake yang mandiin dan nyiapin baju) Cepat membuat susu untuk anak-anak, sesegera mungkin menyiapkan semua untuk berangkat. Lalu ngebut nganter Abet ke sekolah. Pasti macet. Usai cium pipi kanan kiri, salaman, dan Abet lari ke halaman dalam sekolah, aku langsung memutar motor. Terlambat dikit, satpam akan menutup gerbang depan sehingga motor harus lewat jalan di samping gerbang, yang susah bagiku karena naik, berbelok dan sempit. Akan kena macet lagi, tapi begitu sampe di kantor, jam 7, semua akan luruh. Akan lapar tapi akan sangat tenang. Dan di depan komputer aku bisa sarapan. Sarapan sungguhan sambil makan lontong sayur, uduk atau apa saja yang bisa dimakan. Bisa juga sarapan tidak sungguhan melalap segala surat email dan berita di mirifica, detik, kompas atau mana saja. Sambil nunggu jam minum 10.00 untuk nebeng nyomot snack di sekretariat keuskupan.
Saturday, November 17, 2007
kumuh
Aku melewati pasar Bambu Kuning setiap kali. Beberapa hari terakhir ini sedang dibangun pagar pembatas jalan. Aku tahu maksudnya, biar tertib, rapi. Pembangunan ini menyertai penggusuran pedagang di sekitar ruas jalan dan tempat parkir.
Tapi, jalan ini adalah jalan pasar tradisional. Bapak-bapak, ibu-ibu, dapatkah anda sekalian membayangkan bagaimana becak, gerobak sayur, (pejalan kaki bisa lewat jembatan penyeberang), gerobak pedagang dan para penjual angkring ketika akan menyeberang jalan ini? Bisa dibayangkan akan lebih semrawut kota ini karena para 'pengais rejeki' itu akan mengambil jalan yang terdekat terserah mau searah atau berlawanan arah dengan arus lalu lintas.
Kenapa hal ini tidak dipikirkan? Tata kota tanpa memikirkan para 'bawah' ini sama juga menciptakan neraka. Pasti akan lebih kumuh. Coba kebutuhan-kebutuhan mereka yang pertama dirancang. Yakin, kota Tanjungkarang ini akan rapi tertib. Dan manusiawi.
Tapi, jalan ini adalah jalan pasar tradisional. Bapak-bapak, ibu-ibu, dapatkah anda sekalian membayangkan bagaimana becak, gerobak sayur, (pejalan kaki bisa lewat jembatan penyeberang), gerobak pedagang dan para penjual angkring ketika akan menyeberang jalan ini? Bisa dibayangkan akan lebih semrawut kota ini karena para 'pengais rejeki' itu akan mengambil jalan yang terdekat terserah mau searah atau berlawanan arah dengan arus lalu lintas.
Kenapa hal ini tidak dipikirkan? Tata kota tanpa memikirkan para 'bawah' ini sama juga menciptakan neraka. Pasti akan lebih kumuh. Coba kebutuhan-kebutuhan mereka yang pertama dirancang. Yakin, kota Tanjungkarang ini akan rapi tertib. Dan manusiawi.
Monday, November 12, 2007
Gundul
Mataku mengalir melihat tungkal pohon
tersisa di batas median jalan
gundul tanpa batang dan daun
antara rumah sakit hingga tengah kota
dadaku sesak membayangkan
gersang dan panas kekurangan O2 saat aku berjalan melintasi
jalan-jalan di kota tanjungkarang
aku akan rindu kesejukannya
aku akan rindu harum bunga kuning oranye
yang jika berguguran daunnya pun
menghamparkan permadani jalan ini khusus untukku
menyambutku semata
mataku mengalir
kesedihan
di saat yang sama kekecewaan
karena membayangkan orang-orang seperti apa
yang menjadi pengambil keputusan di kota ini
orang-orang yang tidak peduli pada kehidupan
adalah orang-orang penebar kematian
mengubah pepohonan menjadi ketertiban
mengubah kesejukan menjadi keramaian
dan semuanya menjadi keserakahan
aku sedih
tersisa di batas median jalan
gundul tanpa batang dan daun
antara rumah sakit hingga tengah kota
dadaku sesak membayangkan
gersang dan panas kekurangan O2 saat aku berjalan melintasi
jalan-jalan di kota tanjungkarang
aku akan rindu kesejukannya
aku akan rindu harum bunga kuning oranye
yang jika berguguran daunnya pun
menghamparkan permadani jalan ini khusus untukku
menyambutku semata
mataku mengalir
kesedihan
di saat yang sama kekecewaan
karena membayangkan orang-orang seperti apa
yang menjadi pengambil keputusan di kota ini
orang-orang yang tidak peduli pada kehidupan
adalah orang-orang penebar kematian
mengubah pepohonan menjadi ketertiban
mengubah kesejukan menjadi keramaian
dan semuanya menjadi keserakahan
aku sedih
Monday, November 05, 2007
malam takbir
Ingat bagaimana aku menghabiskan malam takbiran. Malam takbir tahun ini dengan terpaksa aku ngadain rapat sama Tim Kerja Nuntius. Tidak ada waktu lain setelah itu untuk ngumpul bersama karena agenda lebaran dll masing-masing pribadi. Rapatnya sendiri tidak ada masalah, ok diadakan pada persis malam takbiran. Ruangan AC Nuntius membungkus diri. Selesai jam 21.00 tet.
Dengan Mio-ku aku keluar kantor dengan kelegaan. Tidak lama, rasa lega karena beresnya satu agenda kerja berganti dengan kaget melihat jalan Sudirman, penuh sesak dengan motor dan truk yang penuh orang, hingar bingar. Astaga, aku lupa sama sekali kalau setiap malam takbir orang-orang akan keluar rumah untuk meneriakkan gema kemenangan.
Rasa capek sudah menggeliat di badanku karena dari jam 7 pagi aku belum pulang bahkan belum istirahat, ngejar deadline Nuntius ditambah rapat yang berat karena banyak PR belum tergarap. Tanganku kaku di setir Mio. Tidak bisa jalan. Merayap, sangat padat, bahkan berhenti dan sangat bising. Truk-truk penuh orang membawa tambur, bedug dan pengeras suara. Paduan suara Allahuakbar dari ujung ke ujung. Beberapa truk nekat membawa tape rekorder dengan musik-musik islami di setel kenceng. Aku merasa seperti kesasar di tempat asing. Bukan di Indonesia, bukan di Lampung bahkan juga bukan di Jalan Sudirman.
Rasa jengkelku aku tekan sekuatnya. Rencana untuk cari jalan alternatif aku tekan. Biarlah aku nikmati suasana ini. Dan rupanya jalur pulangku persis merupakan jalur yang dipakai oleh 'para pemenang' itu untuk berparade. Polisi-polisi memasang tali pembatas di tiap persimpangan sehingga konvoi itu lurus melewati Sudirman, Kartini, Teuku Umar, Pagar Alam tidak bisa belok kemana-mana. Belokan tunggal di Ki Maja, jalan dua jalur yang longgar menuju GOR Way Halim.
Aku terjebak dalam arak-arakan ini lebih dari satu jam! Satu jam lebih terlempar di negeri antah berantah yang aneh. Lebih aneh ketika gema Allahuakbar lambat laun menghilang diganti teriakan dan suara lain yang entah apa. Bedug dan tambur hilang di ganti bunyi petasan dan kembang api. Jilbab dan surban diganti pasangan-pasangan 'mumpung boleh keluar malam' berangkulan di sepeda motor. Gema kemenangan diganti teriakan umpatan karena badan atau kendaraan saling menyenggol. Dan lampu mati (PLN nakal lagi main-main). Aku terbawa arus ini dengan dandanan paling lengkap. Berjaket helm sarung tangan sepatu. Tidak mengerti mengapa aku ada di situ.
Dengan Mio-ku aku keluar kantor dengan kelegaan. Tidak lama, rasa lega karena beresnya satu agenda kerja berganti dengan kaget melihat jalan Sudirman, penuh sesak dengan motor dan truk yang penuh orang, hingar bingar. Astaga, aku lupa sama sekali kalau setiap malam takbir orang-orang akan keluar rumah untuk meneriakkan gema kemenangan.
Rasa capek sudah menggeliat di badanku karena dari jam 7 pagi aku belum pulang bahkan belum istirahat, ngejar deadline Nuntius ditambah rapat yang berat karena banyak PR belum tergarap. Tanganku kaku di setir Mio. Tidak bisa jalan. Merayap, sangat padat, bahkan berhenti dan sangat bising. Truk-truk penuh orang membawa tambur, bedug dan pengeras suara. Paduan suara Allahuakbar dari ujung ke ujung. Beberapa truk nekat membawa tape rekorder dengan musik-musik islami di setel kenceng. Aku merasa seperti kesasar di tempat asing. Bukan di Indonesia, bukan di Lampung bahkan juga bukan di Jalan Sudirman.
Rasa jengkelku aku tekan sekuatnya. Rencana untuk cari jalan alternatif aku tekan. Biarlah aku nikmati suasana ini. Dan rupanya jalur pulangku persis merupakan jalur yang dipakai oleh 'para pemenang' itu untuk berparade. Polisi-polisi memasang tali pembatas di tiap persimpangan sehingga konvoi itu lurus melewati Sudirman, Kartini, Teuku Umar, Pagar Alam tidak bisa belok kemana-mana. Belokan tunggal di Ki Maja, jalan dua jalur yang longgar menuju GOR Way Halim.
Aku terjebak dalam arak-arakan ini lebih dari satu jam! Satu jam lebih terlempar di negeri antah berantah yang aneh. Lebih aneh ketika gema Allahuakbar lambat laun menghilang diganti teriakan dan suara lain yang entah apa. Bedug dan tambur hilang di ganti bunyi petasan dan kembang api. Jilbab dan surban diganti pasangan-pasangan 'mumpung boleh keluar malam' berangkulan di sepeda motor. Gema kemenangan diganti teriakan umpatan karena badan atau kendaraan saling menyenggol. Dan lampu mati (PLN nakal lagi main-main). Aku terbawa arus ini dengan dandanan paling lengkap. Berjaket helm sarung tangan sepatu. Tidak mengerti mengapa aku ada di situ.
Tuesday, October 30, 2007
Yang Terlewat
Awal bekerja kembali. Selama lebaran hingga hari ini tidak ada aktifitas 'ngantor'. Yang ada adalah 'ngrumah'. Artinya hanya di rumah, bersama anak-anak dan suami. Disertai kesibukan tidak henti antara kamar, kamar mandi, dapur, halaman depan belakang, tukang sayur. Bener-bener jadi orang rumahan selama 3 minggu. Hari-hari yang hebat. Walau ternyata ketika aku cermati lagi banyak yang terlewat. Satu contoh agenda yang ingin aku kerjakan dalam masa yang lama itu adalah target membuat dua cerpen. Tidak kesampean. Yang ada adalah draft cerpen tak selesai. Menulis satu untuk Pilar itu pun pesanan. Tentang Perempuan Pekerja di Indonesia. Selesai terengah-engah pada titik hari akhir cutiku.
Astaga! Aku bayangkan andaikata sepanjang tahun aku hanya di rumah mengurus dapur kasur sumur dan pupur, apakah aku akan sempat mengerjakan sesuatu? Apakah aku akan sempat membuat 'karya'? Bagaimana para ibu hebat itu bisa melakukan seumur hidup mereka? Apakah aku akan puas dengan hidupku? Aku salut dengan para perempuan yang mengabdi karya dalam keluarga. Merekalah pahlawan.
Aku terlalu liar jika hanya untuk rumah. Tidak akan bisa hidup dalam arti sebenarnya. Jendela hidupku sudah terlanjur menerbangkan mata dan rasa mencapai pelosok-pelosok merdeka. Kakiku selalu mengajak mengarungi padang-padang di seberang.
Ah ya. Aku tidak bisa bilang anak-anak dan suamiku adalah batasanku. Tidak mau. Karena saat aku kembali kerja di kantor hari ini, aku bersyukur gembira bahwa aku punya kesempatan hidup bersama mereka. Matahari-matahari kecil yang penuh warna.
Astaga! Aku bayangkan andaikata sepanjang tahun aku hanya di rumah mengurus dapur kasur sumur dan pupur, apakah aku akan sempat mengerjakan sesuatu? Apakah aku akan sempat membuat 'karya'? Bagaimana para ibu hebat itu bisa melakukan seumur hidup mereka? Apakah aku akan puas dengan hidupku? Aku salut dengan para perempuan yang mengabdi karya dalam keluarga. Merekalah pahlawan.
Aku terlalu liar jika hanya untuk rumah. Tidak akan bisa hidup dalam arti sebenarnya. Jendela hidupku sudah terlanjur menerbangkan mata dan rasa mencapai pelosok-pelosok merdeka. Kakiku selalu mengajak mengarungi padang-padang di seberang.
Ah ya. Aku tidak bisa bilang anak-anak dan suamiku adalah batasanku. Tidak mau. Karena saat aku kembali kerja di kantor hari ini, aku bersyukur gembira bahwa aku punya kesempatan hidup bersama mereka. Matahari-matahari kecil yang penuh warna.
Saturday, October 06, 2007
Mutun Beach
Entah mengapa Mutun yang indah jadi gersang di hatiku. Orang-orang di sekitarku pun kehilanganan pendar spontan indahnya. Tapi menikmati gelora ombak yang besar dengan perahu nelayan, di ujung depan aku duduk, dengan air asin sesekali menerpa wajah, membayangkan doa di benak orang-orang itu karena ketakutan, aku jadi merasa begitu kuat.
Monday, September 24, 2007
Pantai Blebuk

Pantai Blebuk terletak di Bakauheni. Tidak sampai satu jam perjalanan dari Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, naik ojek atau mobil pribadi. Jalan sangat jelek tapi menawarkan pemandangan hijau berliku yang bervariasi : kebun pisang, kelapa, perkampungan, sawah, samar-samar laut. Pantainya sendiri masih perawan. Ada deretan potongan-potongan karang yang terhampar jadi benteng antara laut dan pantai berpasir putih. Aku dan Bernard berdiri di sana di kelilingi air, beberapa meter dari pantai. Lihat, ada burung besar melayang di atas! Dan para nelayan yang baru pulang melaut di ujung pantai sebelah sana itu mendapatkan banyak ikan karena bulan belum purnama.
Sunday, September 16, 2007
Ruang Rindu
(Punya Letto)
di daun yang ikut, mengalir lembut
terbawa sungaiku ujung mata
dan aku mulai takut terbawa cinta
menghirup rindu yang sesakkan dada
jalanku hampa dan kusentuh dia
terasa hangat o di dalam hati
kupegang erat dan kuhalangi waktu
tak urung jua kulihatnya pergi
tak pernah ku ragu dan selalu kuingat
kerlingan matamu dan sentuhan hangat
ku saat itu takut mencari makna
tumbuhkan rasa yang sesakkan dada
kau datang dan pergi o begitu saja
semua kutrima apa adanya
mata terpejam dan hati menggumam
di ruang rindu kita bertemu
di daun yang ikut, mengalir lembut
terbawa sungaiku ujung mata
dan aku mulai takut terbawa cinta
menghirup rindu yang sesakkan dada
jalanku hampa dan kusentuh dia
terasa hangat o di dalam hati
kupegang erat dan kuhalangi waktu
tak urung jua kulihatnya pergi
tak pernah ku ragu dan selalu kuingat
kerlingan matamu dan sentuhan hangat
ku saat itu takut mencari makna
tumbuhkan rasa yang sesakkan dada
kau datang dan pergi o begitu saja
semua kutrima apa adanya
mata terpejam dan hati menggumam
di ruang rindu kita bertemu
Monday, September 10, 2007
Petani Latihan Jurnalistik
21 petani dan penggeraknya berlatih tekun selama 2 hari 7-8 September lalu. Bukan latihan tentang pertanian, tapi jurnalistik. Aku mendampingi n memandu mereka, tercengang-cengang melihat semangat para bapak dan ibu itu. Acaranya sendiri diadakan oleh Lembaga Karya Bakti (LKB), n Mas Yudo meminta aku n Nuntius yang memberikan materi. Tidak banyak ngomong, aku buat satu buku kecil panduan jurnalistik. Peserta datang langsung nulis. Bahkan ketika harus keluyuran, heboh. Mereka serius deg-degan dan wawancara tukang cendol, tukang parkir dsb. Saat menceritakan pengalaman itu lebih heboh lagi.
Karena mereka berniat memantapkan jaringan dan LKB sepertinya memang menargetkan membuat majalah bagi jaringan ini, proses aku arahin untuk pengelolaan sebuah majalah alternatif bagi komunitas terbatas. Hasil akhir kerja mereka dalam kelompok lebih membuatku takjub. Masing-masing kelompok bisa membuat sebuah majalah 'boongan' dengan nama yang aku minta benar-benar berangkat dari situasi konkret jaringan mereka, motto, rubrik, hingga lau out. Calon majalah itu benar-benar mereka buat serius dengan gambar, foto dsb. Hebat! Aku menutupnya dengan :
"Kita saat ini ada di pinggiran sungai. Berniat memetik dan makan buah di hutan sejuk seberang sana. Kita sudah mengadakan pemanasan, seterusnya...terserah anda. Mau terjun berenang ke seberang, atau karena capek duduk-duduk dulu? Kalau ketiduran, ya selamat mimpi terus. Semua terserah anda."
Lalu aku serahkan ke panitia untuk pembahasan tindak lanjut. Bagiku, walau tidur minim, raga, jiwa, otak dan hati terasa sangat segar dan penuh gairah.
Karena mereka berniat memantapkan jaringan dan LKB sepertinya memang menargetkan membuat majalah bagi jaringan ini, proses aku arahin untuk pengelolaan sebuah majalah alternatif bagi komunitas terbatas. Hasil akhir kerja mereka dalam kelompok lebih membuatku takjub. Masing-masing kelompok bisa membuat sebuah majalah 'boongan' dengan nama yang aku minta benar-benar berangkat dari situasi konkret jaringan mereka, motto, rubrik, hingga lau out. Calon majalah itu benar-benar mereka buat serius dengan gambar, foto dsb. Hebat! Aku menutupnya dengan :
"Kita saat ini ada di pinggiran sungai. Berniat memetik dan makan buah di hutan sejuk seberang sana. Kita sudah mengadakan pemanasan, seterusnya...terserah anda. Mau terjun berenang ke seberang, atau karena capek duduk-duduk dulu? Kalau ketiduran, ya selamat mimpi terus. Semua terserah anda."
Lalu aku serahkan ke panitia untuk pembahasan tindak lanjut. Bagiku, walau tidur minim, raga, jiwa, otak dan hati terasa sangat segar dan penuh gairah.
Saturday, September 01, 2007
Ngeteng Slipi - Rajabasa
Pulang dari Pelatihan Kampanye di Wisma PKBI 25 - 27 Agustus, aku pulang 'ngeteng'. Naik mobil sambung-sambung. Lama sekali aku tidak melakukan ini dalam perjalanan yang agak jauh. Biasanya travel atau bis menjadi pilihan. Lebih nyaman, lebih aman. Terlebih jika bersama anak-anak. Tapi perjalanan untuk pelatihan ini sudah dipenuhi romantisme sejak dari berangkat. (Aku berangkat naik Sriwijaya Air, 30 menit sudah tiba di Sukarno-Hatta)
Menikmati lagi perjalanan seperti itu membuat pikiranku jadi mengembara kemana-mana. Berangkat dari rumah Yeni jam 4.30 sangat segar. Diantar Windra ke Slipi. Bis AC Prima Jasa sangat nyaman. Aku gak mau naik bis biasa dengan harapan sepagi mungkin tiba di Merak. Di Cilegon sempat deg-degan liat antrean panjang truk, dan bis yang aku tumpangi terjebak di tengah-tengahku. Pikirku, wah kualat deh aku sama Mas Hendro. Dari kemarin dia sudah mengingatkan kalau perjalanan laut Sunda lagi gak beres. Tapi aku gak percaya-percaya amat. Bantuan seorang petugas membuat bis bisa lepas dari jepitan truk dan keluar tol Cilegon Barat. Untung bis berhenti di SPBU. Aku yang sudah kebelet langsung loncat turun. "Cepetan ya Mbak!" Kondektur yang lagi ngecek bensin mengingatkan. Aku lari cepat ke toilet. Keluarnya, astaga, bis itu sudah jalan. Lebih cepat lagi aku lari, dibantuin orang-orang neriakin bis supaya aku tidak ditinggal. Lha tas ranselku ada di sana. Dan semua barang di dalamnya! Kantongku cuma ada beberapa receh dan HP. Ih, pak sopir cuma senyum doang.
15 ribu untuk pelayanan bis ini hingga Merak. Merak sangat tenang. Tapi gak ada kapal cepat. Jadi aku beli tiket 9 ribu untuk ferry, kelas ekonomi. Kapal sangat sepi. Bagian lampung dipenuhi mobil berdesakan, tapi penumpang sepi. Merdeka aku menikmati 'Mencintai Che" tanpa gangguan berarti. Juga sarapan pagi nasi sambel tumpang yang dibungkusin Yeni. Nasi, sambel tumpang, peyek, tahu goreng, gori rebus. Lengkap! Na, Yeni nambahin telur ceplok. Turun deh sebentar seleraku. Nasi tumpang mah gak cocok sama telur ceplok, Heng! Biar gizinya lengkap ya? Tapi telur itu yang pertama masuk perutku. Setelahnya, ehm bau sambel tumpang n pasti rasa yang lezat. Makan sampai licin tandas sampai lupa lihat sekitar ada orang yang ngiler atau gak mencium bau tempe bosok diolah pakai santan yang pasti sangat menyengat baunya.
Sesekali saja penjual tahu goreng, es, kripik hilir mudik. Terakhir si penjual es mancing obrolan. Aku tidak mood sama sekali. Tapi kasihan lihat matanya yang bosan, aku meladeni perbincangan ngalor ngidulnya. "Bosan, berbulan-bulan kerja seperti ini. Walau jurusan Merak - Bakau, aku tidak pernah menginjakkan kaki di Lampung. Kapal hanya ngedok 30 menit, langsung balik. Begitu terus. Dagangan ini sudah ada yang mengantar, jadi aku tidak perlu turun. Paling nanti pas lebaran pulang kampung. Seminggu di darat, kalau masih mau ngelanjutin kontrak, ke kapal lagi. Gak bisa sembarangan orang jualan di kapal ini. Yang pakai seragam ini yang boleh. (dia menunjuk baju hijau muda yang dikenakan). Hasil lumayan. Bisa dapat 100 ribu sehari. Dipotong makan, ah mahal sekali makan sekarang ini sekitar 10 ribu. Tiga kali sudah berapa. Belum jajan, minum, rokok. Tidur enak, tiap malam di ruang itu (dia menunjuk satu pojok berpintu). Ada 10 orang pedagang seperti aku di kapal ini. Bosen."
Dia cerita bahwa dia pernah kerja di pabrik, diphk.
Aku mengakhiri perbincangan ini setelah kapal pasang posisi untuk berlabuh. "Mari, sampai ketemu lagi." Senyumku dibalas senyumnya yang tulus. Aku rasa hormat ada dalam kepalaku dan dalam kepalanya.
Bis Bakauheni - Rajabasa sangat payah. 20 ribu ditarik dengan buru-buru tapi bis maju mundur dulu lebih dari setengah jam sebelum berangkat. Dan bis AC ini penuh sungguh-sungguh penuh. Dengan kursi tambahan di tengah. Dan penumpangnya mau! Aduh! Kakiku gak bisa lurus padahal aku sudah milih tempat depan. Soalnya ada kursi tambahan lagi di dekat pintu persis mepet kursi yang aku duduki. Mencintai Che tidak lagi meninggalkan bekas diganti penuh sesak ini. Turun di perempatan Damri, beli nasi padang. Pasti di rumah hanya ada nasi, sedang aku ingin makan lagi. Naik ojek 5000, tiba di rumah yang sepi. Kemana anak-anak? Wawak dari rumah sebelah tergopoh-gopoh. "Abet Benad ke Dira. Ulang tahun." Yach...
Menikmati lagi perjalanan seperti itu membuat pikiranku jadi mengembara kemana-mana. Berangkat dari rumah Yeni jam 4.30 sangat segar. Diantar Windra ke Slipi. Bis AC Prima Jasa sangat nyaman. Aku gak mau naik bis biasa dengan harapan sepagi mungkin tiba di Merak. Di Cilegon sempat deg-degan liat antrean panjang truk, dan bis yang aku tumpangi terjebak di tengah-tengahku. Pikirku, wah kualat deh aku sama Mas Hendro. Dari kemarin dia sudah mengingatkan kalau perjalanan laut Sunda lagi gak beres. Tapi aku gak percaya-percaya amat. Bantuan seorang petugas membuat bis bisa lepas dari jepitan truk dan keluar tol Cilegon Barat. Untung bis berhenti di SPBU. Aku yang sudah kebelet langsung loncat turun. "Cepetan ya Mbak!" Kondektur yang lagi ngecek bensin mengingatkan. Aku lari cepat ke toilet. Keluarnya, astaga, bis itu sudah jalan. Lebih cepat lagi aku lari, dibantuin orang-orang neriakin bis supaya aku tidak ditinggal. Lha tas ranselku ada di sana. Dan semua barang di dalamnya! Kantongku cuma ada beberapa receh dan HP. Ih, pak sopir cuma senyum doang.
15 ribu untuk pelayanan bis ini hingga Merak. Merak sangat tenang. Tapi gak ada kapal cepat. Jadi aku beli tiket 9 ribu untuk ferry, kelas ekonomi. Kapal sangat sepi. Bagian lampung dipenuhi mobil berdesakan, tapi penumpang sepi. Merdeka aku menikmati 'Mencintai Che" tanpa gangguan berarti. Juga sarapan pagi nasi sambel tumpang yang dibungkusin Yeni. Nasi, sambel tumpang, peyek, tahu goreng, gori rebus. Lengkap! Na, Yeni nambahin telur ceplok. Turun deh sebentar seleraku. Nasi tumpang mah gak cocok sama telur ceplok, Heng! Biar gizinya lengkap ya? Tapi telur itu yang pertama masuk perutku. Setelahnya, ehm bau sambel tumpang n pasti rasa yang lezat. Makan sampai licin tandas sampai lupa lihat sekitar ada orang yang ngiler atau gak mencium bau tempe bosok diolah pakai santan yang pasti sangat menyengat baunya.
Sesekali saja penjual tahu goreng, es, kripik hilir mudik. Terakhir si penjual es mancing obrolan. Aku tidak mood sama sekali. Tapi kasihan lihat matanya yang bosan, aku meladeni perbincangan ngalor ngidulnya. "Bosan, berbulan-bulan kerja seperti ini. Walau jurusan Merak - Bakau, aku tidak pernah menginjakkan kaki di Lampung. Kapal hanya ngedok 30 menit, langsung balik. Begitu terus. Dagangan ini sudah ada yang mengantar, jadi aku tidak perlu turun. Paling nanti pas lebaran pulang kampung. Seminggu di darat, kalau masih mau ngelanjutin kontrak, ke kapal lagi. Gak bisa sembarangan orang jualan di kapal ini. Yang pakai seragam ini yang boleh. (dia menunjuk baju hijau muda yang dikenakan). Hasil lumayan. Bisa dapat 100 ribu sehari. Dipotong makan, ah mahal sekali makan sekarang ini sekitar 10 ribu. Tiga kali sudah berapa. Belum jajan, minum, rokok. Tidur enak, tiap malam di ruang itu (dia menunjuk satu pojok berpintu). Ada 10 orang pedagang seperti aku di kapal ini. Bosen."
Dia cerita bahwa dia pernah kerja di pabrik, diphk.
Aku mengakhiri perbincangan ini setelah kapal pasang posisi untuk berlabuh. "Mari, sampai ketemu lagi." Senyumku dibalas senyumnya yang tulus. Aku rasa hormat ada dalam kepalaku dan dalam kepalanya.
Bis Bakauheni - Rajabasa sangat payah. 20 ribu ditarik dengan buru-buru tapi bis maju mundur dulu lebih dari setengah jam sebelum berangkat. Dan bis AC ini penuh sungguh-sungguh penuh. Dengan kursi tambahan di tengah. Dan penumpangnya mau! Aduh! Kakiku gak bisa lurus padahal aku sudah milih tempat depan. Soalnya ada kursi tambahan lagi di dekat pintu persis mepet kursi yang aku duduki. Mencintai Che tidak lagi meninggalkan bekas diganti penuh sesak ini. Turun di perempatan Damri, beli nasi padang. Pasti di rumah hanya ada nasi, sedang aku ingin makan lagi. Naik ojek 5000, tiba di rumah yang sepi. Kemana anak-anak? Wawak dari rumah sebelah tergopoh-gopoh. "Abet Benad ke Dira. Ulang tahun." Yach...
Friday, August 24, 2007
Naik Pesawat
Waktu aku masih kecil, pesawat adalah sebuah mimpi. Dia itu seperti salah satu benda langit yang bisa dilihat namun tidak bisa dipegang. Semacam bulan, bintang, awan, matahari, pelangi. Kalau sebuah pesawat terlihat dengan gemuruhnya, aku dan juga banyak orang lain akan keluar rumah, menyorakinya. Juga melontarkan banyak keinginan :"Njaluk duite!!!"
Ketika aku sudah gedhe, aku bilang pesawat itu sebuah bentuk 'borjuis'. Ketidakadilan! Seumur-umur aku tidak akan bisa menaikinya, dan sebagian kecil orang bisa naik berkali-kali. Pesawat adalah kesenjangan antara miskin dan kaya. Pokoke, kalau kalau bisa naik pesawat itulah orang kaya, sedang yang gak bisa naik pesawat itulah orang miskin.
Kini, saat aku menjadi ibu, rupa-rupanya aku sudah mengenalkan pesawat sebagai benda nyata pada anak-anakku. Kira-kira dua tahun lalu ketika Albert naik pesawat pertama kali, yang pertama dia lakukan adalah terus melihat ke jendela. Beberapa saat ketika pesawat sudah di ketinggian jelajah, agak tenang, dia tanya :"Bu, Tuhan ada dimana? Katanya ada di atas langit?"
Aku terbelalak tidak nyangka pertanyaan itu akan muncul. Untung dia terlalu asyik dengan pemandangan awan, sehingga jawabanku tidak terlalu penting saat itu. (Aku tahu dia masih memikirkannya, karena beberapa bulan kemudian dia menanyakan hal itu lagi.)
Bernard, anak keduaku, lebih kecil lagi saat naik pesawat dari Jakarta ke Lampung. Sampai sekarang dia selalu bilang bahwa dia pernah naik pesawat, tapi dia menandaskan ke semua orang bahwa pesawat itu tidak terbang. "Gak, gak terbang. Pesawatnya jalan!"
Nah, aku sendiri beberapa kali naik pesawat selalu menjadi 'pendoa'. Doa yang tak putus dari sebelum naik hingga mendarat lagi. Itu situasi kontrak mati, yang hanya bisa diatasi oleh Gusti. Seram. Aku hanya lakukan jika dibayari dan jika waktu sangat berarti!!
Ketika aku sudah gedhe, aku bilang pesawat itu sebuah bentuk 'borjuis'. Ketidakadilan! Seumur-umur aku tidak akan bisa menaikinya, dan sebagian kecil orang bisa naik berkali-kali. Pesawat adalah kesenjangan antara miskin dan kaya. Pokoke, kalau kalau bisa naik pesawat itulah orang kaya, sedang yang gak bisa naik pesawat itulah orang miskin.
Kini, saat aku menjadi ibu, rupa-rupanya aku sudah mengenalkan pesawat sebagai benda nyata pada anak-anakku. Kira-kira dua tahun lalu ketika Albert naik pesawat pertama kali, yang pertama dia lakukan adalah terus melihat ke jendela. Beberapa saat ketika pesawat sudah di ketinggian jelajah, agak tenang, dia tanya :"Bu, Tuhan ada dimana? Katanya ada di atas langit?"
Aku terbelalak tidak nyangka pertanyaan itu akan muncul. Untung dia terlalu asyik dengan pemandangan awan, sehingga jawabanku tidak terlalu penting saat itu. (Aku tahu dia masih memikirkannya, karena beberapa bulan kemudian dia menanyakan hal itu lagi.)
Bernard, anak keduaku, lebih kecil lagi saat naik pesawat dari Jakarta ke Lampung. Sampai sekarang dia selalu bilang bahwa dia pernah naik pesawat, tapi dia menandaskan ke semua orang bahwa pesawat itu tidak terbang. "Gak, gak terbang. Pesawatnya jalan!"
Nah, aku sendiri beberapa kali naik pesawat selalu menjadi 'pendoa'. Doa yang tak putus dari sebelum naik hingga mendarat lagi. Itu situasi kontrak mati, yang hanya bisa diatasi oleh Gusti. Seram. Aku hanya lakukan jika dibayari dan jika waktu sangat berarti!!
Thursday, August 23, 2007
kubunuh kau tuhan!!
kubunuh kau tuhan!!
yang sudah melemparkan api dalam dada terbatas ini
baranya menyengat, bukan aku ragawi
tapi membakar seluruh naluri
mengerinyut mengejang hingga tak lagi rasa
selain bakaran cinta, dan hasrat
kubunuh kau tuhan!!
jika aturan pembatas ini kau yang ciptakan
kubunuh kau tuhan!!j
ika kau syaratkan aku harus mengatur cinta
.....
Aku tulis puisi ini spontan bersumber dari banyak kata yang sudah aku baca hari ini. Gara-gara Niko lewat milist cerita dengan mengutip lengkap surat dari Lan Fang, seorang penulis. Surat ini ditujukan sebagai protes untuk Pikiran Rakyat. Aku cuplik sedikit surat itu dengan tambahan dalam kurung dariku sendiri :
......
MALAIKAT (Ditulis oleh Syaeful Badar)
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai mahluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu maut
Ke saban penjuru.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) cabang Bandung merasa “ternganggu” dengan dimuatnya puisi ini (dimuat di Pikiran Rakyat) karena memiliki tafsir yang berbeda. Dan dari sisi keimanan, DDII menganggap bahwa puisi ini “berbahaya” karena meremehkan/melecehkan esensi malaikat sebagai sesuatu yang selama ini kita sepakati bersama sebagai sesuatu yang suci. Sehingga membuat teguran keras kepada Pikiran Rakyat yang berefek Bpk. Rahim Asyik (yang mengasuk rubrik Khazanah) diberhentikan dari Pikiran Rakyat.
....
Ah, sedih berurai air mata aku di pojokan sini. Puisi! Bahkan ruang paling pribadi ini mau diotak-atik. Puisi menurutku tidak harus pakai agama, tidak mesti pakai etika atau logika. Puisi, itulah ruang dimana keliaran bisa hidup. Puisi, itu hak asasi. Puisi, deretan yang setiap manusia boleh pilih mau pakai huruf atau kata yang mana dan disusun bagaimana. Jika ada yang salah menafsirkan sebuah puisi, bukan pembuat puisi itu yang salah. Puisi mendapatkan kedalamannya hanya oleh sang pembuat. Orang lain gak usah mikir deh. Cukup rasakan! Siapa tahu bisa belajar dari sana!
yang sudah melemparkan api dalam dada terbatas ini
baranya menyengat, bukan aku ragawi
tapi membakar seluruh naluri
mengerinyut mengejang hingga tak lagi rasa
selain bakaran cinta, dan hasrat
kubunuh kau tuhan!!
jika aturan pembatas ini kau yang ciptakan
kubunuh kau tuhan!!j
ika kau syaratkan aku harus mengatur cinta
.....
Aku tulis puisi ini spontan bersumber dari banyak kata yang sudah aku baca hari ini. Gara-gara Niko lewat milist cerita dengan mengutip lengkap surat dari Lan Fang, seorang penulis. Surat ini ditujukan sebagai protes untuk Pikiran Rakyat. Aku cuplik sedikit surat itu dengan tambahan dalam kurung dariku sendiri :
......
MALAIKAT (Ditulis oleh Syaeful Badar)
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai mahluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu maut
Ke saban penjuru.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) cabang Bandung merasa “ternganggu” dengan dimuatnya puisi ini (dimuat di Pikiran Rakyat) karena memiliki tafsir yang berbeda. Dan dari sisi keimanan, DDII menganggap bahwa puisi ini “berbahaya” karena meremehkan/melecehkan esensi malaikat sebagai sesuatu yang selama ini kita sepakati bersama sebagai sesuatu yang suci. Sehingga membuat teguran keras kepada Pikiran Rakyat yang berefek Bpk. Rahim Asyik (yang mengasuk rubrik Khazanah) diberhentikan dari Pikiran Rakyat.
....
Ah, sedih berurai air mata aku di pojokan sini. Puisi! Bahkan ruang paling pribadi ini mau diotak-atik. Puisi menurutku tidak harus pakai agama, tidak mesti pakai etika atau logika. Puisi, itulah ruang dimana keliaran bisa hidup. Puisi, itu hak asasi. Puisi, deretan yang setiap manusia boleh pilih mau pakai huruf atau kata yang mana dan disusun bagaimana. Jika ada yang salah menafsirkan sebuah puisi, bukan pembuat puisi itu yang salah. Puisi mendapatkan kedalamannya hanya oleh sang pembuat. Orang lain gak usah mikir deh. Cukup rasakan! Siapa tahu bisa belajar dari sana!
Lesbi
Lesbi atau lesbian. Tema ini jarang sekali masuk dalam tema perbincangan (ku) sehari-hari. 4 -5 hari ini mengherankan, kata ini terus menerus mengusik. Aku berpikir tentang lesbi. Tentang X dan X.
Aku pengagum perempuan. Jika aku berbincang dengan seorang perempuan, aku pasti menemukan titik kecantikannya. Siapapun dia, tua atau muda, tidur atau bekerja, diam atau berbicara, tertawa atau menangis. Beberapa mempunyai porsi kecantikan yang lebih, seperti ketika aku bertemu Magdeline tadi pagi. Dia ini biarawati, dengan postur peragawati, wajah foto model. Senyumnya yang merebak mempertegas garis kecantikannya. Tapi aku juga melihat kecantikan ketika tawar menawar dengan Bik Darmi, bibi penjual sayur keliling. Tubuh gembrotnya, dengan mulut mecucu mempertahankan 6500 rupiah harga setengah kilo ikan selar, terlihat cantik dalam matahari pagi.
Aku jarang mengagumi laki-laki. Dulu aku sebut : satu-satunya kelebihan lelaki adalah bahwa dia, mereka bisa kencing di sembarang tempat. Tidak ada kelebihan lainnya. Puhh...
Idola pernah ada, misal Lupus, aku idolakan ketika aku remaja. Ketika sadar Pri pacar pertamaku tidak mirip Lupus, aku putusin dia. Sin lebih mirip, tapi polahnya tidak. Maka aku diputusin. Hehehe... Dekade berikutnya aku mengidolakan Iwan Fals. Maka aku jatuh kepayang pada Opi, yang rambutnya mirip Iwan. Ketika rambutnya digundul, ya... putus dong. Wong cuma mau mainan rambut doang. Lalu untung aku juga mengidolakan Yesus. Maka aku berani ambil keputusan soal Hendro sebagai suami, sehidup semati. Bukan karena dia mirip Yesus. Tapi karena aku yang mau seperti Yesus. (Heih, mimpi!) Aku pikir-pikir mereka yang pernah aku idolakan adalah lelaki berambut panjang, dengan raut yang lembut. Ciri yang juga dipunyai perempuan kebanyakan.
Aku yakini aku bukan lesbi. Aku merasakan kepenuhan hati, jiwa dan raga bersama Hendro. Apakah aku juga lesbi? Jika dikatakan lesbi adalah orientasi seksualnya, maka aku pasti bukan lesbi. Tapi orientasi cintaku tidak pernah melihat jenis kelamin. Maka, karena aku mengagumi perempuan lebih banyak, maka aku mencintai perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Melihat perempuan sama dengan melihat diriku sendiri.
Apakah lesbi itu ada di setiap perempuan? Aku tidak yakin. Juga kalau aku ditanya apakah aku pernah lesbi. Apakah lesbi ini kata sifat yang bisa berubah menurut masa? Apakah aku bisa menjadi lesbi ketika aku mencintai perempuan? Apakah kalau menjadi lesbi maka bukan lagi perempuan, atau menjadi selalu perempuan?
Jika aku melihat X dan X, aku tidak melihat ketidakwajaran. Mereka manusia yang berkualitas dengan level yang tinggi. Mereka juga membantu banyak orang untuk mengembangkan diri. Mereka tidak egois. Dan mereka menyebut penuh percaya diri :"Aku lesbi!"
Aku pengagum perempuan. Jika aku berbincang dengan seorang perempuan, aku pasti menemukan titik kecantikannya. Siapapun dia, tua atau muda, tidur atau bekerja, diam atau berbicara, tertawa atau menangis. Beberapa mempunyai porsi kecantikan yang lebih, seperti ketika aku bertemu Magdeline tadi pagi. Dia ini biarawati, dengan postur peragawati, wajah foto model. Senyumnya yang merebak mempertegas garis kecantikannya. Tapi aku juga melihat kecantikan ketika tawar menawar dengan Bik Darmi, bibi penjual sayur keliling. Tubuh gembrotnya, dengan mulut mecucu mempertahankan 6500 rupiah harga setengah kilo ikan selar, terlihat cantik dalam matahari pagi.
Aku jarang mengagumi laki-laki. Dulu aku sebut : satu-satunya kelebihan lelaki adalah bahwa dia, mereka bisa kencing di sembarang tempat. Tidak ada kelebihan lainnya. Puhh...
Idola pernah ada, misal Lupus, aku idolakan ketika aku remaja. Ketika sadar Pri pacar pertamaku tidak mirip Lupus, aku putusin dia. Sin lebih mirip, tapi polahnya tidak. Maka aku diputusin. Hehehe... Dekade berikutnya aku mengidolakan Iwan Fals. Maka aku jatuh kepayang pada Opi, yang rambutnya mirip Iwan. Ketika rambutnya digundul, ya... putus dong. Wong cuma mau mainan rambut doang. Lalu untung aku juga mengidolakan Yesus. Maka aku berani ambil keputusan soal Hendro sebagai suami, sehidup semati. Bukan karena dia mirip Yesus. Tapi karena aku yang mau seperti Yesus. (Heih, mimpi!) Aku pikir-pikir mereka yang pernah aku idolakan adalah lelaki berambut panjang, dengan raut yang lembut. Ciri yang juga dipunyai perempuan kebanyakan.
Aku yakini aku bukan lesbi. Aku merasakan kepenuhan hati, jiwa dan raga bersama Hendro. Apakah aku juga lesbi? Jika dikatakan lesbi adalah orientasi seksualnya, maka aku pasti bukan lesbi. Tapi orientasi cintaku tidak pernah melihat jenis kelamin. Maka, karena aku mengagumi perempuan lebih banyak, maka aku mencintai perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Melihat perempuan sama dengan melihat diriku sendiri.
Apakah lesbi itu ada di setiap perempuan? Aku tidak yakin. Juga kalau aku ditanya apakah aku pernah lesbi. Apakah lesbi ini kata sifat yang bisa berubah menurut masa? Apakah aku bisa menjadi lesbi ketika aku mencintai perempuan? Apakah kalau menjadi lesbi maka bukan lagi perempuan, atau menjadi selalu perempuan?
Jika aku melihat X dan X, aku tidak melihat ketidakwajaran. Mereka manusia yang berkualitas dengan level yang tinggi. Mereka juga membantu banyak orang untuk mengembangkan diri. Mereka tidak egois. Dan mereka menyebut penuh percaya diri :"Aku lesbi!"
Friday, August 10, 2007
Pagi cerah, tidak gerimis dan hujan. Salut pada pak polisi yang memakai tubuhnya sebagai tameng bagi anak-anak sekolah yang terburu-buru tidak mau telat masuk kelas. Mereka stop kendaraan supaya anak-anak itu bisa menyeberang.
Sayang aku belum menemukan hal lain selain itu untuk hormat tegak padamu, polisi.
(Bahkan jika pagi gerimis, mereka tidak tampak!)
Sayang aku belum menemukan hal lain selain itu untuk hormat tegak padamu, polisi.
(Bahkan jika pagi gerimis, mereka tidak tampak!)
Saturday, August 04, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)