Awal bekerja kembali. Selama lebaran hingga hari ini tidak ada aktifitas 'ngantor'. Yang ada adalah 'ngrumah'. Artinya hanya di rumah, bersama anak-anak dan suami. Disertai kesibukan tidak henti antara kamar, kamar mandi, dapur, halaman depan belakang, tukang sayur. Bener-bener jadi orang rumahan selama 3 minggu. Hari-hari yang hebat. Walau ternyata ketika aku cermati lagi banyak yang terlewat. Satu contoh agenda yang ingin aku kerjakan dalam masa yang lama itu adalah target membuat dua cerpen. Tidak kesampean. Yang ada adalah draft cerpen tak selesai. Menulis satu untuk Pilar itu pun pesanan. Tentang Perempuan Pekerja di Indonesia. Selesai terengah-engah pada titik hari akhir cutiku.
Astaga! Aku bayangkan andaikata sepanjang tahun aku hanya di rumah mengurus dapur kasur sumur dan pupur, apakah aku akan sempat mengerjakan sesuatu? Apakah aku akan sempat membuat 'karya'? Bagaimana para ibu hebat itu bisa melakukan seumur hidup mereka? Apakah aku akan puas dengan hidupku? Aku salut dengan para perempuan yang mengabdi karya dalam keluarga. Merekalah pahlawan.
Aku terlalu liar jika hanya untuk rumah. Tidak akan bisa hidup dalam arti sebenarnya. Jendela hidupku sudah terlanjur menerbangkan mata dan rasa mencapai pelosok-pelosok merdeka. Kakiku selalu mengajak mengarungi padang-padang di seberang.
Ah ya. Aku tidak bisa bilang anak-anak dan suamiku adalah batasanku. Tidak mau. Karena saat aku kembali kerja di kantor hari ini, aku bersyukur gembira bahwa aku punya kesempatan hidup bersama mereka. Matahari-matahari kecil yang penuh warna.
Tuesday, October 30, 2007
Saturday, October 06, 2007
Mutun Beach
Entah mengapa Mutun yang indah jadi gersang di hatiku. Orang-orang di sekitarku pun kehilanganan pendar spontan indahnya. Tapi menikmati gelora ombak yang besar dengan perahu nelayan, di ujung depan aku duduk, dengan air asin sesekali menerpa wajah, membayangkan doa di benak orang-orang itu karena ketakutan, aku jadi merasa begitu kuat.
Monday, September 24, 2007
Pantai Blebuk

Pantai Blebuk terletak di Bakauheni. Tidak sampai satu jam perjalanan dari Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, naik ojek atau mobil pribadi. Jalan sangat jelek tapi menawarkan pemandangan hijau berliku yang bervariasi : kebun pisang, kelapa, perkampungan, sawah, samar-samar laut. Pantainya sendiri masih perawan. Ada deretan potongan-potongan karang yang terhampar jadi benteng antara laut dan pantai berpasir putih. Aku dan Bernard berdiri di sana di kelilingi air, beberapa meter dari pantai. Lihat, ada burung besar melayang di atas! Dan para nelayan yang baru pulang melaut di ujung pantai sebelah sana itu mendapatkan banyak ikan karena bulan belum purnama.
Sunday, September 16, 2007
Ruang Rindu
(Punya Letto)
di daun yang ikut, mengalir lembut
terbawa sungaiku ujung mata
dan aku mulai takut terbawa cinta
menghirup rindu yang sesakkan dada
jalanku hampa dan kusentuh dia
terasa hangat o di dalam hati
kupegang erat dan kuhalangi waktu
tak urung jua kulihatnya pergi
tak pernah ku ragu dan selalu kuingat
kerlingan matamu dan sentuhan hangat
ku saat itu takut mencari makna
tumbuhkan rasa yang sesakkan dada
kau datang dan pergi o begitu saja
semua kutrima apa adanya
mata terpejam dan hati menggumam
di ruang rindu kita bertemu
di daun yang ikut, mengalir lembut
terbawa sungaiku ujung mata
dan aku mulai takut terbawa cinta
menghirup rindu yang sesakkan dada
jalanku hampa dan kusentuh dia
terasa hangat o di dalam hati
kupegang erat dan kuhalangi waktu
tak urung jua kulihatnya pergi
tak pernah ku ragu dan selalu kuingat
kerlingan matamu dan sentuhan hangat
ku saat itu takut mencari makna
tumbuhkan rasa yang sesakkan dada
kau datang dan pergi o begitu saja
semua kutrima apa adanya
mata terpejam dan hati menggumam
di ruang rindu kita bertemu
Monday, September 10, 2007
Petani Latihan Jurnalistik
21 petani dan penggeraknya berlatih tekun selama 2 hari 7-8 September lalu. Bukan latihan tentang pertanian, tapi jurnalistik. Aku mendampingi n memandu mereka, tercengang-cengang melihat semangat para bapak dan ibu itu. Acaranya sendiri diadakan oleh Lembaga Karya Bakti (LKB), n Mas Yudo meminta aku n Nuntius yang memberikan materi. Tidak banyak ngomong, aku buat satu buku kecil panduan jurnalistik. Peserta datang langsung nulis. Bahkan ketika harus keluyuran, heboh. Mereka serius deg-degan dan wawancara tukang cendol, tukang parkir dsb. Saat menceritakan pengalaman itu lebih heboh lagi.
Karena mereka berniat memantapkan jaringan dan LKB sepertinya memang menargetkan membuat majalah bagi jaringan ini, proses aku arahin untuk pengelolaan sebuah majalah alternatif bagi komunitas terbatas. Hasil akhir kerja mereka dalam kelompok lebih membuatku takjub. Masing-masing kelompok bisa membuat sebuah majalah 'boongan' dengan nama yang aku minta benar-benar berangkat dari situasi konkret jaringan mereka, motto, rubrik, hingga lau out. Calon majalah itu benar-benar mereka buat serius dengan gambar, foto dsb. Hebat! Aku menutupnya dengan :
"Kita saat ini ada di pinggiran sungai. Berniat memetik dan makan buah di hutan sejuk seberang sana. Kita sudah mengadakan pemanasan, seterusnya...terserah anda. Mau terjun berenang ke seberang, atau karena capek duduk-duduk dulu? Kalau ketiduran, ya selamat mimpi terus. Semua terserah anda."
Lalu aku serahkan ke panitia untuk pembahasan tindak lanjut. Bagiku, walau tidur minim, raga, jiwa, otak dan hati terasa sangat segar dan penuh gairah.
Karena mereka berniat memantapkan jaringan dan LKB sepertinya memang menargetkan membuat majalah bagi jaringan ini, proses aku arahin untuk pengelolaan sebuah majalah alternatif bagi komunitas terbatas. Hasil akhir kerja mereka dalam kelompok lebih membuatku takjub. Masing-masing kelompok bisa membuat sebuah majalah 'boongan' dengan nama yang aku minta benar-benar berangkat dari situasi konkret jaringan mereka, motto, rubrik, hingga lau out. Calon majalah itu benar-benar mereka buat serius dengan gambar, foto dsb. Hebat! Aku menutupnya dengan :
"Kita saat ini ada di pinggiran sungai. Berniat memetik dan makan buah di hutan sejuk seberang sana. Kita sudah mengadakan pemanasan, seterusnya...terserah anda. Mau terjun berenang ke seberang, atau karena capek duduk-duduk dulu? Kalau ketiduran, ya selamat mimpi terus. Semua terserah anda."
Lalu aku serahkan ke panitia untuk pembahasan tindak lanjut. Bagiku, walau tidur minim, raga, jiwa, otak dan hati terasa sangat segar dan penuh gairah.
Saturday, September 01, 2007
Ngeteng Slipi - Rajabasa
Pulang dari Pelatihan Kampanye di Wisma PKBI 25 - 27 Agustus, aku pulang 'ngeteng'. Naik mobil sambung-sambung. Lama sekali aku tidak melakukan ini dalam perjalanan yang agak jauh. Biasanya travel atau bis menjadi pilihan. Lebih nyaman, lebih aman. Terlebih jika bersama anak-anak. Tapi perjalanan untuk pelatihan ini sudah dipenuhi romantisme sejak dari berangkat. (Aku berangkat naik Sriwijaya Air, 30 menit sudah tiba di Sukarno-Hatta)
Menikmati lagi perjalanan seperti itu membuat pikiranku jadi mengembara kemana-mana. Berangkat dari rumah Yeni jam 4.30 sangat segar. Diantar Windra ke Slipi. Bis AC Prima Jasa sangat nyaman. Aku gak mau naik bis biasa dengan harapan sepagi mungkin tiba di Merak. Di Cilegon sempat deg-degan liat antrean panjang truk, dan bis yang aku tumpangi terjebak di tengah-tengahku. Pikirku, wah kualat deh aku sama Mas Hendro. Dari kemarin dia sudah mengingatkan kalau perjalanan laut Sunda lagi gak beres. Tapi aku gak percaya-percaya amat. Bantuan seorang petugas membuat bis bisa lepas dari jepitan truk dan keluar tol Cilegon Barat. Untung bis berhenti di SPBU. Aku yang sudah kebelet langsung loncat turun. "Cepetan ya Mbak!" Kondektur yang lagi ngecek bensin mengingatkan. Aku lari cepat ke toilet. Keluarnya, astaga, bis itu sudah jalan. Lebih cepat lagi aku lari, dibantuin orang-orang neriakin bis supaya aku tidak ditinggal. Lha tas ranselku ada di sana. Dan semua barang di dalamnya! Kantongku cuma ada beberapa receh dan HP. Ih, pak sopir cuma senyum doang.
15 ribu untuk pelayanan bis ini hingga Merak. Merak sangat tenang. Tapi gak ada kapal cepat. Jadi aku beli tiket 9 ribu untuk ferry, kelas ekonomi. Kapal sangat sepi. Bagian lampung dipenuhi mobil berdesakan, tapi penumpang sepi. Merdeka aku menikmati 'Mencintai Che" tanpa gangguan berarti. Juga sarapan pagi nasi sambel tumpang yang dibungkusin Yeni. Nasi, sambel tumpang, peyek, tahu goreng, gori rebus. Lengkap! Na, Yeni nambahin telur ceplok. Turun deh sebentar seleraku. Nasi tumpang mah gak cocok sama telur ceplok, Heng! Biar gizinya lengkap ya? Tapi telur itu yang pertama masuk perutku. Setelahnya, ehm bau sambel tumpang n pasti rasa yang lezat. Makan sampai licin tandas sampai lupa lihat sekitar ada orang yang ngiler atau gak mencium bau tempe bosok diolah pakai santan yang pasti sangat menyengat baunya.
Sesekali saja penjual tahu goreng, es, kripik hilir mudik. Terakhir si penjual es mancing obrolan. Aku tidak mood sama sekali. Tapi kasihan lihat matanya yang bosan, aku meladeni perbincangan ngalor ngidulnya. "Bosan, berbulan-bulan kerja seperti ini. Walau jurusan Merak - Bakau, aku tidak pernah menginjakkan kaki di Lampung. Kapal hanya ngedok 30 menit, langsung balik. Begitu terus. Dagangan ini sudah ada yang mengantar, jadi aku tidak perlu turun. Paling nanti pas lebaran pulang kampung. Seminggu di darat, kalau masih mau ngelanjutin kontrak, ke kapal lagi. Gak bisa sembarangan orang jualan di kapal ini. Yang pakai seragam ini yang boleh. (dia menunjuk baju hijau muda yang dikenakan). Hasil lumayan. Bisa dapat 100 ribu sehari. Dipotong makan, ah mahal sekali makan sekarang ini sekitar 10 ribu. Tiga kali sudah berapa. Belum jajan, minum, rokok. Tidur enak, tiap malam di ruang itu (dia menunjuk satu pojok berpintu). Ada 10 orang pedagang seperti aku di kapal ini. Bosen."
Dia cerita bahwa dia pernah kerja di pabrik, diphk.
Aku mengakhiri perbincangan ini setelah kapal pasang posisi untuk berlabuh. "Mari, sampai ketemu lagi." Senyumku dibalas senyumnya yang tulus. Aku rasa hormat ada dalam kepalaku dan dalam kepalanya.
Bis Bakauheni - Rajabasa sangat payah. 20 ribu ditarik dengan buru-buru tapi bis maju mundur dulu lebih dari setengah jam sebelum berangkat. Dan bis AC ini penuh sungguh-sungguh penuh. Dengan kursi tambahan di tengah. Dan penumpangnya mau! Aduh! Kakiku gak bisa lurus padahal aku sudah milih tempat depan. Soalnya ada kursi tambahan lagi di dekat pintu persis mepet kursi yang aku duduki. Mencintai Che tidak lagi meninggalkan bekas diganti penuh sesak ini. Turun di perempatan Damri, beli nasi padang. Pasti di rumah hanya ada nasi, sedang aku ingin makan lagi. Naik ojek 5000, tiba di rumah yang sepi. Kemana anak-anak? Wawak dari rumah sebelah tergopoh-gopoh. "Abet Benad ke Dira. Ulang tahun." Yach...
Menikmati lagi perjalanan seperti itu membuat pikiranku jadi mengembara kemana-mana. Berangkat dari rumah Yeni jam 4.30 sangat segar. Diantar Windra ke Slipi. Bis AC Prima Jasa sangat nyaman. Aku gak mau naik bis biasa dengan harapan sepagi mungkin tiba di Merak. Di Cilegon sempat deg-degan liat antrean panjang truk, dan bis yang aku tumpangi terjebak di tengah-tengahku. Pikirku, wah kualat deh aku sama Mas Hendro. Dari kemarin dia sudah mengingatkan kalau perjalanan laut Sunda lagi gak beres. Tapi aku gak percaya-percaya amat. Bantuan seorang petugas membuat bis bisa lepas dari jepitan truk dan keluar tol Cilegon Barat. Untung bis berhenti di SPBU. Aku yang sudah kebelet langsung loncat turun. "Cepetan ya Mbak!" Kondektur yang lagi ngecek bensin mengingatkan. Aku lari cepat ke toilet. Keluarnya, astaga, bis itu sudah jalan. Lebih cepat lagi aku lari, dibantuin orang-orang neriakin bis supaya aku tidak ditinggal. Lha tas ranselku ada di sana. Dan semua barang di dalamnya! Kantongku cuma ada beberapa receh dan HP. Ih, pak sopir cuma senyum doang.
15 ribu untuk pelayanan bis ini hingga Merak. Merak sangat tenang. Tapi gak ada kapal cepat. Jadi aku beli tiket 9 ribu untuk ferry, kelas ekonomi. Kapal sangat sepi. Bagian lampung dipenuhi mobil berdesakan, tapi penumpang sepi. Merdeka aku menikmati 'Mencintai Che" tanpa gangguan berarti. Juga sarapan pagi nasi sambel tumpang yang dibungkusin Yeni. Nasi, sambel tumpang, peyek, tahu goreng, gori rebus. Lengkap! Na, Yeni nambahin telur ceplok. Turun deh sebentar seleraku. Nasi tumpang mah gak cocok sama telur ceplok, Heng! Biar gizinya lengkap ya? Tapi telur itu yang pertama masuk perutku. Setelahnya, ehm bau sambel tumpang n pasti rasa yang lezat. Makan sampai licin tandas sampai lupa lihat sekitar ada orang yang ngiler atau gak mencium bau tempe bosok diolah pakai santan yang pasti sangat menyengat baunya.
Sesekali saja penjual tahu goreng, es, kripik hilir mudik. Terakhir si penjual es mancing obrolan. Aku tidak mood sama sekali. Tapi kasihan lihat matanya yang bosan, aku meladeni perbincangan ngalor ngidulnya. "Bosan, berbulan-bulan kerja seperti ini. Walau jurusan Merak - Bakau, aku tidak pernah menginjakkan kaki di Lampung. Kapal hanya ngedok 30 menit, langsung balik. Begitu terus. Dagangan ini sudah ada yang mengantar, jadi aku tidak perlu turun. Paling nanti pas lebaran pulang kampung. Seminggu di darat, kalau masih mau ngelanjutin kontrak, ke kapal lagi. Gak bisa sembarangan orang jualan di kapal ini. Yang pakai seragam ini yang boleh. (dia menunjuk baju hijau muda yang dikenakan). Hasil lumayan. Bisa dapat 100 ribu sehari. Dipotong makan, ah mahal sekali makan sekarang ini sekitar 10 ribu. Tiga kali sudah berapa. Belum jajan, minum, rokok. Tidur enak, tiap malam di ruang itu (dia menunjuk satu pojok berpintu). Ada 10 orang pedagang seperti aku di kapal ini. Bosen."
Dia cerita bahwa dia pernah kerja di pabrik, diphk.
Aku mengakhiri perbincangan ini setelah kapal pasang posisi untuk berlabuh. "Mari, sampai ketemu lagi." Senyumku dibalas senyumnya yang tulus. Aku rasa hormat ada dalam kepalaku dan dalam kepalanya.
Bis Bakauheni - Rajabasa sangat payah. 20 ribu ditarik dengan buru-buru tapi bis maju mundur dulu lebih dari setengah jam sebelum berangkat. Dan bis AC ini penuh sungguh-sungguh penuh. Dengan kursi tambahan di tengah. Dan penumpangnya mau! Aduh! Kakiku gak bisa lurus padahal aku sudah milih tempat depan. Soalnya ada kursi tambahan lagi di dekat pintu persis mepet kursi yang aku duduki. Mencintai Che tidak lagi meninggalkan bekas diganti penuh sesak ini. Turun di perempatan Damri, beli nasi padang. Pasti di rumah hanya ada nasi, sedang aku ingin makan lagi. Naik ojek 5000, tiba di rumah yang sepi. Kemana anak-anak? Wawak dari rumah sebelah tergopoh-gopoh. "Abet Benad ke Dira. Ulang tahun." Yach...
Friday, August 24, 2007
Naik Pesawat
Waktu aku masih kecil, pesawat adalah sebuah mimpi. Dia itu seperti salah satu benda langit yang bisa dilihat namun tidak bisa dipegang. Semacam bulan, bintang, awan, matahari, pelangi. Kalau sebuah pesawat terlihat dengan gemuruhnya, aku dan juga banyak orang lain akan keluar rumah, menyorakinya. Juga melontarkan banyak keinginan :"Njaluk duite!!!"
Ketika aku sudah gedhe, aku bilang pesawat itu sebuah bentuk 'borjuis'. Ketidakadilan! Seumur-umur aku tidak akan bisa menaikinya, dan sebagian kecil orang bisa naik berkali-kali. Pesawat adalah kesenjangan antara miskin dan kaya. Pokoke, kalau kalau bisa naik pesawat itulah orang kaya, sedang yang gak bisa naik pesawat itulah orang miskin.
Kini, saat aku menjadi ibu, rupa-rupanya aku sudah mengenalkan pesawat sebagai benda nyata pada anak-anakku. Kira-kira dua tahun lalu ketika Albert naik pesawat pertama kali, yang pertama dia lakukan adalah terus melihat ke jendela. Beberapa saat ketika pesawat sudah di ketinggian jelajah, agak tenang, dia tanya :"Bu, Tuhan ada dimana? Katanya ada di atas langit?"
Aku terbelalak tidak nyangka pertanyaan itu akan muncul. Untung dia terlalu asyik dengan pemandangan awan, sehingga jawabanku tidak terlalu penting saat itu. (Aku tahu dia masih memikirkannya, karena beberapa bulan kemudian dia menanyakan hal itu lagi.)
Bernard, anak keduaku, lebih kecil lagi saat naik pesawat dari Jakarta ke Lampung. Sampai sekarang dia selalu bilang bahwa dia pernah naik pesawat, tapi dia menandaskan ke semua orang bahwa pesawat itu tidak terbang. "Gak, gak terbang. Pesawatnya jalan!"
Nah, aku sendiri beberapa kali naik pesawat selalu menjadi 'pendoa'. Doa yang tak putus dari sebelum naik hingga mendarat lagi. Itu situasi kontrak mati, yang hanya bisa diatasi oleh Gusti. Seram. Aku hanya lakukan jika dibayari dan jika waktu sangat berarti!!
Ketika aku sudah gedhe, aku bilang pesawat itu sebuah bentuk 'borjuis'. Ketidakadilan! Seumur-umur aku tidak akan bisa menaikinya, dan sebagian kecil orang bisa naik berkali-kali. Pesawat adalah kesenjangan antara miskin dan kaya. Pokoke, kalau kalau bisa naik pesawat itulah orang kaya, sedang yang gak bisa naik pesawat itulah orang miskin.
Kini, saat aku menjadi ibu, rupa-rupanya aku sudah mengenalkan pesawat sebagai benda nyata pada anak-anakku. Kira-kira dua tahun lalu ketika Albert naik pesawat pertama kali, yang pertama dia lakukan adalah terus melihat ke jendela. Beberapa saat ketika pesawat sudah di ketinggian jelajah, agak tenang, dia tanya :"Bu, Tuhan ada dimana? Katanya ada di atas langit?"
Aku terbelalak tidak nyangka pertanyaan itu akan muncul. Untung dia terlalu asyik dengan pemandangan awan, sehingga jawabanku tidak terlalu penting saat itu. (Aku tahu dia masih memikirkannya, karena beberapa bulan kemudian dia menanyakan hal itu lagi.)
Bernard, anak keduaku, lebih kecil lagi saat naik pesawat dari Jakarta ke Lampung. Sampai sekarang dia selalu bilang bahwa dia pernah naik pesawat, tapi dia menandaskan ke semua orang bahwa pesawat itu tidak terbang. "Gak, gak terbang. Pesawatnya jalan!"
Nah, aku sendiri beberapa kali naik pesawat selalu menjadi 'pendoa'. Doa yang tak putus dari sebelum naik hingga mendarat lagi. Itu situasi kontrak mati, yang hanya bisa diatasi oleh Gusti. Seram. Aku hanya lakukan jika dibayari dan jika waktu sangat berarti!!
Thursday, August 23, 2007
kubunuh kau tuhan!!
kubunuh kau tuhan!!
yang sudah melemparkan api dalam dada terbatas ini
baranya menyengat, bukan aku ragawi
tapi membakar seluruh naluri
mengerinyut mengejang hingga tak lagi rasa
selain bakaran cinta, dan hasrat
kubunuh kau tuhan!!
jika aturan pembatas ini kau yang ciptakan
kubunuh kau tuhan!!j
ika kau syaratkan aku harus mengatur cinta
.....
Aku tulis puisi ini spontan bersumber dari banyak kata yang sudah aku baca hari ini. Gara-gara Niko lewat milist cerita dengan mengutip lengkap surat dari Lan Fang, seorang penulis. Surat ini ditujukan sebagai protes untuk Pikiran Rakyat. Aku cuplik sedikit surat itu dengan tambahan dalam kurung dariku sendiri :
......
MALAIKAT (Ditulis oleh Syaeful Badar)
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai mahluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu maut
Ke saban penjuru.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) cabang Bandung merasa “ternganggu” dengan dimuatnya puisi ini (dimuat di Pikiran Rakyat) karena memiliki tafsir yang berbeda. Dan dari sisi keimanan, DDII menganggap bahwa puisi ini “berbahaya” karena meremehkan/melecehkan esensi malaikat sebagai sesuatu yang selama ini kita sepakati bersama sebagai sesuatu yang suci. Sehingga membuat teguran keras kepada Pikiran Rakyat yang berefek Bpk. Rahim Asyik (yang mengasuk rubrik Khazanah) diberhentikan dari Pikiran Rakyat.
....
Ah, sedih berurai air mata aku di pojokan sini. Puisi! Bahkan ruang paling pribadi ini mau diotak-atik. Puisi menurutku tidak harus pakai agama, tidak mesti pakai etika atau logika. Puisi, itulah ruang dimana keliaran bisa hidup. Puisi, itu hak asasi. Puisi, deretan yang setiap manusia boleh pilih mau pakai huruf atau kata yang mana dan disusun bagaimana. Jika ada yang salah menafsirkan sebuah puisi, bukan pembuat puisi itu yang salah. Puisi mendapatkan kedalamannya hanya oleh sang pembuat. Orang lain gak usah mikir deh. Cukup rasakan! Siapa tahu bisa belajar dari sana!
yang sudah melemparkan api dalam dada terbatas ini
baranya menyengat, bukan aku ragawi
tapi membakar seluruh naluri
mengerinyut mengejang hingga tak lagi rasa
selain bakaran cinta, dan hasrat
kubunuh kau tuhan!!
jika aturan pembatas ini kau yang ciptakan
kubunuh kau tuhan!!j
ika kau syaratkan aku harus mengatur cinta
.....
Aku tulis puisi ini spontan bersumber dari banyak kata yang sudah aku baca hari ini. Gara-gara Niko lewat milist cerita dengan mengutip lengkap surat dari Lan Fang, seorang penulis. Surat ini ditujukan sebagai protes untuk Pikiran Rakyat. Aku cuplik sedikit surat itu dengan tambahan dalam kurung dariku sendiri :
......
MALAIKAT (Ditulis oleh Syaeful Badar)
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai mahluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu maut
Ke saban penjuru.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) cabang Bandung merasa “ternganggu” dengan dimuatnya puisi ini (dimuat di Pikiran Rakyat) karena memiliki tafsir yang berbeda. Dan dari sisi keimanan, DDII menganggap bahwa puisi ini “berbahaya” karena meremehkan/melecehkan esensi malaikat sebagai sesuatu yang selama ini kita sepakati bersama sebagai sesuatu yang suci. Sehingga membuat teguran keras kepada Pikiran Rakyat yang berefek Bpk. Rahim Asyik (yang mengasuk rubrik Khazanah) diberhentikan dari Pikiran Rakyat.
....
Ah, sedih berurai air mata aku di pojokan sini. Puisi! Bahkan ruang paling pribadi ini mau diotak-atik. Puisi menurutku tidak harus pakai agama, tidak mesti pakai etika atau logika. Puisi, itulah ruang dimana keliaran bisa hidup. Puisi, itu hak asasi. Puisi, deretan yang setiap manusia boleh pilih mau pakai huruf atau kata yang mana dan disusun bagaimana. Jika ada yang salah menafsirkan sebuah puisi, bukan pembuat puisi itu yang salah. Puisi mendapatkan kedalamannya hanya oleh sang pembuat. Orang lain gak usah mikir deh. Cukup rasakan! Siapa tahu bisa belajar dari sana!
Lesbi
Lesbi atau lesbian. Tema ini jarang sekali masuk dalam tema perbincangan (ku) sehari-hari. 4 -5 hari ini mengherankan, kata ini terus menerus mengusik. Aku berpikir tentang lesbi. Tentang X dan X.
Aku pengagum perempuan. Jika aku berbincang dengan seorang perempuan, aku pasti menemukan titik kecantikannya. Siapapun dia, tua atau muda, tidur atau bekerja, diam atau berbicara, tertawa atau menangis. Beberapa mempunyai porsi kecantikan yang lebih, seperti ketika aku bertemu Magdeline tadi pagi. Dia ini biarawati, dengan postur peragawati, wajah foto model. Senyumnya yang merebak mempertegas garis kecantikannya. Tapi aku juga melihat kecantikan ketika tawar menawar dengan Bik Darmi, bibi penjual sayur keliling. Tubuh gembrotnya, dengan mulut mecucu mempertahankan 6500 rupiah harga setengah kilo ikan selar, terlihat cantik dalam matahari pagi.
Aku jarang mengagumi laki-laki. Dulu aku sebut : satu-satunya kelebihan lelaki adalah bahwa dia, mereka bisa kencing di sembarang tempat. Tidak ada kelebihan lainnya. Puhh...
Idola pernah ada, misal Lupus, aku idolakan ketika aku remaja. Ketika sadar Pri pacar pertamaku tidak mirip Lupus, aku putusin dia. Sin lebih mirip, tapi polahnya tidak. Maka aku diputusin. Hehehe... Dekade berikutnya aku mengidolakan Iwan Fals. Maka aku jatuh kepayang pada Opi, yang rambutnya mirip Iwan. Ketika rambutnya digundul, ya... putus dong. Wong cuma mau mainan rambut doang. Lalu untung aku juga mengidolakan Yesus. Maka aku berani ambil keputusan soal Hendro sebagai suami, sehidup semati. Bukan karena dia mirip Yesus. Tapi karena aku yang mau seperti Yesus. (Heih, mimpi!) Aku pikir-pikir mereka yang pernah aku idolakan adalah lelaki berambut panjang, dengan raut yang lembut. Ciri yang juga dipunyai perempuan kebanyakan.
Aku yakini aku bukan lesbi. Aku merasakan kepenuhan hati, jiwa dan raga bersama Hendro. Apakah aku juga lesbi? Jika dikatakan lesbi adalah orientasi seksualnya, maka aku pasti bukan lesbi. Tapi orientasi cintaku tidak pernah melihat jenis kelamin. Maka, karena aku mengagumi perempuan lebih banyak, maka aku mencintai perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Melihat perempuan sama dengan melihat diriku sendiri.
Apakah lesbi itu ada di setiap perempuan? Aku tidak yakin. Juga kalau aku ditanya apakah aku pernah lesbi. Apakah lesbi ini kata sifat yang bisa berubah menurut masa? Apakah aku bisa menjadi lesbi ketika aku mencintai perempuan? Apakah kalau menjadi lesbi maka bukan lagi perempuan, atau menjadi selalu perempuan?
Jika aku melihat X dan X, aku tidak melihat ketidakwajaran. Mereka manusia yang berkualitas dengan level yang tinggi. Mereka juga membantu banyak orang untuk mengembangkan diri. Mereka tidak egois. Dan mereka menyebut penuh percaya diri :"Aku lesbi!"
Aku pengagum perempuan. Jika aku berbincang dengan seorang perempuan, aku pasti menemukan titik kecantikannya. Siapapun dia, tua atau muda, tidur atau bekerja, diam atau berbicara, tertawa atau menangis. Beberapa mempunyai porsi kecantikan yang lebih, seperti ketika aku bertemu Magdeline tadi pagi. Dia ini biarawati, dengan postur peragawati, wajah foto model. Senyumnya yang merebak mempertegas garis kecantikannya. Tapi aku juga melihat kecantikan ketika tawar menawar dengan Bik Darmi, bibi penjual sayur keliling. Tubuh gembrotnya, dengan mulut mecucu mempertahankan 6500 rupiah harga setengah kilo ikan selar, terlihat cantik dalam matahari pagi.
Aku jarang mengagumi laki-laki. Dulu aku sebut : satu-satunya kelebihan lelaki adalah bahwa dia, mereka bisa kencing di sembarang tempat. Tidak ada kelebihan lainnya. Puhh...
Idola pernah ada, misal Lupus, aku idolakan ketika aku remaja. Ketika sadar Pri pacar pertamaku tidak mirip Lupus, aku putusin dia. Sin lebih mirip, tapi polahnya tidak. Maka aku diputusin. Hehehe... Dekade berikutnya aku mengidolakan Iwan Fals. Maka aku jatuh kepayang pada Opi, yang rambutnya mirip Iwan. Ketika rambutnya digundul, ya... putus dong. Wong cuma mau mainan rambut doang. Lalu untung aku juga mengidolakan Yesus. Maka aku berani ambil keputusan soal Hendro sebagai suami, sehidup semati. Bukan karena dia mirip Yesus. Tapi karena aku yang mau seperti Yesus. (Heih, mimpi!) Aku pikir-pikir mereka yang pernah aku idolakan adalah lelaki berambut panjang, dengan raut yang lembut. Ciri yang juga dipunyai perempuan kebanyakan.
Aku yakini aku bukan lesbi. Aku merasakan kepenuhan hati, jiwa dan raga bersama Hendro. Apakah aku juga lesbi? Jika dikatakan lesbi adalah orientasi seksualnya, maka aku pasti bukan lesbi. Tapi orientasi cintaku tidak pernah melihat jenis kelamin. Maka, karena aku mengagumi perempuan lebih banyak, maka aku mencintai perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Melihat perempuan sama dengan melihat diriku sendiri.
Apakah lesbi itu ada di setiap perempuan? Aku tidak yakin. Juga kalau aku ditanya apakah aku pernah lesbi. Apakah lesbi ini kata sifat yang bisa berubah menurut masa? Apakah aku bisa menjadi lesbi ketika aku mencintai perempuan? Apakah kalau menjadi lesbi maka bukan lagi perempuan, atau menjadi selalu perempuan?
Jika aku melihat X dan X, aku tidak melihat ketidakwajaran. Mereka manusia yang berkualitas dengan level yang tinggi. Mereka juga membantu banyak orang untuk mengembangkan diri. Mereka tidak egois. Dan mereka menyebut penuh percaya diri :"Aku lesbi!"
Friday, August 10, 2007
Pagi cerah, tidak gerimis dan hujan. Salut pada pak polisi yang memakai tubuhnya sebagai tameng bagi anak-anak sekolah yang terburu-buru tidak mau telat masuk kelas. Mereka stop kendaraan supaya anak-anak itu bisa menyeberang.
Sayang aku belum menemukan hal lain selain itu untuk hormat tegak padamu, polisi.
(Bahkan jika pagi gerimis, mereka tidak tampak!)
Sayang aku belum menemukan hal lain selain itu untuk hormat tegak padamu, polisi.
(Bahkan jika pagi gerimis, mereka tidak tampak!)
Saturday, August 04, 2007
Friday, August 03, 2007
Menengok Petani Gurem di Podorejo
Petani di Desa Podorejo, Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Tanggamus, Lampung mendapatkan 1 ton gabah dari seperempat hektar tanah yang diolah. Digarap selama 4 bulan, 1 ton gabah itu setara dengan 2,350 juta rupiah. Selama penggarapan mereka membutuhkan 2 kilo benih jenis unggul seharga 80 ribu rupiah, 120 ribu sewa traktor, 50 ribu untuk menanam padi, 75 ribu obat basmi rumput, 50 ribu insektisida. Ini belum termasuk sewa penyedot air 6000 rupiah dan bahan bakar 5000 rupiah perjam dari Sungai Way Sekampung jika masa tanpa hujan seperti sekarang ini.
Menghitung bersama Joko seorang petani di sana, jika petani mempunyai tanah seperempat hektar hanya mendapatkan sekitar 250 rupiah tiap bulannya, setelah dipotong segala biaya itu. Padahal lebih banyak petani yang tidak punya lahan. Menggarap tanah orang lain hanya mendapatkan separoh dari hasil itu.
Bagaimana mereka bisa hidup dengan uang itu bersama istri dan anak-anak? Joko bersama 13 petani lain mengelola lumbung paceklik, atau akhir-akhir ini disebut juga sebagai lumbung sosial. Keberadaan lumbung ini dirasakan manfaatnya oleh lebih dari 50 keluarga petani lainnya yang ada di Pekon (desa) Podorejo.
”Lumbung ini dibuat oleh generasi bapak-bapak kami pada tahun 1980-an. Mulanya hanya untuk menampung sisa hasil panen yang melimpah, untuk kemudian dipakai di masa paceklik, saat kemarau panjang,” jelas Joko.
Joko menjadi pengurus lumbung sejak tahun 1997. Lumbung yang semula ala kadarnya, direhap sehingga lebih mendekati standar untuk mempertahankan mutu gabah. Lumbung dibangun dengan kapasitas 20 ton terbuat dari bambu dengan lapisan terpal di bagian dalamnya. Dengan sistem bangunan tertentu, gabah bisa tahan lebih dari satu musim (6 bulan) jika disimpan di sini.
Pada awal tahun ini ketika membongkar lumbung, 13 anggota masing-masing bisa meminjam 200 kilogram gabah dan 70 petani lain yang bukan anggota bisa meminjam antara 50 – 200 kilogram. Mereka akan mengembalikan gabah itu pada masa panen dengan tambahan ’nilai susut’ sebanyak 15 kilogram per kwintalnya. Tambahan dari angka inilah lumbung itu bisa berkembang. Bahkan tiap panen bisa menyisihkan 100 kilogram dipakai untuk keperluan sosial antar mereka.
Joko lalu menceritakan bagaimana ramainya orang datang ke lumbung, yang kebetulan terletak dekat rumahnya, saat ’bukaan lumbung’. Beberapa tahun terakhir ini bahkan pengurus lumbung, menerapkan nomor antrean supaya mereka tidak berdesakan. Jika gagal panen, petani yang sudah mengambil gabah dari lumbung ini dapat mengembalikannya pada musim panen yang berikutnya, tanpa ada bunga atau biaya tambahan. Semua bermodal pada rasa percaya antar mereka.
Selasa (31/7) lalu waktunya bagi Joko untuk ’nyedot’ air dari Way Sekampung. Mesin sedot yang disewa sangat berat untuk ukuran tubuh Joko. Maka begitu turun ke sawah, spontan beberapa bapak yang sedang bekerja di sawah yang berdekatan petaknya, datang membantu Joko mengangkut mesin sedot di dekat sungai dan membantunya memasang hingga air mengalir ke petak sawahnya. Hujan yang beberapa minggu tidak turun membuat para petani hanya bisa mengandalkan mesin sedot air sewaan. Penyedotan itu dilakukan setiap 6 – 7 hari sekali sampai panen tiba.
Rugi pasti. Tapi daripada tidak dapat sama sekali, mereka harus melakukan itu. Paling tidak supaya modal kembali. Pemilik sawah yang sudah pasrah, membiarkan sawah mereka kering. Daunnya sudah ’ngluntung’ (menggulung). Sebentar lagi kuning kering. Kalaupun berbuah banyak yang kopong (kosong).*
Rugi pasti. Tapi daripada tidak dapat sama sekali, mereka harus melakukan itu. Paling tidak supaya modal kembali. Pemilik sawah yang sudah pasrah, membiarkan sawah mereka kering. Daunnya sudah ’ngluntung’ (menggulung). Sebentar lagi kuning kering. Kalaupun berbuah banyak yang kopong (kosong).*
Saturday, July 28, 2007
Jumat terakhir pada bulan, seperti biasa kelompok kecil relawan Nuntius berkumpul. Warna-warninya membuat aku tercengang. Selalu tercengang setiap bertemu mereka. Setiap kali! Aku merasa sangat tua melihatnya. Bahasa para muda ini, Gusti! Bahasa apa itu? Aku tidak paham. Aku coba mengikuti. Tapi tetap menjadi tanda tanya. Seriuskah mereka? Tahukah apa yang sedang mereka kerjakan sekarang ini? Benarkah mereka mau belajar? Apakah mereka hanya main-main? Apakah tawaran-tawaranku dipikirkan oleh mereka dengan serius? Apakah nilai-nilai yang diomongkan itu benar-benar mau dihayati? Atau aku yang kurang gaul? Apakah aku yang terlalu serius? Apakah aku yang terlalu memaksakan diri? Aahhh....Gusti.....
Thursday, July 26, 2007
Wednesday, July 25, 2007
aku berjalan
aku berjalan di samping anakku yang mengayuh sepedanya
cepat dengan irama sendiri dia melaju
diteriakinya aku yang sudah terengah-engah
balas teriak aku di sela nafas
putaran rodanya kembali menghampiri
'cepat, bu! nanti kehabisan!'
tidak bisa lari lagi aku mengikutinya
aku berjalan jauh di belakang anakku yang mengayuh sepedanya
cepat dengan irama sendiri dia melaju
dan sesekali di teriak
sesekali dia kembali menghampiri
tapi selalu
cepat dengan irama sendiri dia melaju
aku berjalan di samping anakku yang mengayuh sepedanya
cepat dengan irama sendiri dia melaju
diteriakinya aku yang sudah terengah-engah
balas teriak aku di sela nafas
putaran rodanya kembali menghampiri
'cepat, bu! nanti kehabisan!'
tidak bisa lari lagi aku mengikutinya
aku berjalan jauh di belakang anakku yang mengayuh sepedanya
cepat dengan irama sendiri dia melaju
dan sesekali di teriak
sesekali dia kembali menghampiri
tapi selalu
cepat dengan irama sendiri dia melaju
Tuesday, July 24, 2007
Batam - Galang

Minggu lalu, 16 - 18 Juli 2007 aku dapat kesempatan ke Batam. Folk communication for church apostolate, itu pembicaraan utama di Vista Hotel bersama para koordinator Komsos se regio Sumatera. Hanya belasan orang, kebanyakan para selibat. Tema yang menarik! Folk communication, folk media. Sebagai alternatif gerakan perjuangan.
Di hari terakhir, jalan ke Galang lewat jembatan Barelang nan dibanggakan, masa kejayaan Habibie dengan teknologinya yang meretas batas laut. Ada 5 jembatan penghubung Batam - Galang. Melewati pulau Tonton, Nipah, Setako, Rempang dan akhirnya Galang. Rempang merupakan pulau terpanjang dan tersubur. Di sana-sini terlihat petak kebun sayur yang sayang kurus, kurang subur. Coba teknologi pertanian dikembangkan.
Tiba di Galang keliling peninggalan 'manusia perahu' pada tahun 65-an sampai 96 lalu. sebuah kota kecil yang dibangun untuk menampung para pengungsi yang tersisa dari Vietnam. Barak-barak sudah dibongkar, tapi sisa-sisa 'kota' itu masih tampak. Bahkan ada 'Ngha trang', Tin Lanh, Cuaky vien, dan Ta on duc me. Sebuah patung Maria tampak megah berdiri di atas bumi bergambar Vietnam, mantap di atas sebuah perahu : O, Mary, we are all deeply cracefull for your protecting presence on our way to freedom. We always entrust our lives to you. Your care for us will be mighly appreciated in our heart forever.
Dan konon, di depannya pernah terjadi puluhan bunuh diri massal karena tidak ada ruang hidup bagi mereka untuk merdeka. Tidak ada satu negara pun yang mau mengakui mereka sebagai warga. Kembali ke negaranya akan mati.
Banyak barang di Batam. Tidak ada yang bisa dibeli. Oleh-oleh? Gantungan kunci dengan tulisan "I love Singapore". Ngenes Indonesiaku!
Di hari terakhir, jalan ke Galang lewat jembatan Barelang nan dibanggakan, masa kejayaan Habibie dengan teknologinya yang meretas batas laut. Ada 5 jembatan penghubung Batam - Galang. Melewati pulau Tonton, Nipah, Setako, Rempang dan akhirnya Galang. Rempang merupakan pulau terpanjang dan tersubur. Di sana-sini terlihat petak kebun sayur yang sayang kurus, kurang subur. Coba teknologi pertanian dikembangkan.
Tiba di Galang keliling peninggalan 'manusia perahu' pada tahun 65-an sampai 96 lalu. sebuah kota kecil yang dibangun untuk menampung para pengungsi yang tersisa dari Vietnam. Barak-barak sudah dibongkar, tapi sisa-sisa 'kota' itu masih tampak. Bahkan ada 'Ngha trang', Tin Lanh, Cuaky vien, dan Ta on duc me. Sebuah patung Maria tampak megah berdiri di atas bumi bergambar Vietnam, mantap di atas sebuah perahu : O, Mary, we are all deeply cracefull for your protecting presence on our way to freedom. We always entrust our lives to you. Your care for us will be mighly appreciated in our heart forever.
Dan konon, di depannya pernah terjadi puluhan bunuh diri massal karena tidak ada ruang hidup bagi mereka untuk merdeka. Tidak ada satu negara pun yang mau mengakui mereka sebagai warga. Kembali ke negaranya akan mati.
Banyak barang di Batam. Tidak ada yang bisa dibeli. Oleh-oleh? Gantungan kunci dengan tulisan "I love Singapore". Ngenes Indonesiaku!
Friday, July 06, 2007
tuan, aku pengin selingkuh
pengin selingkuh dari kebiasaan
melompati pagar dan mengunyah hijau segar tetangga
kembali pada keliaran masa lalu
'ahh...tiba-tiba tercium parfum tidak biasa
memenuhi rongga dada
hingga membuncah jadi mesra'
pengin selingkuh kali ini
lepas dari tradisi tiap hari
mengecap kebebasan tubuh masa lalu
'wahai...berdirilah diam sejenak di hadapanku
aku akan meletakkan kepala di dada
menikmati saat mesra ini'
kini menjelang 33
aku ingin mati
untuk mesra
bersamamu
pengin selingkuh dari kebiasaan
melompati pagar dan mengunyah hijau segar tetangga
kembali pada keliaran masa lalu
'ahh...tiba-tiba tercium parfum tidak biasa
memenuhi rongga dada
hingga membuncah jadi mesra'
pengin selingkuh kali ini
lepas dari tradisi tiap hari
mengecap kebebasan tubuh masa lalu
'wahai...berdirilah diam sejenak di hadapanku
aku akan meletakkan kepala di dada
menikmati saat mesra ini'
kini menjelang 33
aku ingin mati
untuk mesra
bersamamu
Subscribe to:
Posts (Atom)